Oleh : Fadlin Guru Don
Detikkasus.com | (Akademisi Universitas Mercu Buana & Direktur Riset dan Analisis Data Lembaga Analisis Politik Indonesia)
Semenjak Demokrat masuk di koalisi Prabowo-Sandi, sudah banyak hal kegaduhan yang dibuat oleh kader partai yang dipimpin SBY tersebut. Mulai dari kritikan Andi Arief terhadap pertemuan Prabowo dengan Imam Besar Umat Islam Indoensia Muhammad Habib Rizieq Sihab.
Belum lagi pernyataan kontroversialnya bahwa Prabowo adalah Jenderal Kardus lantaran ia kecewa Prabowo memilih Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Cawapres. Termasuk tertangkap dirinya karena kasus Narkoba dan wanita seksi baru-baru ini dan sekarang lagi-lagi Andi arif kembali berulah dengan menuding didalam Koalisi Prabowo terdapat Faksi Umat. Akibat semua itu, membuat pihak lawan menyerang Paslon 02 Prabowo- Sandi.
Masalahnya tidak sampai disitu, Partai Demokrat juga tidak terlihat solid mendukung Prabowo-Sandi sesuai aturan Koalisi, justru membiarkan DPD ditingkat daerah dibiarkan menentukan sikap politiknya sendiri tanpa satu komando dari pusat. Artinya Partai Demokrat bisa ditebak tidak serius mendukung Paslon 02 Prabowo Sandi.
Belum lagi reaksi kekecewaan Susilo Bambang Yudoyono yang tidak setuju dengan cara kampanye Akbar Prabowo-Sandi yang terkesesan tidak nasionalis, bhineka tunggal ika. Bahkan menjustifikasi Prabowo Subianto berpotensi menjadi pemimpin yang rapuh dan tak bersyarat menjadi pemimpin bangsa.
Benar sudah dugaan bahwa biasannya ditingkat Jenderal sulit untuk dibuat akur secara totalitas, ada semacam ego untuk saling bertahan untuk tidak mengkomandai satu sama lain. Nah bukti itu terlihat dengan kejadin perseteruan dua Jenderal besar ini.
Jika diliahat dari runutan masalah yang dibuat oleh SBY dan Demokrat diatas, lalu apa sebenarnya misi SBY dibalik Grand Desain Politiknya? Sudah bisa di tebak bahwa SBY cenderung meilih jalan aman, sehingga bisa dikatakan benar Demokrat dituding berjalan dua kaki.
Disatu sisi dia takut kehilangan kursi menteri namun disisi lain dia juga mengejar ambang batas parlement. Sehingga seolah-seolah diam dan sunyi mendukung Prabowo-Sandi untuk menjaga kestabilan pemilih demi nasib partainya.
Bila lebih dalam bisa diterjemahkan bahwa dalam keterbukaannya mendukung Prabowo-Sandi bisa dibaca bahwa SBY juga sedang berafiliasi secara rahasia dengan Jokowi sehingga ketika Jokowi menang kepentingan Demokrat bisa terakomodir dan tidak kehilangan jatah. Bukan SBY kalau tidak bisa melakukan itu, karena SBY bisa dibilang bapak maestronya politik yang telah melang-lang buana didunia politik.
Indikatornya jelas, secara sederhana bagaimana Jokowi menjadi orang pertama yang datang menjenguk ibu Ani istri mantan presiden ke 6 itu, tentu secara verbal bisa tangkap bahwa Jokowi juga sedang menawarkan diri dengan kode-kode emosional, dan sebagai jawabanya SBY dan AHY anaknya berpose foto bersama yang sempat ramai dimedia sosial.
Maka bukanlah hal yang tabuh atau aneh lagi bila SBY dan Demokrat bermanufer dan berlaga seperti tuan dalam Koalisi Prabowo sandi. Posisi Demokrat jika penulis berpendapat layak Partai Solidaritas Idonesia (PSI) dalam koalisi Jokowi Ma’ruf Amin, yang sewaktu-waktu menciptakan hal-hal yang kontroversial dengan menyentil sesama partai pendukung dan cenderu melabrak aturan maen dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf.
Apapun Masalah SBY dan Partai emokrat, menurut saya tidak akan mampu mengubah kekokohan koalisi Prabowo-Sandi karena ada atau tidak ada Demokrat didalam Koalisi Prabowo-Sandi sama saja. Karena Demokrat sejak awal sudah diyakini tak punya niat baik untuk masuk kedalam Koalisi Indonesia Menang Adil Makmur.
Sesungguhnya tuduhan SBY terhadap Prabowo tidak nasionalis lantaran ada sholat Subuh dan Dzikir bersama, seharunya dia sadar posisinya di koalisi Prabowo-Sandi hanyalah penghibur saja. Karena Demokrat datang paling akhir setelah Jokowi menetapkan Ma’ruf Amin sebagai Cawapres dan ditendang oleh koalisi Jokowi-Ma’ruf.
Selain Demokrat tidak sadar statusnya, SBY juga lupa bahwa Pencalonan Prabowo-Sandi adalah hasil Ijtimak Ulama dibawah Komando Imam Besar Umat Islam Indonesia Muhammad Habib Rizieq Shihab, yang didalamnya telah disepakati juga oleh 4 partai koalisi umat kecuali Partai Demokrat sendiri. Artinya jelas sudah bahwa Demokrat posisinya sebagai pelengkap dan penghibur.
Jadi menurut saya, SBY tidak punya hak untuk mengatur strategi politik Prabowo-Sandi karena ia posisinya secara kasar tidak diakui. Bahwa apapun yang terjadi Prabowo-Sandi wajib hukumnya mendengar saran dari para ulama dibelakangnya. Singkatnya, SBY dan Demokrat tak punya rasa malu telah menjadi benalu ditengah yang lain memiliki akal sehat. Maka dipastikan demokrat semakin dijauhi oleh rakyat Indonesia.