Aceh |Detikkasus.com -Masyarakat desa marga penjaitan, yang di wakilkan oleh yahya. Sungguh sangat menyesalkan, atas stegmen saudara “Rajaliadi”. Yang menyampaikan bahwa pemilihan P2K di desa kami, sudah sesuai peraturan perundang-undangan.
Jangan sok tahu, kami masyarakat yang lebih memahami persolan desa kami. Kami sebagai masyarkat awam ini, juga ingin mempertanyakan saudara “Rajaliadi” ini sebagai apa. Kapasitas berbicara di media, kalau sebagai pendamping. Ya harus jelas pendamping apa?, apakah selaku penesehat hukumkah. Atau selaku pengacara advokat, jika sebagai pendamping kami. Ingin juga melihat surat kuasa beliau, apakah seorang ketua LSM bisa sebagai pendamping dan penasehat hukum atau merangkap sebagai pengacara.
Agar kami masyarakat awam ini, memahami karena sepengetahuan kami dalam aturan U-U yang bisa sebagai pendamping hukum iyalah hanya cuma advokat/lengacara atau lowyer dan jika pun memang ada. Yang bukan advokat sepengetahuan saya syarat lemberi bantuan hukum menurut U-U bantuan hukum.
Undang-undang (U-U) bantuan hukum dengan tegas membatasi kalangan non-advokat untuk memberikan bantuan hukum, yaitu mengharuskan lembaga mereka memenuhi syarat. A, berbentuk badan hukum. B, terakreditasi di kementerian hukum dan HAM-RI. C, memiliki kantor atau sekretariat yang tetap. D, memiliki pengurus dan memiliki program bantuan hukum.
Jika pun, beliau dari lembaga bantuan hukum apakah syarat-syarat lembaga beliau sudah terakreditasi?. Kalau pun bisa kami sebagai masyakarat ingin boleh jadi pendamping juga ucap, yahya.
Di tambahkan menurut undang-undang lemberian bantuan hukum secara cuma-cuma berdasarkan undang-undang nomor 16 tahun 2011, tentang bantuan hukum. Hanya orang yang mempunyai legal standing, seperti advokat yang sudah mempunyai KTA dan berita acara sumpah dari pengadilan tinggi dan menurut pasal 22 ayat (1) undang-undang nomor 18 tahun 2003.
Tentang advokat menegaskan, bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Dan perlu kita ketahui sanksi untuk orang yang bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan advokat di atur di dalam pasal 31 U-U 18/2003 sebagai berikut. Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi sebagai advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi dirinya bukan advokat. Sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 50 juta rupiah.
(Jihandak Belang/Team)