Pontianak I Detikkasus.com – Gubernur Kalimantan Barat, H. Sutarmidji, S.H., M.Hum bersama Budayawan / Tokoh Masyarakat, Prof. Dr. Chairil Effendy, dan Rektor Universitas Panca Bhakti Pontianak, Dr. Purwanto, S.H., M.Hum, FCBArb mengikuti acara Live Dialog Obrolan Siang (OBSI) dengan tema “Membangun Perbatasan, Merawat NKRI”, yang diselenggarakan Televisi Republik Indonesia (TVRI) bertempat di Hotel Golden Tulip Pontianak. Selasa (27/12/2022).
Acara yang dipandu oleh Host Setiadi, pada siang ini membahas masalah Perbatasan di wilayah Kalimantan Barat dimana ada 5 (lima) wilayah Kabupaten yang berbatasan yaitu Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kabupaten Sintang yang berbatasan dengan Negara Malaysia (Sarawak).
Gubernur Kalimantan Barat mengungkapkan bahwa wajah atau tampilan Perbatasan di Era Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Khususnya di PLBN sudah lebih bagus kecuali di Kabupaten Sintang (Sungai Kelik) yang masih proses pembangunan, kemudian Infrastruktur seperti jalan juga sudah ada, hanya saja Gubernur menyayangkan letak perbatasan yang ada di Indonesia jaraknya terlalu jauh dari perbatasan yang ada”, ungkap Sutarmidji.
Dirinya juga mengungkapkan bahwa desa yang ada di sekitar perbatasan sudah berwarna Hijau artinya mengindikasikan kalau tidak Desa Maju atau Desa Mandiri, hanya ada satu atau dua saja yang berwarna Kuning menandakan sebagai Desa yang masih Berkembang.
“Bila desa di sekitar perbatasan indikatornya sudah berwarna Hijau artinya Infrastruktur pendidikan, listriknya sudah ada, hanya saja permasalahannya adalah akses menuju ke sekolahnya yang jauh, selain itu kelistrikannya juga belum menjangkau ke semua desa”, jelasnya.
Gubernur Kalbar selama ini terus mendorong bagaimana desa-desa agar indikatornya menjadi Desa Mandiri dimana ada 54 Indikator yang berkaitan dengan masyarakat, seperti akses Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi, Perbankan dan sebagainya.
“Jika semuanya bisa terpenuhi diharapkan nantinya tidak ada lagi warga perbatasan yang akan kerja, dan sekolah di Malaysia”, harapnya.
Ucapan terima kasih Gubernur tak luput akan perhatian daei Presiden Joko Widodo yang telah melakukan pembangunan dan memperhatikan wilayah perbatasan, hanya saja dirinya menyayangkan ranah pengelolaannya lebih banyak pada Pemerintah Pusat terutama pada Perdagangan Luar Negeri.
“Kita sebagai Pemerintah Daerah akan terus mendorong agar lebih maksimal lagi, kemudian perlunya diperjelas antara kewenangan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam hal Pengelolaan Perbatasan dan hal tersebut harus segera diselesaikan”, tuturnya..
Terkait Infrastruktur Pendidikan Tinggi dan Tenaga Pengajar yang yang masih kurang di daerah perbatasannya, Rektor Universitas Panca Bhakti Pontianak, menjelaskan perlunya kolaborasi kepada semua pihak untuk bersama-sama bersinergi merencanakan dan membangun Infrastruktur khususnya sarana Pendidikan di wilayah Perbatasan.
“Perlunya kerjasama dalam peningkatan Sumber Daya Manusia khususnya kebutuhan tenaga pengajar, untuk itu perlunya menggelorakan kepada lulusan-lulusan Perguruan Tinggi untuk bersemangat membangun desanya, bagi yang berdomisili di wilayah perbatasan hendaknya setelah selesai menyelesaikan pendidikan kembali membangun kampung halamannya”, paparnya.
Kemudian mengenai produk unggulan Kalbar yang dapat meningkatkan komoditas ekspor, dirinya menilai perlu adanya riset yang kuat untuk mengolah produk ekspor tersebut, peningkatan kualitas dan kuantitas produk ekspor tersebut harus adanya proteksi, untuk itu perlunya perlindungan terhadap produk-produk komoditas ekspor tersebut maka perlunya kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Kementerian Hukum dan HAM RI, untuk dapat bersama-sama melindungi produk ekspor tersebut.
Dipandang dari sisi Kebudayaan dimana banyaknya masyarakat perbatasan tidak melanjutkan pendidikan tinggi tapi lebih memilih bekerja di luar negeri dibanding membangun dan mengembangkan desanya, Budayawan Prof. Chairil Effendi mengungkapkan bahwa persoalan ekonomi tidak dapat dianggap enteng, dimana disatu sisi dianggap miris tapi disatu sisi dianggap sebagai survive mereka untuk bertahan hidup, hal itu dikarenakan fasilitasi Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan di sana yang kurang memadai, namun kita tidak boleh meragukan rasa Nasionalisme mereka yang tinggi.
“Kita patut bersyukur bahwa masyarakat di perbatasan itu adalah masyarakat yang sangat terbuka dan toleran, sehingga ketika usia negara Indonesia sudah 77 Tahun merdeka dan masih ada masalah sosial ekonomi tapi tidak ada suara-suara yang miris meskipun ada istilah “Garuda di Dadaku, Malaysia di Perutku”, dan mudah-mudahan kedepannya dengan pembangunan yang dilakukan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat hal itu tidak lagi terdengar”, harap mantan Rektor UNTAN ini.
Terkait Sosial Kultural Masyarakat di Perbatasan yang harus menjadi perhatian kita semua adalah permasalahan identitas yang mulai tergerus oleh budaya luar, Masyarakat yang dimanfaatkan oleh para kapitalis dengan mencoba mencari keuntungan yang lebih besar, dan Permasalahan Nasionalisme”, tambahnya.
(Hadysa Prana)
Sumber : Biro Adpim Setda Prov Kalbar