Ramadhan di Indonesia, Masih demokrasikah?

Penulis : Muhammad Wahyu Prasetyo Adi
Prodi : Ilmu Pemerintahan ( Universitas Muhammadiyah Malang )

Detikkasus.com | Bulan ramadhan merupakan bulan suci bagi umat islam, dimana saat ini telah memasuki pertengahannya. Saat ini kita bisa melihat keikutsertaan pemerintah dalam mengawal jalannya bulan ramadhan.

Eksistensi pemerintah dalam menghendel warga masyarakat sangat di perlukan baik dalam hal kebijakan maupun pengawasaan selama bulan ramadhan, dimana masyarakat sangat membutuhkan kenyamanan dalam menjalankan ibadahnya. Demokrasi telah memberikan kita gambaran dalam menjalan kewajiban dan hak kita sebagai warga negara, yang sejatinya dalam urusan ibadah telah diatur untuk tetap toleransi antar agama .

Tetapi apakah hal tersebut berjalan sesuai arah nya?
Dewasa ini banyak sekali kejadian yang telah menyimpang dari suatu arah demokrasi, dimana yang kita ketahui demokrasi merupakan sebuah wujud keinginan dalam menyetarakan sebuah perbedaan yang melibatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan atau pembuatan keputusan secara kolektif.

Dalam demokrasi kita selalu dituntut untuk menjalankan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara, termasuk dalam hal toleransi. Indonesia merupakan negara yang memiliki suku, ras, dan agama yang beraneka ragam. Salah satunya agama Islam yang telah menjadi agama kaum mayoritas di Indonesia, yang dimana umat Islam pada tahun 2018 sudah mencapai 68,7% atau 267 juta jiwa. Perlu kita ketahui bahwa kaum mayoritas adalah kaum yang mendominasi suatu wilayah.

Baca Juga:  Tingkatkan Kring Pada Pemukiman Unit Opsnal Waspadai Terjadi C3

Tetapi tidak hanya Islam, indonesia juga memiliki beberapa agama yang telah diakui oleh negara, seperti Kristen, Katolik, Hindu ,Budha ,Kong Hu Cu.
Saat ini umat islam tengah menjalankan ibadah puasa. Sama seperti tahun – tahun sebelumnya sering kita melihat adanya kegiatan sweeping, yang dilakukan oleh aparat atau Ormas agama, mereka menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membuka warung makan pada siang hari.

Kegiatan tersebut ditujukan agar umat islam dapat lebih khusyuk dalam menjalankan ibadah puasa. Hal ini sering menjadi perdebatan karena himbauan untuk menutup warung menyebabkan ketidak adilan, dalam konteks ini agama minoritas yang tidak melaksankan ibadah puasa. Dampak paling kecil dari kegiatan sweeping ini adalah, susahnya masyarakat yang tidak menjalankan puasa untuk mencari warung makan yang buka. Hal itu sangat tidak adil, dimana tidak terdapat toleransi didalamnya.

Padahal sudah jelas kita di himbau untuk selalu toleransi antar umat beragama. Seperti yang pernah dikatakan oleh Gus Dur atau yang lebih dikenal dengan bapak toleransi “ Indonesia bukan negara Agama, tapi negara beragama. Ada enam agama yang diakui di indonesia, jadi tolong hargai lima agama yang lain “. Pernyataan tersebut merupakan sebuah hal yang fundamental, untuk merangsang masyarakat agar lebih bersikap toleransi.

Baca Juga:  POLRES BATU LAKUKAN SOSIALISASI SABER PUNGLI DENGAN LINTAS OPD DAN KEJAKSAAN

Bukankah perbuatan tersebut sudah mulai melenceng dari cita – cita negara Indonesia, sebuah negara yang selalu damai dan rukun serta saling menghargai satu sama lain. Dalam hal ini sebuah paham mayoritas sudah melekat dengan budaya indonesia, dimana kaum mayoritas selalu lebih diperhatikan ketimbang kaum minoritas. Kita bisa melihat dimana setiap bulan ramadhan datang, pasti kegiatan sweeping akan berakhir ricuh antara aparat dengan masyarakat.

Sangat disayangkan, bulan ramadhan harusnya disambut dengan suka cita tetapi dengan adanya kegiatan sweeping ini, banyak masyarakat yang melayangkan protes keras. Mereka mempertanyakan mengapa mereka harus menutup warung mereka, karena hal itu sangat merugikan kaum pedagang. Terkadang kegiatan sweeping terkesan anarkis, dengan merusak beberapa warung pedagang. Seruan toleransi selalu dikumandangkan tetapi belum terlihat dan belum terealisasikan.

Sudah bertahun – tahun toleransi tetap menjadi masalah yang masih susah untuk direalisasikan, hal ini dapat kita katakan karena masih banyak orang yang memegang teguh paham bahwa dirinya adalah kaum mayoritas disebuah wilayah tersebut, tetapi apakah mereka lupa dengan seruan BHINEKA TUNGGAL IKA yang berartikan walaupun kita berbeda tetapi kita tetap satu.

Baca Juga:  SMPN I Omben Terbakar, Sebelumnya Rumah Milik Warga Sampang Dilalap Api, Reporter Hernandi K S.Sos M.Si.

Dengan begitu peran pemerintah sangat diperlukan dalam mengingatkan kepada warga masyarakat bahwa hakikatnya manusia itu bersaudara yang berasal dari adam dan hawa yang kemudian menciptakan keluarga baru dan tersebar di seluruh dunia.

Proyeksi untuk kedepannya pemerintah diharapkan dapat mendengar suara kaum minoritas diantara kaum mayoritas, agar demokrasi yang sebenar – benarnya dapat terwujudkan secara lebih matang di Indonesia. Tindakan seperti sweeping yang dilakukan oleh aparat atau ormas lebih dilakukan secara kekeluargaan dan sosialisasi, tidak pantas jika aparat melakukan tindakan anarkis dan penggusuran paksa.

Pedagang di indonesia pun seharusnya juga harus lebih sadar bahwa saat memasuki bulan ramadhan mereka harus lebih tertutup dalam berdagang makanan dengan menutup menggunakan kain, mengingat bahwa kaum mayoritas di Indonesia sedang melakukan ibadah tahunan.

Maka dari itu aparat harus bisa memberikan pemahaman lebih dengan strategi yang dapat diterima oleh masyarakat, begitu pula sebaliknya, pedagang juga harus mengapresiasi apa yang telah disosialisasikan oleh aparat agar tidak terjadi konfik.“ Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu “. (Gusdur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *