Oleh : Maldani prayogo
Univ: Universitas Muhammadiyah Malang – Jurusan: Ekonomi Manajemen.
Detikkasus.com | Masalah pengangguran sampai saat ini menjadi akar dari segala penyebab kemiskinan yang ada di negara ini, pengangguran bukanlah masalah di suatu wilayah atau satu provinsi saja, tetapi Indonesia. Setahun terakhir, pengangguran bertambah 10.000 orang menjadi 7,04 juta di Agustus 2017.
Tidak heran jika generasi muda Indonesia banyak yang berkoar-koar tentang ketidakbecusan pemerintah dalam menekan angka pengangguran. Tapi jika kita melihat lebih jauh ke dalam, apakah bijak jika pemerintah menjadi satu-satunya kambing hitam dalam permasalahan ini?
Menurut saya kesalahan terdapat pada semua. Pemerintah menyalahkan masyarakat, dan masyarakat menyalahkan pemerintah, semua saling tunjuk. Cara mengatasi pengangguran tidaklah mudah, butuh kerja sama antara pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.
Angka pengangguran di Indonesia yang selangit terbentuk dari pola pikir masyarakat yang salah. Tidak perlu kita adakan sensus atau voting besar-besaran, lihat saja di sekitar kita. Berapa banyak kerabat dan teman-teman kita yang sedang mencari pekerjaan dan berapa yang sedang dalam proses menciptakan lapangan pekerjaan. Lalu kenapa hampir semua orang cenderung bersekolah tinggi-tinggi hanya untuk nanti memasukkan dirinya dalam antrian panjang di lapangan perjaan yang semakin sempit? Pola pikir ! itulah letak masalahnya. Ketika semua orang telah di kendalikan oleh pola pikir bahwa bekerja di perusahaan orang lain lebih memiliki harkat yang baik di mata masyarakat dari pada memiliki usaha sendiri. Dimana titel atau gelar di belakang nama adalah hal yang lebih di pandang atau di hormati oleh masyarakat dari pada karya yang di ciptakan untuk permasalahan masyarakat bahkan dunia.
Karena tuntutan itu, maka fungsi sekolah pun kini telah berubah yang tadinya untuk menuntut ilmu, kemudian menjadi sekolah sebaai persyaratan untuk melamar pekerjaan. Muncullah sebuah generasi yang minim akan potensi atau keterampilan, muncullah budaya budaya suap-menyuap dalam penerimaan CPNS, bahkan muncul pula universitas berakreditasi tinggi menjejalkan ijasah sebagai barang dagangan, dan lain sebagainya. Jadi secara garis besar, permasalahan pengangguran ini berbentuk sebuah siklus seperti ini: minimnya lapangan pekerjaan karena kurangnya SDM yang menciptakan lapangan pekerjaan , kurangnya SDM yang menciptakan lapangan pekerjaan karena kurangnya SDM yang mempunyai potensi, kurangnya SDM yang mempunyai potensi karena pola pikir masyarakat tradisional, adanya pola pikir masyarakat tradisional karena buruknya sistem pendidikan indonesia, buruknya sistem pendidikan indonesia karena kemiskinan, dan kemiskinan di karenakan minimnya lapangan pekerjaan.
Setiap kali siklus ini terjadi, satu generasi bangsa dikorbankan. Sebenarnya banyak cara untuk bisa meminimalisir angka pengangguran dengan cara memotong siklus di atas, tapi tidak hanya menyalahkan pemerintah tanpa dimulai dari pola pikir kita sendiri sebagai anak bangsa.
Hal itu bisa juga dilihat dari persentase berikut ini:
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017 tercatat 5,07% atau bisa dibilang stagnan. Walaupun ekonomi masih tumbuh, namun di balik angka tersebut ternyata jumlah lapangan pekerjaan yang dihasilkan tidak seimbang.
Kemampuan perekonomian menciptakan lapangan kerja juga masih lemah, kata Ekonom Dradjad Wibowo dalam riset yang disampaikannya kepada CNBC Indonesia, Rabu (14/2/2018).
hal tersebut bukan tanpa dasar. Persentase ini diperoleh menggunakan varibel berapa jumlah tambahan orang yang bekerja untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi.
Variabel ini dulu disebut ‘elastisitas penciptaan kerja’. Mungkin terminologi yang lebih tepat adalah ‘rasio penciptaan kerja’.
berdasarkan data tahun 2004-2017 dengan menggunakan data dari BPS, tambahan jumlah penduduk yang bekerja mencapai angka tertinggi tahun 2012, yaitu 3,55 juta. Lalu tahun 2008 (3,54 juta) dan 2007 (3,44 juta). Pada tahun 2014-2016, angkanya turun ke sekitar 1,4-2 juta pekerja baru.
Pada tahun 2017, angkanya naik tajam ke 3,25 juta. Namun angka ini mengundang pertanyaan. Karena, pertama, dilihat secara sektoral, tambahan terbesar lagi-lagi diperoleh dari sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan. Jumlahnya 1,09 juta pekerja baru.
Masalahnya, sektor ini meliputi pekerjaan seperti asisten rumah tangga, tukang pangkas rambut, pedagang asongan.
Dan yang agak formal seperti pekerja sosial. Ini jelas bukan sektor yang seharusnya menjadi penopang penciptaan kerja.
Sektor perdagangan (termasuk rumah makan dan perhotelan) dan sektor industri tercatat menciptakan pekerjaan tambahan di atas 1 juta. Yaitu masing-masing 1,05 juta dan 1,03 juta.
Namun, sektor ritel anjlok dan industri manufaktur padat karya banyak yang kesulitan. Padahal mereka banyak menciptakan lapangan kerja. Jadi agak aneh kalau kedua sektor ini mencatat tambahan pekerjaan yang besar.
Kedua, dilihat dari variabel ‘rasio penciptaan kerja’, data menunjukkan, tahun 2015-2016 perekonomian hanya menciptakan sekitar 290.000-340.000 per 1% pertumbuhan. Padahal, menurut Dradjad, jika situasi normal, angkanya seharusnya bisa pada level 500.000 per 1% pertumbuhan ekonomi.
artinya, ekonomi Indonesia bukan hanya stagnan pertumbuhannya, tapi kemampuan penciptaan kerjanya juga di bawah normal.
pada tahun 2017, rasio tersebut melonjak ke level 640.000 per 1% pertumbuhan.
Maka maksimalkanlah potensi kita, menganggur mengakibatkan seseorang tidak memiliki penghasilan yang akan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Tak hanya itu, masih cukup banyak akibat pengangguran yang harus segera di atasi. Dari kemiskinan tersebut, akan timbul masalah lain seperti tindak kriminal yang semakin banyak, meningkatnya jumlah pengemis atau gelandangan.
Secara individu juga orang yang menganggur akan stres dan depresi karena tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dan dikucilkan oleh masyarakat karena ia seorang pengangguran. Penyebab atau faktor lainnya adalah kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat dan menimbulkan pengangguran baru, seperti kebijakan impor beras, bahkan yang terbaru adalah pemerintah menandatangani perjanjian impor sayur-mayur dengan negara cina. Ini membuat mata pencarian para petani hilang, sehingga banyak petani uang menjadi miskin dan menganggur. Lalu banyaknya pembukaan industri tanpa memperhatikan dampak lingkungan telah menimbulkan pencemaran dan mematikan lapangan pekerjaan yang sudah ada. Kemudian banyaknya tenaga kerja wanita, jumlah ini terus meningkat tiap tahunnya sehingga mengakibatkan persaingan dengan para pencari kerja laki-laki. Faktor kemalasan individu. Pengangguran yang berasal dari kemalasan sebenarnya sedikit, namun dalam sistem matearialis dan sekuralis, banyak yang mendorong masyarakat menjadi malas, seperti sistem penggajian yang tidak layak atau bahkan mudah menyerah hingga maraknya perjudian. Faktor cacat atau uzur, dalam sistem kapitalis hukum yang diterapkan adalah “hukum rimba”. Karena itu tidak ada tempat bagi mereka yang cacat atau uzur untuk mendapatkan pekerjaan.
Disamping dibutuhkannya peran dari pemerintah, pihak yang ikut berperan penting dalam mengatasi masalah pengangguran adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM merupakan sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan atau sekelompok orang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. LSM memperjuangkan hak-hak masyarakat, memberdayakan masyarakat agar tercapai kesejahteraan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosisal. Di sisnilah LSM mempunyai arti penting dalam memperjuangkan para penganggur untuk mencapai tingkat hidup dan ekonomi yang layak.
Untuk menghindari dampak pengangguran di atas, diperlukan beberapa cara untuk mengatasi pengangguran. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah sosial ini di antaranya adalah pemerintah harus bisa mengadakan pendidikan secara gratis kepada masyarakat yang kurang mampu, salah satu penyebab pengangguran adalah mahal dan rendahnya tingkat pendidikan. Sehingga ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan. Pemerintah sebaiknya menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan sehingga dapat membantu untuk mengurangi tingkat pengangguran. Tak hanya pemerintah, masyarakat pun di himbau untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain dengan berwirausaha misalnya, agar tidak lagi bergantung sebagai pencari kerja, khususnya pada lulusan universitas. Mereka harus dididik untuk menjadi seorang penyedia lapangan kerja dan berani untuk berwirausaha. Sebagai antisipasi, pelajar perlu diberikan pendidikan non formal. Pendidikan non formal bisa berupa keterampilan khusus, kemampuan berkomunikasi, serta diarahkan untuk menjadi lulusan sekolah hanya bisa melamar pekerjaan. Sehingga jiwa wirausaha ini bisa ditumbuhkan sejak dini.
Mendirikan tempat-tempat pelatihan keterampilan, misalnya kursus menjahit, pelatihan membuat kerajinan tangan, atau BLK (Balai Latihan Kerja) yang didirikan dibanyak daerah. Sehingga orang yang tidak berpendidikan tinggi pun bisa bekerja dengan modal keterampilan yang sudah mereka miliki. Memberikan kredit kepada masyarakat yang kurang mampu. Kredit tersebut diharapkan dapat membantu mereka untuk mendirikan suatu usaha, misalnya Usaha Kecil Menengah (UKM) atau sejenisnya.
Dan dengan adanya kerja sama Indonesia dan Cina, beberapa Sumber Daya Alam (SDM) Indonesia justru hampir di kuasai oleh orang asing. Akibatnya tenaga kerja di Indonesia malah kehilangan lapangan pekerjaannya dikarenakan sudah tergantikan oleh orang asing dan hasil dari SDM tersebut lebih banyak di ambil oleh pihak orang asing. Seharusnya pihak pemerintah lebih memprioritaskan warga negara indonesia dari pada orang asing, jadi hal ini menjadi salah satu penyebab pengangguran di negara indonesia.
Maka dari itu kita sebagai individu harus introspeksi diri, hilangkan sifat manja tidak mau repot, tidak mau ambil resiko, kerja santai gaji terus naik. Jadikan diri kita mandiri dengan berwirausaha, jangan takut gagal karena ingin main aman, belajarlah dari kesuksesan atau keberhasilan orang lain, belajar dari negara lain yang tela mampu mengatasi permasalahan ini, ambil contoh yang baik dan buang buruknya. Masih ada waktu, masih ada kesempatan, belum terlambat, mulailah dari diri sendiri, lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar. Tidak udah muluk-muluk merubah dunia, rubahlah dari kita sendiri maka dunia akan ikut berubah.