Satukan Hati Jangan Sampai Ada Tokoh Masyarakat Yang Malah Menyesatkan Publik Terkait Virus Corona

DetikKasusNews.com | Semarang-Jateng

Wabah virus corona (Covid-19) telah menjadi bencana kemanusiaan yang menelan banyak korban. Namun wabah virus corona bukan hanya tantangan penyakit saja, namun Indonesia juga yang telah menerapkan kebijakan social distancing ternyata tidak berjalan mulus.

Wabah virus corona dan social distancing menimbulkan persoalan baru yakni penyakit sosial seperti maraknya hoaks dan ketegangan sosial di masyarakat. Untuk itu, diperlukan upaya bersama untuk mengatasi berbagai tantangan sosial dari bencana corona.

Wakil Direktur Eksekutif Investigasi media Jejak Kasus Adi Setijawan,SH. mengatakan bahwa perlu kerjasama dari para tokoh masyarakat (aparat negara, tokoh agama, politisi, professional korporat, hingga para pengajar di berbagai jenjang pendidikan), untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya melakukan physical distancing sehingga masyarakat dapat terhindar dari serangan virus Corona.

Belajar dari event politik terdahulu, dimana banyaknya beredar informasi yang tidak dapat dipertanggungjawaban, yang kemudian berujung pada konflik individual bahkan sosial, maka situasi ini tidak boleh berulang lagi di masa-masa darurat corona. Mengingat, pandemi Covid telah membuat banyak jatuh korban jiwa. Untuk itu, para tokoh masyarakat seyogyanya dapat menjadi kiblat dan kompas untuk penyampaian informasi yang positif, konstruktif dan empiris berdasarkan data-data yang benar,” ujar Adi Setijawan,SH.di semarang selasa (28/04/2020).

Secara sosial, masyarakat dinilai memiliki karakter sendiri-sendiri, dimana masyarakat yang berada di hirarki sosial tertinggi (sosok individu yang terkenal/kaya raya/ berasal dari keturunan bangsawan/ pendidik), memiliki kekuatan untuk didengarkan oleh masyarakat luas.

Baca Juga:  Kehadiran Bhabinkamtibmas di Desa Binaan Sangat Diharakan Warga

Oleh karenanya, diharapkan para tokoh di masyarakat untuk tidak menyampaikan informasi hoax bahkan pernyataan yang menyesatkan.

“Caranya mudah, para tokoh Masyarakat ini harus merujuk pada satu informasi yang akurat yaitu yang berasal dari pemerintah,” sambung adi

“Sebagai tokoh Masyarakat, tentu saja, tidak cukup hanya sekedar menyampaikan pernyataan, tetapi dibutuhkan aksi nyata berupa conto untuk tetap tinggal di rumah, lalu tidak lagi menghadiri atau bahkan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mengundang massa dalam jumlah besar,”

Para tokoh masyarakat tersebut, lanjutnya juga diharapkan proaktif untuk memoderasi arus lalu lintas informasi di berbagai saluran seperti WA/Instagram/Facebook/Twitter dan sebagainya.

Para tokoh harus selalu siap melakukan koreksi ketika sebuah informasi yang diteruskan oleh masyarakat ternyata belum valid atau bahkan tidak ilmiah.

Mengingat studi ilmiah menunjukkan ketika dalam sebuah kelompok, ada minimal satu orang saja yang berani mengkoreksi sebuah mis maupun disinformasi, maka hal tersebut cukup membuat anggota kelompok lainnya untuk tidak berani mengirimkan informasi yang tidak benar ke orang lain,” ujar Adi

Pemerintah, dalam hal ini memiliki tanggung jawab untuk melakukan komunikasi terhadap para Tokoh masyaraka, agar mereka mampu menjadi agen kebenaran.

“Tidak hanya sosialisasi bahwa menyampaikan informasi bohong juga dapat memiliki dampak pidana (UU ITE), harus terus menerus dikomunikasikan. Mengingat banyak individu yang menyebarkan hoaks sebenarnya bukan karena mereka secara sistematis ingin menebarkan kebohongan, namun karena semangat ingin berbagi dan menjadi pahlawan informasi bagi orang lain,” tambah Adi

Baca Juga:  DETIK KASUS | KOHATI Cabang Ponorogo gelar LKK, Stadium General

Oleh karenanya istilah social distancing, akan membuat masyarakat kita berpeluang menjadi “terasing” (sendiri) karena ini berarti melukai hakikat masyarakat timur yang sangat komunal.

“Saya melihat physical distancing menjadi lebih relevan. Karena hanya fisiknya yang berjarak, namun komunikasi sosial dapat terus dilangsungkan melalui berbagai saluran,” ujar Adi

“Ketika individu merasa terasing, maka yang terjadi rasa sepi tersebut dapat menimbulkan frustasi.

Hal ini tentu saja, yang mendorong masyarakat kemudian mengabaikan anjuran untuk melakukan social distancing tadi,” ujarnya.

Aspek kedua yaitu kultural, dimana masyarakat Indonesia masuk dalam kategori budaya short term society, yaitu masyarakat jangka pendek, dimana masyarakat kita tidak terbiasa melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi masa depan.

“Berbeda dengan masyarakat Barat yang sangat sistematis, dan terbiasa melakukan perencanaan tentang berbagai hal. Masyarakat kita terbiasa dengan hidup di masa sekarang, yang termanifestasi misalnya dari berbagai ungkapan seperti : “wis urusan keri” yah gimana nanti aja”, tambah Adi.

Faktor ketiga yaitu spiritual yang kuat, membuat masyarakat kita memiliki keyakinan bahwa segala sesuatunya sudah diatur oleh kekuatan lain. Sehingga masyarakat kita cenderung pasrah terhadap segala tantangan kehidupan.

Baca Juga:  Gunung Talang Jadi Pusat Perayaan Malam 1 Suro Warga Bendan Duwur Kota Semarang Dengan Doa Dan Pesta Tumpeng

“Ini yang kemudian membuat mereka tetap yakin bahwa kalau mereka tetap berada di ruang public, selama belum takdirnya untuk menghadap yang Maha Kuasa, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar Adi,

Ketiga faktor tadi kemudian berkaitanan dengan faktor ekonomi.

Karena bagi masyarakat kalangan bawah, sulit bagi mereka untuk berdiam diri, mengingat mereka menggantungkan nasib mereka pada pendapatan harian. Bila sehari saja mereka tidak melakukan aktivitas, otomatis mereka tidak dapat hidup hari ini.

“Beda lagi dengan kalangan menengah ke atas, yang karena kepemilikan harta yang cukup, mereka merasa yakin bahwa mereka dapat mempersenjatai dirinya dengan berbagai suplemen terbaik, sehingga mereka juga terus berada di luar rumah,” tambah Adi,

Oleh sebab itu Komunikasi diperlukan agar informasi tersampaikan bahwa memang dibutuhkan pendekatan struktural. Karena imbauan tidak akan cukup untuk mendorong public merubah perilaku sosialnya.

“Artinya memang harus ada upaya serius dari pemerintah untuk ‘memaksa’ warga untuk ada di dalam rumah. Untuk kalangan menengah kebawah jelas harus ada insentif ekonomi. Masyarakat kita ialah masyarakat insentif. Pendekatan persuasif dengan menyatakan bahwa bila seseorang tetap berada di rumah lalu mendapatkan tunjangan harian misalnya, saya optimis dapat membuat masyarakat patuh. Sebaliknya pendekatan represif dengan hukuman, belum tentu efektif juga dilakukan di Indonesia,” terang Adi

 

( Wws Tim 9 Media Detik Kasus (melaporkan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *