Oleh: Rindala Sari (201810050311128) Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhamadiyah Malang
Detikkasus.com | Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah salah satu negara yang menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Jika merujuk pada sejarah-sejarah negara besar yang berjaya dengan konsep demokrasi serta pendahulu bangsa yang menggagas sistem pemerintahan, maka sistem pemerintahan demokrasi ini diyakini telah sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang toleran. Adapun salah satu syarat pokok atau asas penyelenggaraan pemerintahan demokrasi di Indonesia adalah dengan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Pemilihan umum atau pemilu adalah bentuk nyata dari konsep negara demokrasi itu sendiri.
Untuk memenuhi penyelenggaraan pemilihan umum yang baik, pemerintah telah berupaya untuk membuat Undang-Undang Pemilu. Namun, seiring dengan dinamika politik yang berkembanng, peraturan perundang-undangan pemilu di Indonesia pun mengalami perubahan yang kian kompleks dalam mengatur berbagai macam kegiatan pemilu. Perubahan ini merupakan hal yang wajar. Dengan berbagai perubahan perundang-undangan pemilu di Indonesia, rakyat berharap bahwa dengan perubahan tersebut dapat ditemukan bentuk ideal dari perundang-undangan pemilu di tanah air. Tercatat sejak pemilu pertama digelar di Indonesia pada tahun 1955 hingga 2014 lalu, sudah dua belas kali UU Pemilu dilahirkan. Terakhir UU Pemilu No. 7/2017.
Dalam perjalanannya, penyelenggaraan pesta demokrasi melalui pemilihan umum, mulai dari berdirinya NKRI hingga pemilu 2019 ternyata masih banyak dijumpai kekurangan. Pemilu yang seharusnya dilakukan secara jujur dan adil (free and fair election) justru berlangsung sebaliknya. Pemilu justru dijadikan sebagai sarana meraih kepentingan pribadi dan golongan bahkan dengan cara yang tidak benar. Meskipun sudah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai pemilu di Tanah Air, setiap kali pemilu di laksanakan masih selalu saja ada kecenderungan bentuk pelanggaran-pelanggaran yang memiliki dimensi hukum penting bahkan ada beberapa yang masuk dalam tindak pidana. Akibatnya protes-protes atas proses dan hasil pemilu semakin berdatangan usai pemilu berlangsung. Adanya pengaturan Undang-Undang Pemilu ini bahkan dinilai tidak menjamin pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil. Dalam persepsi masyarakat, Undang-Undang Pemilu masih dianggap lemah dalam hal memberi aturan penegakan hukum pemilu. Isu lemahnya penegakan hukum pemilu pun semakin mencuat tatkala ada banyak aparat penegak hukum yang lamban dan tidak tuntas dalam menyelesaikan kasus pelanggaran pemilu. Oleh sebab itu, tidak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa selain kurang jelas dan kurang lengkapnya peraturan perundang-undangan pemilu, lemahnya penegakan hukum pemilu tak lain juga disebabkan oleh aparat yang bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pemilu tersebut lalai dalam menjalankan tugasnya.
Santoso (2006) menjelaskan, berdasarkan pengalaman praktik penyelenggaraan pemilu selama ini, munculnya masalah-masalah penegakan hukum pemilu dapat disebabkan beberapa faktor: pertama, batasan terjadi-tidaknya pelanggaran tidak pasti sehingga menimbulkan multitafsir yang berujung pada kontroversi; kedua, mekanisme dan prosedur penanganan pelanggaran tidak jelas sehingga penanganannya pun tidak mudah; ketiga, lembaga penegak hukum pemilu tidak disiapkan dengan baik sehingga kedodoran dalam menangani kasus-kasus yang terjadi; keempat, sanksi hukum atas terjadinya pelanggaran sangat ringan sehingga tidak memberi efek jera.
Standar pemilu demokratis internasional menyatakan bahwa pemilu jujur dan adil (free and fair elections) dapat dicapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur semua proses pelaksanaan pemilu, meliputi peraturan yang mampu melindungi para penyelenggara, peserta, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu (Santoso, 2006). Oleh karena itu, pemilu yang jujur dan adil membutuhkan peraturan perundangan pemilu yang jelas, lengkap dan tegas beserta aparat yang benar-benar kompeten dan mampu bertugas menegakkan peraturan perundangan pemilu tersebut.
Membahas persoalan atau problematika penegakan hukum pemilu di Indonesia, setidaknya membahas dua hal. Pertama, pelanggaran pemilu, dan kedua, sengketa pemilu. Pelanggaran pemilu adalah pelanggaran yang berkaitan dengan pemilu. Pelanggaran pemilu terdiri atas pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi pemilu serta pelanggaran tindak pidana pemilu. Sementara itu sengketa pemilu merupakan sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU. Sengketa pemilu terbagi atas sengketa hasil dan sengketa non hasil atau sengekta dalam proses pemilu. Sengketa hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu atau mempengaruhi penetapan hasil Pemilu presiden dan wakil presiden. Apabila terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun hasil pemilu presiden dan wakil presiden, peserta anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun peserta pemilu presiden dan wakil presiden mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejauh ini, MK mencatat jumlah gugatan perselisihan hasil pemilu 2019 yang masuk mencapai 340 kasus baik pemilihan legislatif (pileg) atau pemilihan presiden (pilpres). Pada UU 7 Tahun 2017 ini, proses penyelesaian di MK tidak dijelaskan berapa hari harus diselesaikan. Tetapi di perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden dibatasi waktu 14 hari. Batasan waktu penyelesaian sengketa hasil pemilu presiden dan wakil presiden ini pun dianggap terlalu singkat dan dikhawatirkan penyelesaian kasusnya justru akan menimbulkan kesan terburu-buru. Hal ini bahkan menjadi tantangan tersendiri bagi MK yang harus bergerak cepat dalam memutus sengketa hasil pemilu Serentak 2019 dalam jangka waktu yang singkat yakni 14 hari. Dalam keterbatasan waktu yang singkat tersebut, MK harus berupaya tetap menggelar sidang sengketa hasil secara transparan, akuntabel, profesional dan adil. Selain itu, MK juga diharapkan tidak berlaku layaknya “mahkamah kalkulator” yang terjebak pada urusan salah hitung dan salah jumlah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa problematika penegakan hukum sengketa hasil pemilu pada dasarnya adalah terletak pada Undang-Undang Pemilu yang mengaturnya serta keterlibatan aparat atau lembaga penegak hukum pemilu itu sendiri. Apabila peraturan perundang-undangan secara jelas, tegas dan lengkap mengatur mengenai pelanggaran dan sengketa pemilu, maka sudah barang tentu penegakan hukum pemilu akan berjalan dengan lancar dan tanpa kendala. Begitupula dengan aparat penegak hukum pemilu, dalam hal ini adalah MK. Apabila mereka dengan sigap, adil dan jujur dalam melaksanakan tugasnya, maka problematika hukum sengketa hasil pemilu akan dapat terselesaikan dengan setuntas-tuntasnya meskipun waktu yang diberikan dalam peraturan perundang-undangan terkesan singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Topo., dkk. 2006. Penegakan Hukum Pemilu (Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2004). Jakarta: Sinar Grafika.