Kalimantan Barat |Detikkasus.com -Di sebuah sudut kafe hipster di jalan Ahmad yani, wak dalek dan wan dolah. Dua sahabat sejati yang rambutnya mulai menyerupai kapas tua, tengah duduk sambil menyeruput kopi over priced. Dua gelas cappuccino berharga sepiring sate kambing di warkop langganan mereka, tapi siapa peduli?. Ini demi gengsi pagi itu, karena mereka menunggu live streaming pertandingan voli korea antara tim megawati, Red Sparks melawan AI Pepper.
“Eh, Wak”. Buka wan dolah setelah menyeruput kopinya yang rasanya seperti air dicampur arang, “kau paham soal pagar laut tu? Dah macam sinetron komedi aku tengok”.
“Pagar laut? Hah, aku kira itu film Marvel baru,” jawab Wak Dalek sambil terkekeh. “Tapi, serius, Wan. Aku baca berita, pagar laut tu macam lebih penting dari segala urusan negara lain. PNS sibuk bikin TikTok, sementara itu sertifikat tanah di atas laut dibagi-bagi macam kupon undian.”
Wan dolah menepuk meja kecil di depannya, hampir menumpahkan cappuccino-nya yang tinggal setengah. “Itu dia, wak! Laut ni dah berubah fungsi. Bukannya tempat pajoh ikan, tapi jadi tempat jual-beli tanah. Dah macam main monopoli! Kau bayangkan, orang beli tanah di tengah laut. Rumahnya nanti pakai pelampung?”
“Lucu, kan? Menteri KKP bilang ilegal, tapi baru 50 sertifikat yang dibatalkan. Padahal katanya ada ratusan. Mungkin yang lain tunggu giliran atau tunggu siapa yang paling besar amplopnya,” Wak Dalek menambahkan, dengan nada sarkastik yang begitu kentara.
Wan Dolah mengangguk-angguk seperti penonton sinetron yang baru sadar tokoh utamanya ketahuan selingkuh. “Itu namanya drama cuci tangan, Wak. Orang kecil dah mulai dikorbankan. Lurah? Pegawai BPN? Nelayan? Dah masuk daftar kambing hitam. Eh, preman kampung pun diseret, padahal mereka cuma tukang jaga lahan palsu tu. Yang besar-besar, ngelesnya macam supir bajaj, Wak. Belok kiri, kanan, mutar balik, tak ada ujungnya.”
“Tak ada habisnya,” gumam Wak Dalek, matanya menatap layar ponsel yang sudah tak sabar lihat aksi Mega. “Tapi ini memang lucu, Wan. Di negara kita ni, kalau ada yang aneh, orang malah cari hiburan baru. Tengok lah nanti, pagar laut hilang perlahan bila ada berita selebriti cerai, poligami macam artis yang pindah ke Mesir itu. Yang penting, rakyat lupa. Kau tahu tak, ini semua macam episode ulang drama sinetron zaman dulu, plotnya sama, tapi aktornya ganti.”
Wan Dolah tergelak, suaranya menggelegar sampai barista kafe melirik heran. “Kau ni, Wak. Betul juga kau bilang. Kita ni dah macam penonton setia sinetron negeri sendiri. Tak ada ending, tak ada penjahat yang betul-betul kena hukum. Semua sekadar hiburan gratis.”
“Eh, tapi tunggu, Wan,” Wak Dalek menunjuk layar televisi kafe yang mulai menampilkan intro pertandingan voli. “Megawati main ni. Red Sparks lawan AI Pepper. Kalau AI menang, tak ada lagi pemain manusia. Semua diganti robot. Aku rasa, lebih baik begitu. Robot tak pandai cuci tangan.”
Wan Dolah terbahak sampai air matanya keluar. “Kau ni memang, Wak. Kalau robot pun main voli, mungkin nanti robot juga jadi pejabat. Siapa tahu lebih jujur dari yang sekarang!”
Keduanya tertawa terbahak-bahak sambil menikmati pertandingan. Di luar sana, pagar laut dan drama politik terus berlangsung. Tapi bagi Wak Dalek dan Wan Dolah, hidup terlalu singkat untuk tak menertawakannya.
(Pasukan Ghoib/Team Grop GWI/Sumber Rosadi Jamani, Ketua Satu Pena Kal-Bar)