Penulis : Khofifah Nur Sabrina Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Detikkasus.com | Pada zaman berkembangnya teknologi ini sudah tak asing lagi dengan televisi dan segala tayangannya, dan bahkan hampir setiap rumah memiliki televisi. Mulai dari layar yang hanya hitam putih sampai layar yang kini berwarna dan lebih beragam. Kini, menonton televisi adalah kegiatan yang dilakukan saat waktu luang mulai dari anak-anak sampai dewasa. Televisi menjadi salah satu sumber informasi, berita dan hiburan yang dibutuhkan kita. Namun, televisi yang merupakan saran hiburan akan memiliki dampak bagi kehidupan. Ada juga dampak buruk terutama bagi anak-anak dan remaja.
Begitu pun, hal yang sama seperti televisi yang terkenal dengan sebutan YouTube, salah satu situs web yang didirikan pada tahun 2005 untuk menggugah, menonton, dan berbagi video hanya dengan bermodalkan kuota. Adapun konten di YouTube diunggah oleh individu, organisasi, dan perusahaan. Sedangkan, netizen yang tidak memiliki akun hanya dapat menonton video. Jumlah netizen Indonesia yang menonton YouTube hampir menyaingi jumlah netizen yang menonton televisi. Hal ini terungkap dari survei Google dan Kantar TNS pada Januari 2018. Menurut survei itu, YouTube ditonton oleh 53 persen pengguna internet di Indonesia. Sementara 57 persen netizen juga menonton televisi. Hal ini berbeda dengan radio yang hanya didengarkan 13 persen pengguna internet. Head of Marketing Google Indonesia, Veronica Sari Utami, menjelaskan bahwa waktu tonton Youtube oleh netizen Indonesia berada di kisaran 59 menit. Berdasarkan riset tersebut, ternyata YouTube tidak hanya disaksikan oleh penonton di daerah pusat kota saja. Sebab, sebanyak 92 penonton YouTube di Indonesia berdomisili di kota, sementara 85 persen berada di daerah pedesaan. Survei ini melibatkan 1.500 pengguna internet di 18 kota di Indonesia
Pengguna YouTube pun tak lepas dari anak-anak . Mereka berinteraksi secara pasif dengan YouTube, bahkan mereka hanyut dalam tontonannya dan mereka bisa mengikuti apa yang mereka tonton. Sayangnya media yang seharusnya dapat memberi informasi baru, bersifat mendidik, namun untuk sekarang banyak tontonan yang mengandung kekerasan dan pornografi, bersifat konsumtif, dan tidak mendidik. Bahayanya jika anak-anak tidak di kontrol dengan baik maka akan membahayakan dirinya sendiri. Banyak channel yang tidak sesuai dengan umur penontonnya tapi muncul dengan mudahnya, sehingga hal ini harus ada pendampingan dari orang bahkan ketegasan dalam waktu penggunaan YouTube.
Hurlock (1988) mengamati acara apa saja yang diminati oleh anak-anak. Anak-anak prasekolah menyukai dramatisasi yang melibatkan hewan dan orang yang dikenal, musik, kartun, komedia sederhana. Anak kelas satu dan dua menyukai pertunjukan boneka, film koboi, misteri, humor, suasana kehidupan keluarga dan acara kuis berhadiah. Anak kelas tiga dan empat tertarik dengan acara yang imajinatif seperti tentang roket dan kenderaan luar angkasa, show, cerita misteri, detektif, drama dan music. Anak kelas lima dan enam tetap menyukai acara tersebut, tetapi mereka juga menyukai acara berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan hasta karya. Cerita, komedi, kartun dan music disenangi anak di setiap tingkat usia anak. Namun, mengapa tontonan anak zaman sekarang tidak sesuai dengan usianya?
Anak dapat melakukan proses belajar dari channel yang mereka tonton, Gregory A. Kimble berpendapat bahwa belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam potensi perilaku yang muncul sebagai hasil dari latihan yang dikuatkan (Olson, 2009). Ketika anak menyaksikan setiap tayangan yang dilihatnya, kemudian belajar dari tayangan tersebut. Anak mulai mengadaptasi cara-cara atau perilaku yang disajikan oleh tayangan tersebut tanpa menyadari apa yang dilakukannya. Menurut Winarso (2005, hal : 173) analisis Bandura terhadap pembelajaran sosial mencakup unsur-unsur utama analisisnya adalah proses perhatian (attentional process), proses pengingatan (retention process), proses reproduksi motorik (motor reproduction process) dan proses motivasi (motivational process).
Saat anak asyik menonton di YouTube, mereka dapat melihat tayangan yang sama terus-menerus akan mereka coba untuk melakukannya. Jika, tayangannya mengandung kekerasan maka suatu saat dia akan melakukannya pada orang lain, jika anak melihat tayangan banyak membeli sesuatu maka anak akan menginginkan apa yang dilihatnya. Karena anak belum dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan, bahayanya jika tidak terkontrol tayangan yang seharusnya memberi pesan positif malah membuat anak menjadi lebih agresif, konsumtif serta menginginkan sesuatu dengan instan tanpa berproses. Intinya adalah apa yang anak lihat maka anak akan mengikutinya.
So, sudah tak aneh jika banyak anak yang meniru banyak artis atau orang-orang yang biasa dilihat di channel YouTube, tak apa jika yang dilihatnya hal yang positif dan membangun tapi apalah jadinya jika yang dilihat adalah hal negatif yang bisa merusak perkembangan anak. Pada intinya setiap sesuatu pasti ada baik dan buruknya, semua tergantung pada kita bagaimana kita memilih dan melakukan. peran orang tua disini menjadi hal penting dalam perkembangan anak termasuk dalam tontonan apa yang bisa di lihatnya, teman pun berpengaruh karena anak bisa mengikuti apa yang dilihat temannya, dan tentunya para kreator yang membuat konten mestinya mengikuti prosedur yang ditentukan oleh YouTube dan dapat mendidik, Serta iklan atau komentar yang negatif atau tidak layak dilihat perlulah dapat ditindak lanjuti oleh pihak YouTube, agar lebih nyaman untuk para netizen yang menontonnya. Semoga YouTube selalu berkembang lebih baik, para kreator dapat memberi konten yang lebih mendidik, dan para netizen yang lebih bijak dalam memilih tontonannya.