Bojonegoro | Detikkasus.com – Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Terintegrasi Kabupaten Bojonegoro mengikuti Penilaian Kinerja 8 (Delapan) Aksi Konvergensi Percepatan Penurunan Stunting Tahun 2024 tingkat Jawa Timur. Kegiatan ini digelar Rabu (29/5/2024) secara daring yang diikuti seluruh TPPS dari Ruang Creative Lt.6 Gedung Pemkab Jl. P. Mas Tumapel No 1 Bojonegoro.
Tim panelis di room 3 terdiri dari lima orang diantaranya Bagus dari Bappeda Provinsi Jawa Timur sebagai Tim Ahli Web Aksi Bangda, Karina Widyawati dari UNICEF, Siti Cholisoh dari DP3AKB Provinsi Jawa Timur, Puji Ayuningsih dari BKKBN Provinsi Jawa Timur, dan Siti Fatimah dari Ikatan Bidan Indonesia.
Dalam paparan kepada tim panelis, Sekretaris Daerah Nurul Azizah yang juga selaku ketua TPPS menyampaikan aksi pertama, TPPS telah melakukan rembug untuk menentukan 15 desa dari 8 kecamatan sebagai lokus stunting. Ada 5 desa dengan lokus tertinggi, diantaranya Desa Pilanggede, Desa Mulyoagung dan Desa Bulu Kecamatan Balen; Desa Ngantru Kecamatan Ngasem; dan Kelurahan Karangpacar Kecamatan Bojonegoro.
“Kami dari OPD terkait telah mengusulkan 29 indikator esensial,” ungkapnya.
Lebih lanjut Nurul Azizah menjelaskan aksi kedua TPPS adalah menyusun rencana kegiatan dan anggaran yang diarahkan dari berbagai OPD dan desa untuk konvergensi intervensi spesifik dan sensitif. Sedang aksi ketiga adalah rembug stunting yang menjadi energi dan kolaborasi dengan semua pihak. TPPS telah mencapai Pernyataan Komitmen Bersama untuk percepatan penurunan stunting di Kabupaten Bojonegoro.
Kemudian aksi empat adalah regulasi daerah. Hal ini tidak terlepas dengan payung hukum. Kini telah terbit regulasi daerah tentang penanggulangan kemiskinan dan CSR perusahaan. Juga ada Perbub tentang Pengelolaan Dana Desa, Bantuan Pangan Non Tunai Daerah, BTT, Hibah dan Bansos, diantaranya juga untuk penurunan stunting.
Aksi kelima, lanjut Nurul Azizah, sinergi antara desa, kecamatan hingga kabupaten. Pelaku percepatan penurunan stunting tingkat desa sudah memiliki Kader Pembangunan Manusia (KPM) sejumlah 545 orang. Di 419 desa, terdapat Tim Pendamping Keluarga (TPK) sejumlah 1.002. Dan di seluruh desa sudah terbentuk TPPS Desa/Kelurahan.
Aksi keenam adalah menajemen data, yakni data cakupan intervensi esensial yang diinput di aplikasi dan telah dipetakan masing-masing indikator. Upaya perbaikan data ini dilakukan melalui pemutakhiran data keluarga berisiko stunting, yang mendapat pendampingan berdasarkan EPPBGM Per Bulan Timbang Februari 2024.
“Berdasarkan SSGI 2022 dan SKI 2023 prevalensi stunting di Kabupaten Bojonegoro mengalami penurunan 10.2 persen,” tegasnya.
Lebih lanjut, aksi ketujuh adalah pengukuran dan publikasi. Hasil audit stunting, faktor determinan penyebab stunting terbanyak adalah pola asuh yang diukur oleh tenaga kesehatan dengan menggunakan antropometri setiap bulan. Telah ada publikasi pada Satu Data Bojonegoro, publikasi lewat pertemuan evaluasi hasil penimbangan pada bulan timbang (Pebruari dan Agustus), publikasi melalui baliho di 23 titik lokasi, dan publikasi data melalui e- PPGBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
“Juga yang gencar dilakukan adalah publikasi data melalui halaman Web Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan media,” jelasnya.
Sementara itu, aksi kedelapan adalah review kinerja tahunan, capaian realisasi anggaran. Di Dinas Kesehatan telah ada penyusunan modul penggunaan APB Desa dalam percepatan penurunan stunting. Di DP3AKB terdapat optimalisasi peran Kader IMP (Institusi Masyarakat Pedesaan) dan Tim Pendamping Keluarga (TPK) dalam pendampingan keluarga berisiko stunting. Sedang dari DPMD terdapat optimalisasi pemanfaatan APB Desa dan monitoring evaluasi serta optimalisasi KPM. Dan dari Dinas Kominfo terdapat optimalisasi pemanfaatan multimedia seperti radio dan videotron dalam upaya perubahan perilaku masyarakat.
“Best practice percepatan penurunan stunting yakni pihak swasta, perguruan tinggi, pemerintah, organisasi masyarakat, dan juga media,” ujarnya.
Selain itu, TPPS Terintegrasi juga telah melakukan upaya penguatan Sumber daya, manajemen data, kolaborasi stakeholder, edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan inovasi yang baik.
“Karena faktor determinan penyebab stunting terbesar adalah pola asuh oleh nenek, maka Dinas Kesehatan mereplikasi di 34 puskesmas, yakni dengan program CENTING EMAS DOK’E (Cegah Stunting melalui Edukasi Masyarakat dengan Kelas Dok’e). Ini mudah dilaksanakan, tidak membutuhkan tempat khusus dan tidak membutuhkan pembiayaan yang besar serta dapat diperoleh dari swadaya masyarakat,” pungkasnya.
(Andri)