Detikkasus.com | Oleh : Menteri Pendidikan dan Kebudayaan BEMU Arunika Swakarya (Abdul Khair)
Neoliberalisme Peguruan Tinggi di Indonesia
Neoliberalisme mungkin adalah sebuah kata yang cukup asing dikalangan mahasiswa Indonesia. Akan tetapi, tanpa disadari Neoliberalisme adalah suatu hal yang berdampak terhadap apa yang saat ini mahasiswa jalani ditempat yang disebut Perguruan Tinggi. Neoliberalisme bukanlah isu yang baru dalam pembahasan ilmu sosial, sebab pada akhir abad ke 20 -an, dia adalah sebuah filosofi ekonomi politik yang mengemukakan prinsip persaingan pasar bebas atau perdagangan besar (Wiratraman, 2007).
Filosofi ekonomi inilah kemudian yang menjadi suatu landasan yang tanpa disadari oleh beberapa pemangku kebijakan (pemerintah), telah sedikit demi sedikit menggeser praktik pendidikan dalam sebuah negara, tanpa perkecuali Indonesia (Solihin, 2017).
Hal yang cukup mengkhawatirkan juga adalah dengan adanya arus neoliberalisme ini, pendidikan tidak lagi didasarkan pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan proses memerdekakan manusia seperti yang tertulis pada Undang -Undang Nomer 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), tetapi memiliki tujuan terselubung yaitu menjadikan pendidikan indonesia sebagai komiditas dan perguruan tinggi sebagai pabrik untuk menghasilkan tenaga kerja semata (Saksono, 2010).
Perguruan Tinggi bukan Balai Latihan Kerja (BLK)
Dilangsir dari tempo.co, Presiden Jokowi memberikan penilaian bawa dimasa yang akan mendatang banyak pekerjaan yang akan ditinggalkan, sehingga menurutnya perguruan tinggi perlulah dalam kurikulumnya beradaptasi berdasarkan hal tersebut. (Pasar Tenaga Kerja Berubah, Jokowi Minta Kurikulum Universitas Beradaptasi – Nasional Tempo.Co, n.d.). Dalam hal ini beradaptasi memang perlu, tapi bukan kemudian adaptasi dilakukan hanya untuk memenuhi pasar kerja atau yang disebut “setelah lulus mendapatkan pekerjaan” , sebab hal ini bukanlah yang dimaksud dalam tujuan Pendidikan Indonesia.
Edu-Factory mungkin adalah kalimat yang cukup tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Peter Flaming dalam bukunya “Dark Acamedia” menjelaskan hal ini,yaitu kondisi perguruan tinggi menjadi sebuah sektor industri Sumber Daya Manusia (SDM) yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan tenaga di pasar kerja. Tak hanya itu, Peter juga menjelaskan bahwa dalam hal ini perguruan tinggi telah berlomba -lomba untuk membuktikan dirinya berdampak secara sosial dalam rangka eksistensi perguruan tinggi, sehingga lulusannya bisa diterima di dunia kerja (Flaming, 2021).
Dan paradigma pendidikan ini adalah produk dari neoliberalisme yang sudah cukup mengakar dan kiranya perlu diluruskan kembali bagaimana seharusnya perguruan tinggi tidak hanya mencetak pekerja yang menjadikan status universitas tidak ada bedanya dengan BLK.
Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terkontaminasi
Perguruan Tinggi kiranya perlu memperhatikan nilai didalamnya agar tidak tercampur dengan paham neoliberalisme, bisa memulai dengan refleksi implementasi Tri Dharma Peguruan Tinggi yang menjadi suatu nilai moral dalam menjalankan segala aktivitasnya oleh seluruh civitas. Sebab, harapannya Tri Dharma tidak hanya tampak menjadi nilai formal dan dijalankan guna mengugurkan kewajiban agar tak dinilai jelek oleh masyarakat sebab tidak memiliki “predikat” yang membanggakan atau disebut “akreditasi”. Tri Dharma Perguruan tinggi sendiri terdiri dari 3 hal yang menjadi poin penting dalam mewujudkan visi dan misi sebuah perguruan tinggi, 3 hal ini yaitu Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat. Semua hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi.
Dimulai dari Pendidikan dan Pengajaran, saat ini dosen yang beperan sebagai tenaga pendidik sudah merasa terdampak dari neoliberaslime, salah satunya adalah beban pengajaran yang kemudian di tambah beban akademik yang sedikit banyak berdampak terhadap kualitas kegiatan belajar mengajar di dalam suatu perguruan tinggi, dalam hal ini ada ada kasus yang cukup hangat baru ini terjadi, seperti dilangsir dari Kompas. Com terhitung semejak penetapan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refomasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional akan menunjang profesionalisme aparatur sipil negara, salah satunya dosen. Membuat para dosen diharuskan menggunggah dokumen bukti mereka telah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang jika tidak dilaksanakan akan berdampak hangusnya Penilaian Angka Kredit (PAK) yang memiliki fungsi sebagai kenaikan pangkat dan jabatan fungsional (Birokratisasi, Senjakala Nasib Dosen Indonesia – Kompas.Id, n.d.). Hal ini juga tentu tak terlepas dari buruknya sistem pemerintahan negara dalam mengatur wilayah intelektual bangsa (Cummings & Kasenda, 1989; Ribetnya Karier Dosen Di Indonesia: Monopoli Pemerintah Dan Logika Birokrasi Perguruan Tinggi Yang Mengakar Sejak Era Penjajahan, n.d.)
Tri dharma yang selanjutnya yaitu penelitian dan pengembangan. Sudah cukup banyak pula tulisan yang mengemukakan perlunya perhatian untuk memperbaiki penelitian Indonesia yang terdampak dari pemahaman neolibelarisme seperti Teguh Wijaya dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa Fakultas Psikologi saat ini tidak lebih dari sebuah lembaga pendidikan yang hanya menciptakan lulusan dan bisa disebut sebagai “teknisi alat tes”. Sehingga sangat terlihat pengembangan disiplin ilmu psikologi bisa dinilai berada pada posisi statis (Neoliberalism Within Psychology Higher Education in Indonesia: A Critical Analysis – Perpustakaan UG, n.d.). Atau pada disiplin ilmu komunikasi juga berada diposisi statis semenjak 20 tahun terakhir (Riset Ungkap Ilmu Komunikasi Di Indonesia Statis, Bahkan Setelah 20 Tahun Lebih Era Reformasi Dan Meluasnya Kebebasan Akademik, n.d.).
Segala hal yang menjadi penyebab tidak berkembangnya ilmu pengetahuan selain disebabkan hanya untuk menggugurkan kewajiban dan mencapai standarisasi guna memiliki “akreditasi” seperti yang ditetapkan pada dunia industri pendidikan, tak terlepas dari kompleksnya permasalahan dibelakangnya, seperti calo publikasi (“Calo Publikasi”: Banyak Dosen Indonesia Mencari Jalan Pintas Seiring Gencarnya Tuntutan Terbit Di Jurnal Internasional Bereputasi, n.d.; Frandsen, 2022), joki dalam mengerjakan tugas akademik oleh mahasiswanya (Maraknya “joki” Di Dunia Pendidikan Mengancam Integritas Akademik Mahasiswa Indonesia, n.d.; Newton, 2018), tidak adanya akses yang bebas untuk para akademisi mengakses hasil penelitian di Indonesia sebab ego kampus untuk terlihat bagus (Skripsi, Tesis, Dan Disertasi Terkunci Di Repositori Universitas: Minimnya Akses Karya Ilmiah Mahasiswa Hambat Iklim Riset Di Indonesia, n.d.) dan adanya standarisasi yang menuntut para akademisi Indonesia produktiv secara kuantitas dan bukan kualitas (Fry et al., 2023; Mengurai Sistem Indeks Kinerja Peneliti “SINTA”: Lebih Banyak Mudarat Atau Manfaatnya Bagi Produksi Riset Indonesia?, n.d.).
Lalu yang terakhir, kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi saat ini cenderung hanya mementingkan formalitas terlaksannya program pengabdian, hal ini dapat terlihat dari setelah kegiatan dilaksanakan para akademisi cukup lalai untuk memperhatikan keberlangsungan program agar bisa dijalankan oleh masyarakat yang menjadi sasaran setelah selesainya kegiatan pengabdian. Hal inilah kemudian yang menjadikan masyarakat bingung dan memiliki sedikit ketidak percayaaan saat perguruan tinggi melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat.
Para akademisi yang terbiasa berada pada “Menara Gading” intelektual yang kemudian juga merasa cukup mampu untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat tanpa berdialog dengan masyarakat sebagai aktor utama dalam program kegiatan mereka. Bertindak seolah -olah guru yang kemudian mengajari masyarakat yang dianggap tidak memiliki pengetahuan , hal ini sudah cukup lama diunggkapkan oleh tokoh Pendidikan Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed. Bahwa dalam praktik kegiatan yang dilaksanakan oleh akademisi bahkan tidak hanya sebatas menggugurkan kewajiban, tapi juga berniat memonopoli masyarakat guna kepentingan pribadi/golongan.
Citra UMM dan Neoliberalisme
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) adalah salah satu perguruan tinggi yang ada di Jawa Timur, tepatnya Kota Malang. UMM sendiri memiliki program yang disebut UMM PASTI, yaitu pasti mandiri, pasti lulus tepat waktu dan pasti bekerja (Melalui Program UMM Pasti, Rektor Jamin Mahasiswa Lulus Tepat Waktu – Berita | Universitas Muhammadiyah Malang, n.d.). Pada hal ini mungkin terlihat sah -sah saja, akan tetapi apabila dilihat nilai-nilai ini agaknya merupakan hasil pemikiran dari dampak neolibelarisme yang menyatakan salah satunya bahwa “Kuliah untuk mendapatkan pekerjaan”. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu citra UMM dari tahun 2018 sampai saat ini, akan tetapi apakah UMM memperhatikan wilayah pengembangan intelektual dari akademisinya atau mengemban moral agar di UMM terjadinya gebrakan pada wilayah pengembangan ilmu eksak atau ilmu sosial ?. Bersyukurlah adanya pengembangan ilmu pengetahuan disebabkan keperluan beberapa dosen yang kemudian memerlukan gagasan untuk promosi jabatan.
Pula, Citra UMM yang diinginkan bagus dalam pandangan masyarakat awam atau bagus dalam pandangan assessor “Akreditasi” kiranya perlu diperhatikan agar tidak hanya sebagai alat guna menjaring mahasiswa baru setiap tahunnya sebanyak mungkin. Tetapi harus berupa dampak nyata yang dirasakan oleh civitas yang menjalankan seluruh kegiatan didalam kampus. Ruang diskusi yang kian jarang ditemui, hingga forum diskusi yang cenderung kosong subtansi. Lalu, Mimbar Akademik yang sudah sangat jarang dilakukan kecuali hanya saat pelantikan guru besar atau hanya ketika adanya orang pemerintahan yang datang lalu kemudian diberikan ruang untuk menjaga silaturahmi.
Dalam wilayah pengabdian, UMM cukup bagus dalam melakukan inovasi yang disebut Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) yang membuat program pengabdian oleh kampus dapat lebih flexible. Akan tetapi, flexibelitas inilah yang kemudian menjadi salah satu kelemahan pula dalam pelaksanannya. Diantaranya adalah, UMM yang berlokasi di jawa timur dan menunjuk dosennya sebagai Dosen Pendamping Lapangan (DLP) cukup kesusahan untuk melakukan monitoring kegiatan mahasiswanya di desa/lokasi pengabdian yang berada di luar jawa timur apalagi di luar pulau jawa, sehingga pada akhirnya kegiatan ini celah ini dimanfaatkan mahasiswa hanya untuk menggugurkan mata kuliah KKN yang tertera di transkip nilai. Akan tetapi, memang tidak semua program pengabdian ini dilaksanakan hanya untuk mengugurkan kewajiban tetapi juga dapat memberdayakan salah satu kampung kumuh di sudut kota Malang yaitu, Kampung Warna Warni atau biasa disebut Jodipan (Ini Dia Mahasiswa Pencetus Kampung Warna-Warni Di Kota Malang, n.d.).
Hal lainnya adalah kontribusi mahasiswanya untuk melibatkan diri dalam tuntuan kampus, salah satunya Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) apakah cukup diperhatikan hingga ke tingkat program studi. Hal ini mungkin menjadi rahasia umum bersama dimana UMM cukup pintar dalam mensiasati terwujudnya proposal guna mengikuti salah satu kegiatan bergengsi yang dilaksanakan oleh Kemenrisetdikti tersebut, diantaranya melalui penugasan mahasiswa saat mengikuti program student day atau hasil dari tugas akhir mahasiswa yang kemudian didayung sekalian sebagai proposal untuk terlibat dalam kegiatan PKM. Semangat penelitian yang terlihat dipaksakan ini terbukti tidak menunjukan respon yang diharapkan, yaitu mahasiswa memiliki sifat kompetitif dan bersemangat dalam kegiatan penelitian.
Dalam hal ini kiranya penguatan pada sektor penelitian di mahasiswa memang perlu dikuatkan kembali, semangat untuk saling bersaing menemukan gagasan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di masing-masing fakultas perlulah turut diapresiasi oleh kampus. Tentunya tidak dengan iming -iming mendapatkan nilai atau lulus suatu kegiatan yang sertifikatnya menjadi syarat kelulusan dari kampus.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sempat melaksanakan survei perihal kegiatan penelitian di kalangan mahasiswa dan hasilnya adalah dari 205.000 mahasiswa aktif strata satu tahun ajar 2022/2023 (berdasarkan data Biro Administrasi Akademik dan Pengembangan AIK), hanya ada 51 mahasiswa yang mengisi survey tersebut, hal ini berarti bukan hanya pelaksanaan kegiatan penelitian yang sudah cukup diabaikan, akan tetapi keinginan untuk terlibat dalam kegiatan penelitian pun sudah cukup diabaikan.
Di sektor lain, UMM membuat program yang bernama Center Of Excellence (Ciptakan Mutu Dan Integritas Mahasiswa Melalui Program Center of Excellence – Berita | Bestari Koran Kampus UMM, n.d.) yang merupakan implemetasi dari UMM PASTI. Dengan janji yang disampaikan bahwa mahasiswa setelah lulus akan langsung bekerja, hal ini tampak menjadi pertanyaan apakah UMM terlibat dalam pusaran arus neoliberalisme yang sudah terdapat di perguruan tinggi. Pemahaman pragmatis semakin menjamur sehingga pengembangan ilmu pengetahuan yang seharusnya terjadi di universitas jadi teralihkan dengan hanya peduli untuk tiap individu berlomba dapat mendapatkan pekerjaan yang berkelas dalam waktu sesingkat mungkin setelah menyelesaikan perkuliahan.
Akan tetapi, program ini patutlah diapresiasi sehingga kemampuan mahasiwa strata satu tidak hanya memiliki basis teori yang cukup kuat, akan tetapi memiliki kemampuan praktik yang kuat pula guna mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia. Walaupun salah satu kekurangan lainnya adalah tidak bisanya seluruh fakultas di UMM, mendapatkan perlakuan yang sama agar mahasiwanya mampu menjadi praktisi setelah lulus kuliah, tetapi juga membentuk akademisi.
Kepedulian terhadap iklim akademik yang sesuai dengan tujuan Sistem Pendidikan Nasional kiranya perlu disegarkan kembali untuk setiap civitas UMM, apakah neoliberalisme terdapat di UMM atau tidak kiranya kita perlu berefleksi bersama guna memajukan kampus UMM tercinta supaya dapat memberikan kontribusi untuk Pendidikan Indonesia yang lebih baik secara khusus dan ilmu pengetahuan secara umum. Selamat Hari Pendidikan Nasional !!!!
N/b: Tulisan ini dalam rangka memperingati hari Pendidikan Nasional Indonesia tahun 2023 sekaligus menjadi momen kritik otokritik untuk Pendidikan Indoensia dan Kampus UMM Tercinta.
Referensi
Birokratisasi, Senjakala Nasib Dosen Indonesia – Kompas.id. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/04/26/birokratisasi-dosen-mengundang-senjalaka-indonesia
“Calo publikasi”: banyak dosen Indonesia mencari jalan pintas seiring gencarnya tuntutan terbit di jurnal internasional bereputasi. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://theconversation.com/calo-publikasi-banyak-dosen-indonesia-mencari-jalan-pintas-seiring-gencarnya-tuntutan-terbit-di-jurnal-internasional-bereputasi-197113
Ciptakan Mutu dan Integritas Mahasiswa Melalui Program Center of Excellence – Berita | Bestari Koran Kampus UMM. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://bestari.umm.ac.id/id/berita/ciptakan-mutu-dan-integritas-mahasiswa-melalui-program-center-of-excellence.html
Cummings, W. K., & Kasenda, S. (1989). The origin of modern Indonesian higher education. From Dependence to Autonomy, 143–166. https://doi.org/10.1007/978-94-009-2563-2_6
Flaming, P. (2021). Dark Academia: How Universities Die. Pluto Press.
Frandsen, T. F. (2022). Authors publishing repeatedly in predatory journals: An analysis of Scopus articles. Learned Publishing, 35(4), 598–604. https://doi.org/10.1002/LEAP.1489
Fry, C. V., Lynham, J., & Tran, S. (2023). Ranking researchers: Evidence from Indonesia. Research Policy, 52(5). https://doi.org/10.1016/j.respol.2023.104753
Ini Dia Mahasiswa Pencetus Kampung Warna-Warni di Kota Malang. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3292071/ini-dia-mahasiswa-pencetus-kampung-warna-warni-di-kota-malang
Maraknya “joki” di dunia pendidikan mengancam integritas akademik mahasiswa Indonesia. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://theconversation.com/maraknya-joki-di-dunia-pendidikan-mengancam-integritas-akademik-mahasiswa-indonesia-198591
Melalui Program UMM Pasti, Rektor Jamin Mahasiswa Lulus Tepat Waktu – Berita | Universitas Muhammadiyah Malang. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://www.umm.ac.id/id/berita/melalui-program-umm-pasti-rektor-jamin-mahasiswa-lulus-tepat-waktu.html
Mengurai sistem indeks kinerja peneliti “SINTA”: lebih banyak mudarat atau manfaatnya bagi produksi riset Indonesia? (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://theconversation.com/mengurai-sistem-indeks-kinerja-peneliti-sinta-lebih-banyak-mudarat-atau-manfaatnya-bagi-produksi-riset-indonesia-201573
Neoliberalism Within Psychology Higher Education in Indonesia: A Critical Analysis – Perpustakaan UG. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://library.gunadarma.ac.id/journal/neoliberalism-within-psychology-higher-education-in-indonesia-a-critical-analysis
Newton, P. M. (2018). How Common Is Commercial Contract Cheating in Higher Education and Is It Increasing? A Systematic Review. Frontiers in Education, 3. https://doi.org/10.3389/FEDUC.2018.00067/FULL
Pasar Tenaga Kerja Berubah, Jokowi Minta Kurikulum Universitas Beradaptasi – Nasional Tempo.co. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://nasional.tempo.co/read/1441422/pasar-tenaga-kerja-berubah-jokowi-minta-kurikulum-universitas-beradaptasi
Ribetnya karier dosen di Indonesia: monopoli pemerintah dan logika birokrasi perguruan tinggi yang mengakar sejak era penjajahan. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://theconversation.com/ribetnya-karier-dosen-di-indonesia-monopoli-pemerintah-dan-logika-birokrasi-perguruan-tinggi-yang-mengakar-sejak-era-penjajahan-203683
Riset ungkap Ilmu Komunikasi di Indonesia statis, bahkan setelah 20 tahun lebih era Reformasi dan meluasnya kebebasan akademik. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://theconversation.com/riset-ungkap-ilmu-komunikasi-di-indonesia-statis-bahkan-setelah-20-tahun-lebih-era-reformasi-dan-meluasnya-kebebasan-akademik-193851
Saksono, G. I. (2010). Pendidikan Yang Memerdekakan Siswa. Diandra Primamitra Media.
Skripsi, tesis, dan disertasi terkunci di repositori universitas: minimnya akses karya ilmiah mahasiswa hambat iklim riset di Indonesia. (n.d.). Retrieved May 1, 2023, from https://theconversation.com/skripsi-tesis-dan-disertasi-terkunci-di-repositori-universitas-minimnya-akses-karya-ilmiah-mahasiswa-hambat-iklim-riset-di-indonesia-197073
Solihin, M. (2017). Education Sector Liberalisation in Indonesia, 2004-2011. JURNAL DIMENSI, 6(1), 126–138.
Wiratraman, H. P. (2007). Neo-Liberalisme, Good Governance, dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum Jentera , 4–8.