Detikkasus.com | Artikel
Oleh : Emma Fadhilla Rahmayani UMM.
Pemerintah terus mengonsolidasi penanganan virus corona yang penularannya semakin hari semakin meningkat, meski partisipasi masyarakat terus meningkat, masih timbul kegamangan. Kalangan elite terbelah, sebagian setuju lockdown, yang lain memikirkan ekses negatifnya. Kebijakan social distancing pun belum sepenuhnya bisa dipatuhi. Ketidakpatuhan masyarakat ini tidak selalu harus dihadapi sebagai bentuk pembangkangan sipil, tapi karena situasi tertentu yang dihadapi masyarakat tertentu membuatnya terpaksa menerobos protokol tersebut.
Social distancing mungkin bisa dipatuhi oleh mereka yang bergaji tetap seperti ASN, yang mana tinggal di rumah (stay at home) tidak memengaruhi pemasukannya. Akan tetapi, kebijakan ini nyaris tidak bisa dipatuhi oleh mereka yang bergantung pada kerja harian, yang mana tinggal di rumah berarti kelaparan. Bagi kelompok sosial terakhir ini, pilihan yang ada bukan tentang hidup atau mati, melainkan memilih mati dimana, diluar atau didalam rumah, ASN hanyalah berkisar 3,8 persen, belum termasuk polri dan TNI. Struktur masyarakat tersebut berada diluar itu. Mereka bukanlah pegawai atau karyawan yang bergaji tetap.
Banyak pihak termasuk kalangan akademisi, yang mengkritik Presiden Jokowi Karena dianggap teledor dengan tidak segera memberlakukan lockdown agar sebaran virus dapat dicegah dan ledakan korban bisa diminimalkan. Menurut mereka, ketidaksigapan Presiden tersebut akan membahayakan warga. Padahal, bagi masyarakat tak berpenghasilan tetap, lockdown juga berarti kebuntuan hidup.
Tidak mungkin lockdown nasional luput dari pembicaraan presiden dengan orang sekitarnya. Berbagai pemberitaan mengindikasikan adanya beberapa kutub kekuatan di istina terkait dengan kebijakan penanganan pandemic ini. Sebagian ingin lockdown nasional, Sebagian menginginkan partial lockdown atau lockdown kabupaten/kota. Kementrian Kesehatan belum punya kebijakan pasti kecuali menunggu policy yang diambil presiden. Para penasihat presiden pun belum memberikan kepastian ke arah mana pemerintah harus melangkah. Para pimpinan juga tidak satu suara.
Tekanan dunia tenttu ke arah lockdown. Tapi, keputusan itu tidak mudah diambil. AS dan inggris, dua negara yang dianggap sebagai negara paling siap menghadapi bahaya apapun, organisasi Kesehatan dunia WHO juga kewalahan mengatur negara negara di bidang Kesehatan. Tak ada contoh sempurna. Bahkan, Tiongkok yang dianggap sukses menghentikan serbuan virus ini belum bisa sepenuhnya lepas dari ancaman Kembalinya serangan gelombang berikutnya selepas kepulangan warga dari luar negeri.
Karena itu, bisa dipahami kalau Presiden Jokowi belum memutuskan kebijakan lockdown hingga saat ini. Untuk sementara, kebijakan yang dipilih adalah social distancing, psysical distancing, isolasi mandiri, meliburkan kantor-kantor pemerintahan dan swasta, melarang pertemuan umum, melarang rapat-rapat, melarang ibadah berjamaah, melarang perjalanan dinas, melarang penyebaran hoax, kampanye hidup bersih, menggeser anggaran untuk pendanaan mengatasi corona, memperbanyak pembelian peralatan Kesehatan, serta menyiapkan tempat isolasi dan pengobatan.
Presiden jelas mempertimbangkan beratnya konsekuensi lockdown. Jika lockdown nasional diterapkan, bisa jadi konsekuensinya adalah hancurnya sistem sosial, naiknya tingkat kerentanan sosial, serta parahnya dan mendalam kemiskinan. Semua gubernur mengalami dilemma. Mereaka mengalami tekanan yang luar biasa, bukan perkara mudah untuk mengambil kebijakan lockdown di tingkat kabupaten/kota. Sebagai provinsi tidak mengambil kebiiakan provincial lockdown atau city lockdown, tapi mendorong efektivitas social distancing. Warga diintruksi untuk tetap tinggal di rumah, lockdown sepihak tidak akan menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru.
Siapapun gubernur pasti akan mengikuti kebijakan pusat sambil membuat berbagai terobosan dan efektivitas penanganan wabah. Berkali-kali dinyatakan bahwa arah kebijakan penangan pandemi corona adalah mendahulukan kepentingan masyarakat, terutama kalanngan bawah yang menanggung dampak pandemi paling parah. Kondisi sosial sekarang juga sangat rentan. Kekuatan ekonomi nasional tidak sungguh-sungguh kukuh. Produksi menurun, bahkan suplai barang-barang pokok masih minim. Banyak barang kebutuhan utama dipenuhi melalui impor karena pertanian tidak bagus, di samping banyaknya bencana alam. Masyarakat bawah yang keadaannya memprihatikan terus bertambah. Mereka ini hanya bisa hidup melalui kerja harian. Menurut data BPS dan Kemensos, ada 30-40 juta keluarga miskin dan amat miskin. Tidak terbayang apa yang akan terjadi jika 40 juta keluarga itu harus tinggal di rumah dan dikunci. Pasti yang terjadi adalah kecamuk sosial seperti yang terjadi di India, sebuah situasi yang tidak kalah mengerikannya dari pandemi.
Lockdown juga akan membuat ekonomi regional hancur. Sektor swasta juga pasti akan menjerit jika lockdown total diberlakukan. Ekonomi pedesaan akan lumpuh, jika yang diharapkan adaalah dana desa, perlu diketahui bahwa dana desa Rp 70 triliun itu pada dasarnya tidak langsung bisa diserap masyarakat. Dana itu sebagian besar digunakan untuk infrastruktur desa dan penguatan institusi di desa, bukan bantuan sosial.
Jelas bahwa lockdown total tidak semudah yang dinyatakan karena konsekuensinya yang sangat berat. Sekalipun demikian, opsi lockdown nasional bukan tidak mungkin untuk diambil. Pemerintah pusat tentu menyusun peraturan pemerinntah untuk menyiapkan lockdown nasional jika memang pada akhirnya tidak ada pilihan lain. Bahkan, saat ini pun kementrian Luar Negeri dan Kementrian Perhubungan sudah melarang penerbangan antarnegara kecuali untuk kepentingan khusus, misalnya pengiriman obat-obatan.
Hingga saat ini, opsi lockdown nasional tampaknya belum dipilih sebagai kebjakan. Menk Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintahan tidak akan memberlakukan lockdown nasional. Pemerinntah lebih memilih karantina wilayah dengan berbagai ketentuan yang ada dalam UU nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan Kesehatan.
Belajar dari social unrest di India, lockdown tanpa persiapan yang matang akan mengundang kematian kepercayaan terhadap negara, orang bisa jadi akan menuntut hak hidupnya sambil marah dan menjarah. Skema partial lockdown seperti di Tegal adalah pilihan masuk akal, sambil tetap memahami masyarakat untuk keluar rumah mencari nafkah, mencoba menghidupkan ekonomi rumah tanga dari kematian pelan-pelan.