Caleg Hanya Untuk Orang-orang Yang Beruang.

Oleh : Achmad Gunawan
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhamadiyah Malang

Detikkasus.com | Apakah demokrasi betul-betul seruan akan nilai-nilai kemanusiaan, ataukah kedok untuk memuluskan jalan bagi pihak yang kuasa, dominan, bermodal? Apakah Pemilihan Legeslatif dengan sistem Proporsional Terbuka betul-betul seruan akan nilai-nilai kemanusiaan, ataukah tameng untuk menutup-nutupi hasrat berkuasa para pemodal, dalam menaklukkan musuh-musuh kecilnya?
Pemilu merupakan ajang bagi masyarakat untuk menyeleksi caleg-caleg yang mempunyai potensi serta kapasitas untuk mewakili aspirasi rakyat, sudah seharusnya caleg yang menjadi wakil rakyat adalah orang-orang yang mempunyai komitmen dan tanggung jawab yang besar terhadap konstituenya, sehingga yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk memilih mana caleg yang terbaik dari sekian banyak caleg yang mengikuti pemilu. Namun sangat menghawatirkan apabila caleg yang dihasilakan pada saat pemilu merupakan caleg yang lahir dari kampanye-kampanye finansial dan pilihan-pilihan pragmatis pada saat pemilu. Pilihan-pilihan yang terjadi dikarenakan pemberian dari caleg sehingga mengkesampingkan idealism sendiri untuk memilih mana caleg yang terbaik untuk menyalurkan aspirasi.
Penyelenggaraan Pemilihan Umum akan selalu diwarnai dengan kekisruhan, akibat penerapan sistem proporsional terbuka. Praktek kotor politik merajalela di tengah-tengah masyarakat, penyelenggara pemilu, dan Caleg. Sebab sistem proporsional terbuka mendorong mau tidak mau untuk melakukan money politics (politik uang) dan kecurangan-kecurangan dalam bentuk lainnya. Penerapan sistem proporsional terbuka dalam Pemilihan Umum Legislatif perlu dikaji ulang, sebab sistem proporsional tertutup dianggap lebih menjamin penguatan organisasi partai politik, diselenggarakannya pendidikan politik di kalangan masyarakat khususnya pada detik-detik menjelang kampanye. Parpol akan melakukan seleksi kandidat dengan berbasis pada kualitas dan kapasitas (bobot, bibit dan bebet) kader mereka. Semua ini dinilai sebagai keuntungan dari sistem proporsional tertutup.
Sementara itu, sistem proposional tertutup bukan berarti tanpa masalah, justru melalui sistem inilah praktik-praktik money politics dilanggengkan. Setiap pemilihan nomor urut calon legislatif menjadi ajang praktik money politics di dalam partai. Sehingga kekuasaan oligarkis semakin mengakar di dalam partai politik, dan cita-cita demokratis pun memudar. Dengan begitu, sistem proporsional baik yang bersifat tertutup maupun terbuka, sama-sama mengundang praktik-praktik untuk bermain uang. Agen-agen politik dari level elite sampai masyarakat terdorong untuk memanfaatkan sistem yang dibuat negara sebagai ladang memanen uang (capital).
Karenanya, munculah pertanyaan manakah sistem terbaik dari keduanya, untuk meminimalisir praktik politik berbiaya tinggi, yang merusak cita-cita demokrasi, dan merusak pemikiran rakyat?
Dari pertanyaan tersebut saya ingin menyampaikan bahwa masyarakat yang berbau kapitalisme memanfaatkan sistem proporsional terbuka sebagai ajang mengeruk kekayaan para calon legeslatif (Caleg). Pada saat yang sama, para Caleg menyadari bahwa sistem proporsional terbuka memungkinkan diri mereka untuk membeli suara masyarakat. Maka praktik Politik Uang (Money Politics) yang merajalela di masyarakat-masyarakat tersebut dilanggengkan oleh logika dan psikologi masyarakat yang pragmatis, terlebih para elite politik tidak mampu memberikan pencerah, dan malah ikut beradaptasi pada kondisi politik yang tidak sehat. Tulisan ini diharapkan menjadi pertimbangan sekaligus masukan bahwa sistem apapun, baik proporsional terbuka maupun tertutup, bukanlah problem utama munculnya politik berbiaya tinggi. Sebaliknya, politik yang tidak sehat ini terjadi karena logika masyarakat yang pragmatis, tentu dengan segala pertimbangan subjektif mereka. Sehingga, berdampak pada terjadinya politik uang.
Begitu juga kelamahan sistem proporsional terbuka yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih masyaralat ialah suara terbanyak memberikan potensi para caleg menggunakan kekayaanya untuk melakukan pendekatan-pendekatan finasial yang bertujuan untuk memperoleh suara dan dukungan dari masyarkat, suara terbanyak jika dipandang dari sisi keadilan keterwakilan untuk menetapkan caleg sangatlah adil, namun dengan suara terbanyak pula dapat timbul perilaku caleg yang mengandalkan modal untuk mempengaurahi masyarakat. Sehingga akan muncul pendukung-pendukung caleg yang gampang untuk dimobilisasi demi kepentingan caleg. Pendektan finansial pula yang dapat melahirkan perilku pemilih yang tidak sehat di tengah-tengah masyarakat pemberian-pemberian yang diberikan oleh caleg sangat berpengaruh untuk masyarakat saat memilih, sehingga yang Nampak ialah perilaku memilih yang tidak berdasarkan idealisme serta pola pikir yang rasional dari masyarakat atau singkatnya melahirkan perilaku pemilih yang pragmatis.
Maka untuk para calon legislatif yang terpilih kelak jangan membuat warga Negara Indonesia trauma akan janji-janji manis yang kalian lontarkan. Partisipasi aktif dalam demokrasi sangat penting, jangan sampai masyarakat Indonesia menjadi acuh akan politik yang ada karena ulah para petinggi Negara, hingga akhirnya mereka akan apatis terhadap pemerintah.

Baca Juga:  Bhabinkamtibmas Desa Bestala Kunjungi Komang Sarba Himbau Tidak Menjual Miras

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *