Supriyanto (ilyas) Ketua Umum LSM Generasi Muda Indonesia cerdas Anti Korupsi (Gmicak), Menjelaskan :
Poliandri adalah perkawinan seorang wanita dengan lebih dari satu suami. Dalam hukum Islam, poliandri termasuk perzinahan. Dalam hukum pidana Indonesia, praktik poliandri dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 284 KUHP dan terancam penjara selama sembilan bulan.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, poliandri tidak dibolehkan. Pasal 3 ayat 1 dari undang-undang ini mengatur mengenai asas monogami.
Dari perspektif agama Islam, poliandri hukumnya haram sesuai Surat An-Nisa Ayat 24. Dari segi etika, perbuatan itu sangat tidak lazim di Indonesia karena bertentangan dengan kodrat Wanita sehingga dianggap tidak etis
Secara hukum Islam, bahwa perbuatan wanita yang melakukan perkawinan poliandri termasuk perzinahan. Perbuatan terkait hukum poliandri ini dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 284 KUHP.
Selain itu di situs www.hukumonline.com – juga menjelaskan : Hukum Poliandri di Indonesia
Poliandri dilarang di Indonesia, baik menurut hukum Islam maupun hukum negara.
Perkawinan poliandri dilarang di Indonesia. Perkawinan poliandri adalah bentuk perkawinan, di mana seorang istri menikah dengan beberapa suami. Dalam perspektif filosofis, hukum perkawinan poliandri merupakan bentuk yang dilarang dan bertentangan dengan kodrat wanita.
Sejalan dengan perspektif filosofis, dalam perspektif normatif hukum poliandri adalah haram berdasarkan dalil Al-Quran surat An-Nisa 4:24 dan Al-Sunnah Hadis Riwayat Ahmad.
Selain itu, dalam perspektif yuridis, hukum poliandri bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan seorang istri hanya boleh menikah dengan seorang suami (asas monogami).
Asas monogami merupakan asas yang dianut dalam hukum perkawinan di Indonesia. Pasal 3 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan, yaitu terhadap perkawinan oleh salah satu pihak yang masih terikat perkawinan dapat dilakukan pencegahan perkawinan.
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
2. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. UU Perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang.
4. UU Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
5. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera. Untuk itu UU Perkawinan menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
Hukum poliandri dilarang bukan tanpa alasan. Hal ini untuk menjaga kemurnian keturunan agar tidak ada percampuran sehingga kepastian hukum seorang anak terjamin.
Seorang anak sejak dilahrikan telah berkedudukan sebagai pembawa hak. Dalam segi Hukum Waris Islam, kepastian hak waris anak ditentukan oleh kepastian hubungan darah atau hubungan hukum antara anak dengan ayah.
Dalam perkawinan poliandri, hubungan hukum antara anak dan ayahnya mengalami kekaburan disebabkan karena terdapat beberapa orang laki-laki yang secara bersamaan menjadi suami ibu yang melahirkan anak tersebut.
Seseorang yang melakukan perkawinan poliandri dapat terancam sanksi pidana, hal ini dikarenakan secara hukum Islam, bahwa perbuatan wanita yang melakukan perkawinan poliandri termasuk perzinahan. Perbuatan terkait hukum poliandri ini dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 284 KUHP.
Lebih lanjut, Ketua Umum LSM Gmicak menambahkan : KUHP Larang Zina-Kumpul Kebo, Ancaman Pidana Hingga 1 Tahun
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang perbuatan zina dan kohabitasi atau kumpul kebo. Ketentuan soal perzinaan diatur dalam Pasal 411 KUHP dengan ancaman hukuman satu tahun penjara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang perbuatan zina dan kohabitasi atau kumpul kebo. Ketentuan soal perzinaan diatur dalam Pasal 411 KUHP dengan ancaman hukuman satu tahun penjara.
Pasal 411 UU 1/2023 berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.
Pasal 284 KUHP mendefinisikan zina sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan suami atau istrinya.
Larangan zina dalam pasal 284 ayat (1) KUHP hanya mencakup orang yang telah menikah saja, sedangkan zina sesama lajang tidak termasuk dalam cakupan zina.
Sumber :
– Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
– UU Pasal 284 KUHP. Tentang Perzinaan
– UU Agama Islam : Surat An-Nisa Ayat 24.