Pentingnnya Perempuan Dalam Pembangunan Negeri Ini.
Detikkasus.com | Permasalahan gender atau kesetaraan gender selalu menjadi fenomena yang menjadi perbincangan dalam masyarakat Indonesia. Kesenjangan gender dalam publik dan politik adalah salah satu tantangan yang sampai saat ini di hadapi oleh masyarakat Indonesia yang disebabkan keterlibatan perempuan yang belum optimal dalam aktivitas publik maupun politik, maka dari itu kesenjangan gender menjadi tantangan yang berskala lokal maupun nasional. Pemerintah sendiri telah berkomitmen akan menjalankan prinsip kesetaraan gender, dalah satu ejawantah-nya pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kesetaraan Gender.
Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia berasal dari bahasa inggris yaitu ‘gender’. Dalam kamus bahasa inggris, tidak ada perbedaan anatara sex dan gender. Oleh sebab itu seringkali gender disamakan dengan sex (jenis kelamin, laki-laki dan perempuan). Gender dan sex adalah dua hal yang berbeda. Gender ialah penjelasan tentang pengalaman perempuan yang dikembangkan dari perspektif yang berpusat pada perempuan. Definisi dari gender sendiri ialah konstruksi sosial mengenai fungsi, status, dan hakekat perempuan dan laki-laki tanpa meninggalkan kodratnya. Sedangkan sex itu berbicara mengenai biologi yang tidak akan berubah atau bersifat kodrati, contohnya seperti perempuan dapat melahirkan dan laki-laki memiliki jakun. Masih banyaknya kesalahpahaman akan makna gender menjadikan gender terus menjadi salah satu kajian yang masih mendapat perhatian mendalam untuk dianalisa.
Kata gender sejak awal tahun 1977 di London yang dimana gerakan feminisme mempertanyakan kapan perempuan dapat menggulung selimut pengontrolan yang dilakukan oleh kaum pria, hal tersebut sengaja digunakan untuk menyudahi budaya patriarki karena gerakan feminisme mencoba untuk merubah mindset masyarakat yang selalu berfikir bahwa ada pembatasan-pembatasan peran, perilaku, ataupun karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan.
Pada awalnya perempuan berperan dalam bagian pembangunan saja yang membuat nampak adanya penindasan dan ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki namun seiring berjalannnya waktu peran perempuan beralih masuk kedalam struktural penguasaan sumber daya produksi. Hal ini tentu menjadi suatu langkah nyata bahwa perempuan dan laki-laki setara dalam peran disetiap aktivitas masyarakat.
Seperti yang sudah saya jelaskan diawal bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam mewujudkan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, dibuktikan dengan diterbitkannya berbagai pranata hukum mulai dari ratifikasi konvensi CEDAW, dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, kemudian terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah serta Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.
Selain itu, bentuk nyata dari pemerintah mengenai kesetaraan gender juga dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang tertuang dalam undang-undang tersebut ialah syarat menjadi badan hukum atas suatu partai politik, disyaratkan bahwa untuk menjadi suatu badan hukum, partai politik harus memiliki kepengurusan, sedikitnya 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan. Sementara untuk kecamatan, harus memiliki kepengurusan setidaknya 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan. Dalam masalah kesetaraan gender diatur secara tegas dengan menentukan tingkat keikutsertaan perempuan dalam aktivitas partai politik sedikitnya 30%, demikian juga pada jumlah kepengurusan perempuan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Meskipun pemerintah konsisten mengenai kesetaraan gender dalam konstitu namun tetap saja Indonesia masih cukup lemah dalam Indeks Pembangunan Gender atau Gender Development Index (GDI) yang terlihat bahwa pada tahun 2017 hanya dapat berpaut pada angka 71,74% yang artinya adalah perempuan Indonesia masih belum menikmati hak dan standar yang sama dengan laki—laki.
Indonesia nyatanya masih cukup rendah dalam Indeks Pembangunan Gender atau Gender Development Index (GDI) pada tahun 2017 sebesar 71,74 persen, yang mengartikan perempuan di Indonesia masih belum menikmati hak dan standar yang sama dengan para laki-laki. Selain GDI keterwakilan perempuan dalam politik juga ikut serta menjadi sebuah bentuk nyata bahwa Indonesia masih belum menerapkan konsep kesetaraan dan keseimbangan gender. Keterwakilan perempuan dalam parlemen pada tahun 2017 di provinsi Kalimantan Selatan sendiri hanya 12,37 persen yang dimana lebih rendah dari provinsi Kalimantan Tengah yang dapat mencapai 28,89 persen hampir sampai dengan 30 persen seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Keterwakilan perempuan dalam partai politik turut menjadi sebuah permasalahan, karena definisi dari keterwakilan perempuan itu sendiri tidak dibahas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sehingga harus dipelajari dan dicari kembali dalam perundang-undangan lainnya. Seperti tampak pada Undang-Undang No 39 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa keterwakilan wanita adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan gender. Sementara itu jika dipahami lebih lanjut, kata-kata pemberian pada makna keterwakilan perempuan mendefinisikan bahwa hak-hak perempuan dalam politik seakan-akan hanyalah sebuah pemberian atau hadiah. Sehingga pergolakan terjadi agar undang-undang tersebut haruslah di verifikasi ulang dengan acuan keterwakilan perempuan bukanlah sebuah pemberian.
Setelah kita melaksanakan pemilihan umum pada 17 april 2019 dan pengumuman hasil pemilihan presiden oleh KPU pada 22 Mei 2019 lalu yang menjadi perbincangan panas selama beberapa minggu dalam publik dan mengesampingkan persoalan representative gender dalam politik merupakan hal kurang tepat yang dilakukan oleh masyarakat. Karena, perempuan adalah agent of development, aset bangsa yang potensial dan perannya sebagai kontributor sangat dibutuhkan dalam pembangunan.
Keterwakilan perempuan dalam pemilihan umum April 2019 lalu memang sudah melampaui lebih 30%, tetapi apakah hal itu akan menjadikan keterwakilan perempuan dalam parlemen dapat melampaui 30%? Dan apakah perempuan yang akan menduduki kursi legislatif dapat berperan aktif dalam pemberdayaan perempuan? Saya rasa, para perempuan yang mencalonkan diri dalam kontestasi politik lalu harus bisa menuangkan dan memperjuangkan aspirasinya mengenai hak-hak perempuan dan masyarakat yang selama ini belum tuntas. Karena, yang mengetahui kebutuhan perempuan hanyalah perempuan itu sendiri. Jadi, perempuan yang telah diamanati oleh rakyat untuk masuk kedalam parlemen, harus menggunakan kewenangannya sebaik mungkin, agar kebutuhan perempuan dan masyarakat dapil-nya dapat terpenuhi.
Andi Putri Dewi Hamidah, mahasiswi Prodi Ilmu Pemerintahan, Univeristas Muhammadiyah Malang.