Oleh : Happy Dimas Pangestu
Mahasiswa Sosiologi – Universitas Muhammadiyah Malang
Detikkasus.com l Di tengah tengah menguatnya politik tanpa mahar, rupanya praktik pemberian mahar politik masih terus terjadi. Isu ini bukanlah hal yang mengejutkan semenjak Indonesia pasca reformasi.
Salah satu isunya adalah pemberian mahar dari para calon ke partai politik pengusung. Praktik ini mungkin dilakukan karena lebih mudah memberi uang dari pada harus meyakinkan partai untuk setuju pada ide dan gagasan.
Isu praktik mahar politik yang mahal membuat para calon berusaha menyiapkan miliyaran rupiah untuk terjun ke pertarungan politik yakni Pilkada.
Delia Wildianti selaku Peneliti Puskapol UI, menyebutkan ada empat pengeluaran yang cukup besar dalam praktik ini.
Yang pertama adalah biaya pencalonan atau sering disebut dengan “mahar politik”.
Biasanya ini dilakukan oleh calon yang menggunakan partai politik untuk maju ke pencalonan Pilkada.
Kedua adalah biaya kampanye, hal ini meliputi segala pernak-pernik kampanye seperti atribut kampanye, tim sukses, akses media cetak, elektronik, dan media sosial. Ketiga adalah biaya survei dan konsultasi.
Melalui berbagai lembaga terkait. Keempat adalah money politik, atau lebih kita kenal dengan “serangan fajar.”
Ada juga biaya untuk syarat keberadaan saksi saat perhitungan suara.
Persoalan tentang praktik mahar politik harusnya menjadi PR bersama masyarakat, pemerintah dan khususnya KPK.
Hal ini pun dirasa perlu dipublikasikan ke publik karena praktik mahar politik bisa merusak tatanan demokrasi dan sister sirkulasi kepemimpinan.
Bisa bisa pemimpin daerah hanya dikuasi oleh pemangku kepentingan dan orang kaya kaya saja.
Berdasarkan penelitian FITRA, anggaran yang dikeluarkan dalam pilkada kabupaten/kota berkisar Rp5-28 miliar, sedangkan pilkada provinsi kisaran Rp60-78 milliar.
Nilai yang begitu besar tersebut tidaklah sebanding dengan pendapatan resmi yang akan diterima oleh gubernur misalnya, yang hanya memperoleh gaji Rp 8,6 juta setiap bulan atau total 516 juta selama lima tahun menjabat.
Mungkin kita kesampingkan dulu apakah jalan politik adalah karir atau panggilan hati.
Tapi dari modal yang harus dikeluarkan untuk bisa menang dan penghasilan legal seorang pemimpin daerah tentunya tidak sebanding.
Hal inilah yang menyebabkan kasus korupsi dan koalisi kerap terjadi. Mengeruk uang rakyat demi surplus modal pencalonan.
Catatan Kementerian Dalam Negeri hingga tahun 2016 menunjukkan bahwa terdapat 343 bupati/walikota dan 18 gubernur yang tersandung kasus korupsi.
Tentu ini adalah catatan buruk proses demokrasi yang sedang kita jalani. Karena, sesungguhnya kita berharap proses demokrasi bukan hanya bersifat prosedural. Melainkan, mencakup demokrasi yang substansial. Demokrasi yang merdeka dari berbagai praktik jual-beli kepentingan pragmatis.
Hal yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah dengan pembuatan undang undang dan regulasi. Contoh lembaga legeslatif bisa mengusulkan penurunan jumlah KTP sebagai syarat untuk maju mandiri di pencalonan kepala daerah.
Atau bisa juga dengan pemberian aturan batas modal kampanye dan sumber sumbangan kampanye untuk maju ke Pilkada.
Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan serangan fajar dan titipan kebijakan dari para pengusaha. Indnesia bisa meniru permodelan pilkada di Jerman mengenai pembatasan modal kampanye dan subsidi atau bantuan pemerintah untuk kampanye.
Subsidi biaya kampanye bukan saja meringankan biaya politik untuk pencolanan tapi juga berfungsi sebagai pemeriksaan, audit subsidi. Tentunya dengan adanya subsidi, pemerintah berhak mengaudit modal kampanye seseorang, hulu dan hilirnya.
Dengan berkurangnya biaya politik demokrasi, diharapkan terdapat pilihan pilihan baru, sirkulasi kepemimpinan, bukan orang baru tapi ditunggangi kepentingan dari pengusaha atau sejumlah oknum.
Melalui pembatasan modal kampanye, subsidi, sistem audit dan regulasi, baik masyarakat dan pemerintah dapat memiliki kontrol lebih kuat dalam pencegahan praktik mahar politik dan korupsi secara keseluruhan.