Jejakkasustv.com | Batam – Penyematan Baju adat kebesarar budaya masyarakat Nias (ononiha) kepada salah satu anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau oleh Gembala Gereja Tuhan Di Indonesia (GTDI) Sungai Yordan Batam menjadi buah bibir tokoh masyarakat Nias yang ada di Kota batam.
Terlihat didalam postingan akun Facebook @Paulus Rahman Tambunan, Gembala Gereja Tuhan Di Indonesia (GTDI) Sungai Yordan Batam Joe Perubahan Ndruru menyematkan baju Adat Kebesaran Budaya Nias (Ononiha) kepada Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau Asmin Patros dalam rangka ulang tahun gereja GTDI Sungai Yordan Batam Ke-6 Tahun.
Dengan kejadian tersebut, hampir seluru masyarakat Nias (Ononiha) terlibih-lebih para sesepuh dan para tokoh adat, orang tua masyarakat Nias (Ononiha) yang ada di Kota Batam mulai buka suara.
Herman Lase yang merupakan sesepuh (Orangtua) masyarakat Nias (Ononiha) yang ada di Kota Batam mengatakan “Kejadian ini sudah sangat keliru, seakan-akan yang melakukan penyematan baju Adat kebesaran budaya Nias (Ononiha) kepada salah satu anggota DPRD Kepri di Batam tidak menghargai Adat dan Budaya Ononiha, apalagi saya dengar ada kampanye di dalam gereja. Kalau itu benar adanya berarti ini sudah kesalahan besar dan sangat-sangat keterlaluan”. Ungkap Herman
Kalau ini acara gereja berarti ini Umun, bukan acara Adat, tidak semestinya baju Adat Kebesaran Budaya Ononiha di obralkan di sana. Memperoleh baju Adat Kebesaran ini bukan segampang membalikan telapak tangan, dulu saya dengar banyak korban nyawa dan pikiran untuk memperolehnya. Jadi untuk itu saya meminta agar hal ini dipertanggungjawabkan oleh penyemat baju Adat kebesaran budaya Nias (ononiha) tersebut. Saya juga mengharapkan kepada seluruh masyarakat Nias (Ononiha) agar jangan jadi gampangan. Tutup Herman
Dalam kesempatan yang sama, Bapak A Ana Gea juga yang merupakan sesepuh masyarakat Nias (Ononiha) yang ada di kota Batam menyampaikan kekesalannya terkait hal tersebut “Saya sangat-sangat menyayangkan hal ini bisa terjadi, Kami sebagai sesepuh Masyarakat Nias (Ononiha) Yang ada di Kota Batam keberatan dan sangat tidak merima akan hal ini bisa terjadi, apa lagi ini kan acara gereja. Seharusnya sebagai seorang Gembala, sebelum melakukan hal itu bermusyawarah lah dulu kepada orang tua, sesepuh dan tokoh yang mengerti adat dan budaya Nias (Ononiha) yang ada di Kota batam ini. Inikan menyangkut Adat, budaya dan marwah suku Nias (Ononiha), bukan se’enaknya saja. Ungkap A Ana Gea
Dalam waktu dekat ini, kita akan adakan pertemuan untuk membahas hal ini, kita tidak mau hal ini bisa terulang kembali. Kalau bukan kita masyarakat Nias (ononiha) yang menjaga marwah Nias (Ononiha) siapa lagi…..???
Sebagai masyarakat Nias (Ononiha), marilah bersama-sama menjaga marwah kita Suku Nias (ononiha) dimanapun kita berada dan terlebih-lebih kita ononiha yang ada di Kota Batam Ini, jangan sembarangan menyematkan baju Adat kebesaran budaya dari leluhur kita Ononiha kepada orang lain. Tutup Bapak A Ana Gea
Masih dalam kesempatan yang sama, salah satu orang tua masyarakat nias yang ada di kota Batam Letkol TNI AD (Purn) B. Zebua mengatakan “sama sekali tidak setuju terkait Penyematan Baju Adat Kebesaran budaya suku kita Nias terhadap anggota DPRD Kepri yang terjadi di gereja GTDI Sungai Yordan Batam.” Ungap B Zebua.
Seharusnya pada saat Anggota DPRD Kepri itu datang ke Gereja tersebut dan memang benar-benar mereka menghargai di sana, seharusnya Jubahnya Gembala Penyemat Itu lah yang di sematkan ke dia, Bukan baju kebesaran adat ononiha yang di sematkan, biar suci dia dan melakukan yang benar. Dianya datang kan dengan kerohanian di gereja bukan dengan adat. Jelasnya
Perlu dipahami letaknya dimana baju adat kebesaran budaya ononiha itu bisa di pergunakan. Apalagi Gereja GTDI Sungai Yordan Batam itu kan bukan gereja khusus masyarakat Ononiha, akan tetapi Gereja umum, jadi tidak ada kaitannya dengan Adat ononiha. Baju adat Ononiha itu bisa dipergunakan untuk tamu jikalau itu di Pulau nias, harusnya karena ini pulau batam dan bagian dari tanah melayu, baju adat melayu lah yang dipakaikan ke dia, itu baru benar. Inikan Batam Bos bukan pulau Nias. Tutup B. Zebua dengan kesal
Hasan Dachi yang merupakan anak dari salah seorang pendiri Budaya Di Nias Selatan mengatakan “Secepatnya hal ini harus diklarifikasi oleh penyemat baju Adat kebesaran suku nias ke anggota DPRD Kepri, kepada orang tua, sesepuh, tokoh adat Ononiha yang ada di kota Batam, biar hal ini tidah heboh.”
Saya sih sangat menyayangkan hal ini bisa terjadi, seharusnya kan sebagai seorang gembala sudah berpendidikan dan pasti memahami akan Adat dan Budaya Ononiha, tidak seperti ini, jangah hanya karena kepentingan pribadinya, marwah Ononiha dianggap sepele oleh orang-orang yang bukan Ononiha. Dan kedepan jangan sampai Baju adat kebesaran Ononiha dianggap murahan seperti halnya jual pisang goreng yang ada di tepi jalan. Tutup Hasan
Dengan Kejadian Ini, Penasehat Adat asal Nias Selatan Haegaso Gaho dan berada di Kota Batam buka suara Baju Kebesaran Ono Niha itu tidak bisa sembarangan untuk dipakaikan kepada seseorang. “Baru Oholu (Baju Adat Nias asal Nias Selatan) itu tidak bisa sembarangan orang untuk diberikan kepada seseorang. Memang kita mengagumi yang namanya tamu. Dalam bahasa Nias. “Sokhi Mate Moroi Aila”, artinya lebih baik mati daripada malu,” kata Siulu Haegaso Gaho.
Yang namanya tamu itu punya kategori atau berjenjang. Haegaso Gaho mengatakan, jika dia (tamu) yang mulia, biasanya kita akan sambut dengan pesta besar dan akan kita sematkan baju kebesaran tadi, bukan pada kelompok kecil saja. Dan “Itu pun yang bisa memberikan itu tokoh adat (Siulu) yang ada di lokasi tersebut, kemudian disaksikan para tokoh lainnya dan masyarakat di daerah itu,” tegasnya
Haegaso Gaho menegaskan lagi, jika ada tokoh agama yang menyematkan itu kepada orang lain apalagi jika dikaitkan dengan politik, maka itu kurang pantas atau tidak tepat untuk dilakukan sehingga bisa menjadi preseden buruk. Menurut Haegaso Gaho, kalaulah itu diberikan secara benar oleh para tokoh yang memiliki kapasitas kepada tokoh yang telah berjasa, berjuang untuk kepentingan besar untuk Nias pada umumnya, bukan untuk kelompok atau organisasi kecil, maka itu tidak jadi masalah
Haegaso Gaho berharap bahwa hal seperti ini tak berulang kembali kepada pihak-pihak lain. “Harus diperhatikan kembali Budaya dan Adat Nias yang sesungguhnya, bila perlu dipertanyakan kepada Tokoh Adat yang memang punya kapasitas di situ,” tutupnya. (I)