Detikkasus.com | Artikel
JAKARTA-Salah satu fraksi di MPR Republik Indonesia di tuding membuat isu yang sangat menggemparkan soal isu jabatan presiden yaitu selama 3 periode atau selama 15 tahun. Itu semua adalah rumusan MPR yang lalu yang menjadi masukan ke MPR yang sekarang, Eks Ketua MPR RI itu menegaskan, terkait pemilihan presiden dikembalikan ke MPR RI sebagaimana usulan PBNU, harus dikaji mendalam. UUD 1945 yang akan diamandemen telah digoreng oleh para pialang politik menjadi anak panah yang seolah-olah menyudutkan presiden dan wakil presiden. Jika jadi diamendemen, perubahan periode masa jabatan presiden ini memungkinkan Presiden Joko Widodo menjabat satu periode lagi, dari aturan awal yang membatasi hanya dua periode. wakil ketua MPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyampaikan adanya wacana itu di MPR. Seperti diketahui, untuk usulan perubahan masa jabatan presiden tiga periode secara tegas ditolak oleh Fraksi Demokrat, PKS, dan PKB. PDIP dan Golkar menyebut hal itu bukan agenda MPR RI. Setelah ramainya pemberitaan tentang amandemen UUD 1945, lantas presiden jokowi akhirnya buka suara soal wacana tentang isu perpanjangan masa jabatan presiden yang menyeret namanya akhir-akhir ini, dan pantas saja presiden Jokowi marah atas isu jabatan menjadi 8 tahun atau dapat dipilih kembali selama tiga kali. Beliau mengatakan wacana masa jabatan presiden dari 2 periode menjadi 3 periode sangatlah merugikan presiden Jokowi, karena secara otomatis presiden Jokowi lah yang menjadi aktor utama. “Ada yang ngomong presiden dipilih 3 periode itu ada 3 kemungkinan yaitu yang pertama ingin menampar muka saya, yang kedua ingin mencari muka, yang ke tiga ingin menjerumuskan, lebih baik kita fokus menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang sekarang bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan, lebih baik tidak usah amandemen” ujar presiden Jokowi di istana negara. Untung saja isu ini cepat direspon oleh presiden Jokowi dan wakil presiden KH. Ma’ruf amin dan langsung kompak mengambil keputusan untuk menolak amandemen, Mengenai pemilihan presiden dikembalikan ke MPR RI, secara tegas ditolak oleh PKS dan Demokrat. PDIP, PAN, dan Golkar memilih untuk menunggu kajian tentang usulan tersebut. Sikap PPP hampir serupa, namun mereka lebih menunggu respons masyarakat. Yang jelas mendukung adalah PKB dan NasDem. Sementara Gerindra belum menyatakan sikap. Coba andai saja isu ini sampai menjadi kenyataan kita akan kembali ke jaman pemerintahan presiden Soeharto. Selama 32 tahun pemerintahannya Soeharto meletakkan pondasi pembangunan di Indonesia melalui Repelita yang disebut orde baru. Dijaman orde baru meskipun terciptanya negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur dan juga alam era ini masyarakat mendapati harga bahan-bahan pokok yang terjangkau dan situasi keamanan dan ketertiban yang terjaga, juga tercapainya Swasembada Beras tetapi dulu terkenal dengan maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, pembangunan Indonesia yang tidak merata, yang paling parah kritik dibungkam dan oposisi diharamkan. Kalau seorang presiden sudah mulai didewakan maka demokrasi sudah mulai memudar bahkan punah. Bisa saja semisal presiden telah sukses berjuang untuk negara atau rakyat sudah puas, orang-orang ini akan mencoba mengusulkan sistem pemerintahan menjadi kekaisaran atau sistem kerajaan seperti jaman dulu dengan rajanya yaitu presiden dengan jabatannya yang lama. Padahal sistem demokrasi itu tidak mementingkan keberhasilan pada satu orang atau individu saja melainkan semua yang berkontribusi membangun negara ini ke arah yang lebih baik. Sedangkan wakil presiden KH. Ma’ruf amin juga angkat bicara perihal isu yang berkembang di masyarakat, presiden 3 periode menurut beliau dengan jabatan presiden dan wakil presiden yang dipilih 3 periode itu sangatlah berlebihan hanya menambahkan masalah dan justru itu mengundang polemik baru di Indonesia. Beliau juga menilai, wacana tentang presiden yang dipilih oleh MPR juga perlu disudahi pembahasannya karena bagaimanapun presiden yang memilih adalah rakyat atau pemilihan secara langsung. Dapat dilihat dari pemilu tahun 2019 saja menghabiskan dana kurang lebih 25 triliun, Siapa bilang demokrasi itu murah? Harga sebuah demokrasi sangatlah mahal, tidak saja biayanya yang besar, tetapi juga sumberdaya lainnya lebih besar lagi yang harus dicurahkan demi suksesnya sebuah pesta demokrasi. Oleh karenanya tidak boleh disia-siakan, tetapi harus dikawal, diperjuangkan dan diberhasilkan. Untuk pesta demokrasi Pemilu serentak pada 17 April 2019 yang lalu, pemerintah harus menyediakan anggaran sekitar Rp 25 triliun, sejak dari persiapan hingga nanti pelaksanaannya. Sebuah angka yang tidak sedikit, dan karenanya kalau hasilnya tidak baik, akan menjadi mubazir dan kerugian besar bagi negeri ini. Dengan demikian lebih baik elit-elit politik lebih memperhatikan permasalahan yang timbul setiap sesudah diadakannya pemilu seperti bentrok antar warga akibat berbeda pilihan, bahkan bentrok dengan aparat yang bertugas sesampai pendemonstran merusak sarana dan prasarana disekitar tempat demo, itulah yang harus dibenahi pemerintah agar tidak terjadi bentrokan yang sampai merengut nyawa seseorang, bukan sistem pemilihannya yang dirubah. Indonesia adalah satu-satunya negara yang paling gampang membuat undang-undang dan merevisi undang-undang, karena kebanyakan yang membuat masalah dan membuat bingung rakyat justru tokoh-tokoh yang diatas.
DATA DIRI
NAMA : WISNU YUDA PRATAMA
NIM : 201910050311100
PRODI : ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS : FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG