Detikkasus.com | Provinsi Lampung – Kabupaten Lampung Tengah – Nyono Rahadi, Kepala desa Liman Benawi kecamatan Trimurjo, kabupaten Lampung Tengah, menghindar saat ditemui awak media dikediamanya. Saat mau diminta konfirmasi tentang penerbitan sertifikat massal prona yang diduga sarat dengan adanya pungli (pungutan liar) yang sangat tinggi. Saat ketika ditanyakan keberadaan suaminya, istri dari kepala desa sendiri mengatakan bahwa suaminya tidak ada dirumah, masih di Tanjung Karang gak tau pulangnya kapan”.
Sebelumnya pihak media mendapatkan informasi dan keluhan dari beberapa warga setempat yang menjadi peserta prona, kenapa biaya yang ditetapkan didesanya sangat tinggi, padahal infonya gratis, adapun biaya biasanya lebih ringan seperti biaya yang ditetapkan didesa tetangga mereka.
Pada sabtu 29/12/2018 pihak media sendiri menelusuri kebenaranya.
Hendro Wibowo sebagai sekdes saat ditemui dirumahnya ditanya tentang kronologi penerbitan sertifikat prona, Bowo mengakui “tau tapi waktu itu pergantian”.
Menurut Bowo, “kepanitiaan di ambil dari masyarakat dan pamong, untuk penetapan biaya berdasarkan musyawarah masyarakat dikasih tau berapa yang ditetapkan”.
Ditanya berapa jumlah yang diminta panitia?, Bowo sendiri menjawab setiap tahun berubah- ubah sebenarnya ringan itu sejumlah Rp. 250.000 per sertifikat tahun 2016″. Apa enggak lebih dari itu ? “Iya, itu kan untuk pembelian materai, pembelian anu diluar target pokok”.
Artinya itu ada dua pembiayaan ya, kok ada pokok diluar pokok maksudnya ? ” artinya diluar BPN kan standar ada aturan standar BPN.”
Dua ratus lima puluh itu ketentuan secara lisan apa tertulis ? ” yang ngasih arahan ke warga itu BPN”.
Jadi BPN langsung turun ke warga ? ” iya artinya ngasih tau ke warga biar warga tau”.
Terus dari pejabat BPN sendiri siapa yang ngasih arahan waktu itu ? ” ya itu dari 2016 sih ya, kalau njenengan pingin tau lebih banyak langsung aja ke ketua aja dari pamong juga. Ketua panitia itu dari 6 D pak Lukdaeri”.
Jadi, menurut yang sampean tau ini dari BPN dua ratus lima puluh ribu ?
Atau seperti apa besar kecilnya yang dikatakan diluar 250.000 ? ” iya.., ya itu untuk foto copy dan untuk anu, kan itu butuh biaya termasuk transportasi panitia”.
Terus diluar pokoknya pastinya selain 250.000 itu seperti apa ? ” lupa sih mas, coba tanya aja ke pak Lukdaeri, semua ada disana berita acara semuanya ada, karna nanti kalau salah jawab saya repot, karena saya hanya sekedar membantu, kalau gak kelurah aja, nanti kalau saya bicara gak sesuai berita acara apa yang enggak diketahui oleh pak lurah kan salah”.
Berapa jumlah sertifikat yang diterbitkan ? ” lebih kurang 500 sertifikat. ”
Sampean di kepanitiaan sendiri sebagai apa ? ” anggota”. Imbuh Bowo.
Sementara dilain tempat di rumah Lukdaeri saat diminta konfirmasinya, Lukdaeri dengan nada gugup terkesan menolak untuk mberikan keterangan.
Lukdaeri sendiri terkejut, dengan mengatakan “pak carik gimana to, kok malah gak mudeng”.
Disaat pihak media bertanya, ponsel Lukdaeri berdering yang diduga telfon dari kepala desa liman benawi Nyono Rahadi, mengkondisikan pembicaraannya, sebab didalam pembicaraan terdengar menggunakan bahasa jawa halus, yang artinya, “iya ini saya dirumah, orangnya sudah disini, lah pak carik dimana pak carik malah kulo mboten mudeng”, sambil keluar agar tidak terdengar percakapanya.
Setelah beberapa saat Lukdaeri kembali masuk. Di lanjutkan tentang pertanyaan masalah penerbitan sertifikat masal. Ia menjawab “tidak tau urusan, tanya saja sama pak carik Bowo”.
Lukdaeri sendiri terkesan melintir, dan cuci tangan minta pihak media konfirmasi ke lurah.
Kenapa pak Lukdaeri terkesan menolak untuk dimintai keterangan ? ” iya, karena takut salah, langsung aja ke pak lurah”.
Terus di prona sendiri bapak sebagai apa? ” Anggota”. Ketuanya siapa ? Silahkan aja, tanya pak lurah “.
Apa pak lurah ada dirumah ? Kemugkinan ada.
Sementara di tempat kediaman Nyono Rahadi saat disambangi kerumanya, yang menemui awak media Istrinya Erwenti mengatakan suaminya tidak dirumah masih di Tanjung Karang, kapan pulangnya tidak tau.
Pihak media mencoba menghubungi lewat ponsel Nyono Rahadi, namun pihak operator yang menjawab menolak.
Dilihat dari perjalanannya, sepertinya memang penerbitan sertifikat prona desa liman benawi memang banyak menimbulkan masalah dan menjadi ajang pungli bagi aparatur desa tersendiri. Sebab, keterangan dari aparatur desa dan panitia, dengan keterangan warga sangat berbeda jauh. Menurut warga, biaya pembuatan sendiri mencapai Rp. 800.000/ sertifikat, bahkan ada yang lebih.
Ditambah ada beberapa masalah sengketa lahan yang belum terselesaikan namun proses penerbitan sertifikat tetap diteruskan dan diterbitkan. (Ridho/ tim)