Detikkasus.com | Artikel
Setelah kurang lebih dari 21 tahun melewati masa Reformasi, Indonesia dapat dibilang telah menjadi negara yang lebih demokratis dari pada sebelumnya. Demokrasi secara langsung memberikan pencerahan dan angin segar pada kebebasan bagi masyarakat Indonesia, meski ternyata di satu sisi demokrasi juga menciptakan sisi gelap yang selama ini kita rasakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara (Depdikbud, 1990: 914). Berbicara mengenai pengertian demokrasi, pada dasarnya tidak ada definisi khusus mengenai kata tersebut, hal ini dikarenakan setiap negara yang menganutnya memiliki cara tersendiri dalam penerapannya. Hanya saja terdapat indikator-indikator tertentu dalam menentukan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi yang selama ini dibangga-banggakan dan diagung-agungkan oleh kebanyakan negara di dunia yang salah satunya adalah Indonesia ternyata memiliki sisi gelap yang sangat memprihatinkan. Di tengah arus liberalisasi dan demokrasi yang begitu kencang, Ustadz Mustaqim, Lc alumni pesantren NU Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur ini, menanggapi beberapa kasus yang hangat seputar akhlak aktivis dakwah yang terjerembab dalam demokrasi dewasa ini. Ustadz muda yang aktif berdakwah di jalur pantura ini juga menyampaikan, sejak lahirnya demokrasi sudah cacat, maka siapa pun yang mengikutinya juga cacat (VOAIslam, 18 Mei 2013). Pada dasarnya banyak sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan demokrasi yang membuat demokrasi itu sendiri tidak dapat berjalan dengan baik. Kita sebagai masyarakat yang sangat amat peduli terhadap nasib bangsa dan negara seharusnya berupaya untuk mengajukan sebuah protes dan kritikan terhadap sistem demokrasi yang hasilnya hanya membuat sistem di Indonesia dikendalikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kepentingan rakyat. Tepat di sinilah yang menjadi sisi gelap serta cacat dari demokrasi. Demokrasi yang erat kaitannya dengan globalisasi dan AS sebagai pencetusnya menawarkan janji-janji yang tidak terbukti dan hanya merugikan Indonesia. Banyak orang yang sudah begitu tergila-gila dengan demokrasi ala Barat, bukan benci bahkan memusuhi apapun yang datang dari Barat, namun jika melihat kenyataannya tidak semua yang datang dari Barat itu baik, bahkan seringkali banyak yang tidak cocok pada budaya kita, timur. Salah satunya adalah demokrasi yang begitu kebablasan bebasnya.
Tidak sedikit orang yang menggunakan alasan demokrasi untuk sesuatu yang salah, anggapannya bila demokrasi berarti bebas berbuat semau-maunya dan seenaknya tanpa memikirkan hak orang lain, untuk itu mari kita lihat lima sisi gelap atau bobrok dari demokrasi:
1. Kelemahan paling fatal dari demokrasi yang diusung Barat adalah pemenangnya terletak pada suara terbanyak. Jadi, siapapun dia, apa dan bagaimanapun partainya serta bagaimana cara dia mendapatkan suara dalam suatu pemilu tidak begitu digubris bahkan diacuhkan. Dalam pilkada atau pilpres maka bila sebuah partai atau koalisi partai melebih suara yang 50%, maka partai atau kolaisi partai tadi sudah dipastikan menang. Dengan meraih suara terbanyak maka partai apapun namanya akan dianggap sebagai pemenang, nah repotnya kemenangan sebuah partai atau koalisi partai bila sudah dinyatakan oleh lembaga yang mengurus pemilihan tadi. Tidak jarang banyak yang tidak terima karena ada kecurangan, yang biasanya di tuduhkan oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang. Lagi pula siapa yang dapat menjamin bahwa yang terpilih menang adalah ia yang terbaik untuk membawa masa depan bangsa? Pertanyaan ini setidaknya menjadi PR untuk masyarakat agar berfikir kritis terhadap ketidakpastian tersebut.
2. Membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk mendapat suara dalam pemilu agar sesuai dengan target yang diinginkan, puluhan partai bertarung satu sama lain ketika pemilihan umum. Secara logika, jika pemilu diikuti oleh sekian banyak partai untuk mendapatkan lebih dari 50% suara tidak mungkin dilakukan sekali putaran. Nah, sekarang coba kita bayangkan, jika pemilu seperti itu dilakukan di Indonesia yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke apakah tidak mustahil untuk mengetahui pemenangnya dalam waktu singkat jika dihitung manual? Hingga pada akhirnya dipakailah ‘Quick Count’ yang membuat partai-partai “kebakaran jenggot” ketika mengetahui kekalahan mereka yang belum resmi. Bagaimana tidak stres, galau dan gila partai-partai tersebut? Ironisnya mereka harus membayar hutang dana kampanye yang telah dipinjam.
3. Money Politic tidak dapat terelakkan, jadi pada akhirnya siapa yang banyak uang dia yang menang! Padahal kita tahu yang menang belum tentu orang baik dan benar, bisa saja kan pembohong? Selama kampanye pemenang bisa saja dengan begitu pandai dan cerdiknya mengemas tentang dirinya dan partainya, pada awalnya kelihatan “bersih dan suci” namun sebagaimana bangkai, dikubur sedalam laut pun tetap akan tercium baunya. Dan hal ini terbukti dikemudian harinya, perlahan namun pasti keburukan partai pemenang terbongkar satu demi satu, mulai dari kasus korupsi hingga skandal video porno anggota legislatif.
4. Campur tangan pengusaha. Dapat dilihat secara langsung atau tidak, keberadaan para pengusaha ikut andil dalam permainan politik ketika pemilihan umum. Tanpa sepengetahuan badan pengawas pemilu banyak pihak penyelenggara kampanye mendapatkan dana yang entah darimana asalnya dan diduga dari para pengusaha yang ada kepentingannya. Dengan liciknya mereka bekerja sama yang jika menang usahanya akan untung dan mendapatkan sesuatu dari pemenang.
5. Rakyat jadi korban. Ketika pemilu sedang berlangsung rakyat “laku dijual” oleh partai-partai yang berlomba-lomba mengatasnamakan rakyat dan itu sangat tampak jelas sekali, kita bisa melihatnya saat terjadi bencana alam dan bertepatan dengan pilkada atau pilpres, saat itu bantuan banyak bermunculan dan bendera partai bertebaran di mana-mana, namun bila terjadi benca alam pada saat bukan pemilu atau pilkada, tak ada satupun bendera partai berkibar! Ya benar-benar keterlaluan, sampai korban bencana alampun dimanfaatkan untuk kepentingan partai, bukan semata-mata ikhlas membantu, tapi ada maunya. Rakyat diatasnamakan, “demi rakyat, untuk rakyat” kata para jurkam saat pemilu atau pilkada, tapi setelah pilkada selesai atau pilpres selesai, maka selasai pula mengatasnamakan rakyat, rakyat kembali ke asalnya, rakyat kembali ke habitatnya, rakyat kembali kedalam kubang kesusahannya, sembako antri, BBM naik, rakyat terjepit dan tercekik dengan melambungnya harga-harga. Rakyat kembali susah mencari pekerjaan, yang sudah kerjapun banyak yang di PHK kan, rakyat kembali menjadi korban tanpa bisa berbuat apa-apa.
Itulah lima dari sekian banyak sisi buruk adanya demokrasi yang Barat kembangkan, lalu bagaimana solusi memperbaiki demokrasi yang bobrok tersebut? Hal ini kemudian yang menjadi sukar dan susah karena demokrasi merupakan ciptaan dan bentukan manusia. Sudah dapat dipastikan sesuatu yang dibuat manusia terdapat kelebihan dan kekurangan, sisi positif dan negatif, dampak baik dan buruknya. Lima sisi gelap dan cacatnya demokrasi menuntut pemerintah bersama masyarakatnya untuk diperbaiki. Bagaimana caranya? Memang tidak gampang untuk memperbaiki suatu sistem yang telah bobrok, karena jika dilakukan oleh salah satu pihak tanpa diikuti oleh pihak yang bersangkutan lain hal tersebut akan sia-sia saja. Tanpa adanya kerjasama dari semua golongan seperti rakyat, partai dan anggotanya, pemenang terpilih dan bahkan pihak oposisi demokrasi Indonesia tidak akan membawa keuntungan bagi siapapun.
Diperlukan orang-orang atau lembaga yang bersih, jujur dan berani bertindak bila ada pelanggaran, benar-benar ditindak, bukan tebang pilih. Dan banyak lagi usaha lain untuk menjadikan demokrasi yang benar, dalam arti yang menang adalah memang partai-partai yang bersih, yang benar dan yang jujur, bukan yang asal menang, bukan asal suaranya terbanyak. Kalau asal menang dan asal suaranya terbanyak atau yang menang adalah partai pembohong, buat apa ada demokrasi, buat apa ada pemilu? Mungkin itu sebabnya banyak yang golput, banyak orang yang sudah tak percaya dengan adanya pemilu atau pilkada.