Politik Lato-Lato yang Kembali dimainkan oleh Generasi Milenial

Detikkasus.com | Oleh : Esly Indri Ratna Pratiwi NIM : 202010170311143, Kelas/Prodi : 5C/Akuntansi

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Ihyaul Ulum, SE., M.Si., Ak., CA. PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Politik Lato-Lato

DEMAM lato-lato sedang melanda Indonesia. Sejak akhir 2022. Begitu cepat dan masifnya. Kini pun, tak ada sejengkal wilayah di negeri ini, yang sepi dari bunyi ”tek-tek-tek, etek-etek-etek”. Bunyi khas itu menguar dari lato-lato yang dimainkan anak-anak hingga orang dewasa.
Bagi generasi ’60-an atau ’70-an, lato-lato bukan barang baru. Begitu mendengar suara lato-lato, kenangan mereka langsung melayang ke masa lalu. Ketika itu, saat masih anak-anak atau muda, mereka juga memainkan permainan berupa dua bandul yang terikat tali tersebut. Saat itu permainan lato-lato sama semaraknya seperti sekarang. Bedanya, dulu semua orang menikmati lato-lato. Yang memainkan maupun yang melihat dan mendengar sama-sama terhibur. Tidak ada yang protes –seperti saat ini. Kini mulai muncul gerakan penolakan. Ada beberapa pihak yang meminta lato-lato dilarang. Dalihnya, lato-lato dianggap mengganggu ketenangan masyarakat. Juga membahayakan.
Sampai-sampai salah satu stasiun televisi arus utama, awal pekan lalu, melakukan framing bahwa lato-lato adalah permainan yang mengganggu dan berbahaya. Dilengkapi dengan komentar dua orang (salah satunya bersongkok putih). Mereka mengaku terganggu dengan suara lato-lato. Apalagi ketika anak-anak memainkannya di saat orang sedang menjalankan ibadah.
Beberapa wajah anak dengan dahi memar dan benjol juga ditampilkan di layar televisi. Lengkap dengan narasi dramatisnya. Cuma, ada yang kurang masuk akal dari salah satu tayangan itu. Yakni ketika seorang ibu sedang menggunting tali lato-lato yang melilit leher anak perempuannya. Sampai adegan tersebut berakhir, saya tidak berhasil menemukan jawaban pasti pertanyaan ini: bagaimana cara si anak perempuan itu memainkan lato-latonya ya? Kok bisa sampai melilit lehernya. Umumnya, lato-lato kan dimainkan dengan posisi tangan kanan atau kiri sejajar dengan pusar. Bukan di sekitar wajah atau bahkan leher!
Tidak bisa dipungkiri, lato-lato memang bisa menimbulkan cedera. Sama dengan jenis permainan lainnya. Tapi, itu tidak serta-merta bisa dijadikan alasan pembenar untuk melarang lato-lato. Harus diakui dengan jujur, di balik sedikit kelemahannya, ada banyak manfaat dari permainan lato-lato. Di antaranya melatih keseimbangan dan fokus yang memainkannya.
Dan, dampak paling besar yang dirasakan banyak orang tua adalah: anak-anak jadi lupa main gawai dan ponsel pintar. Ketika lato-lato belum viral, anak-anak suntuk dengan gawai dan ponselnya. Tapi, sekarang, mereka lupa pada gawai dan ponselnya. Untuk sekian jam, mereka lebih asyik memainkan lato-lato. Baik ketika sendirian di rumah maupun saat bermain lato-lato berjemaah. Bersama teman-teman sepermainan.
Melihat manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya, sangat tidak bijak melarang lato-lato yang sedang ngetren. Bila dianggap membahayakan, lebih baik dilakukan perbaikan pada bagian yang dianggap membahayakan. Misalnya, material bandulnya harus terbuat dari bahan yang tidak gampang pecah. Tali pengikat bandulnya harus terkuat. Lalu, yang penting juga, ajek dilakukan sosialisasi tentang tutorial memainkan lato-lato yang benar.
Wa ba’du, Di tahun politik ini, kemunculan kembali lato-lato bisa jadi bukan sebuah kebetulan. Tapi menjadi sebuah kebutuhan. Secara filosofis, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari lato-lato. Dengan begitu, lato-lato bukan lagi sekadar bunyi ”tek-tek-tek, etek-etek-etek”
Ada pesan moral di balik bunyi khas yang disebabkan benturan dua bandul lato-lato. Pencipta lagu Ayong Laros pernah menulis lagu berbahasa Osing Banyuwangi: Etek-etekan. Lagu itu ditulisnya pada 2000-an. Ketika etek-etek –demikian orang Banyuwangi menyebut lato-lato– lagi booming di Bumi Blambangan. Lagu tersebut dinyanyikan penyanyi cilik (ketika itu) Banyuwangi Pradana Dieva, yang kini menjadi penyanyi top Indonesia dengan nama panggung Danang. Di akhir lagu, ada pesan moral bagus sekali diselipkan Ayong. Ojo sampek riko koyo etek-etekan dienggo memenangan gentus-gentusan Mumpung-mumpung goleto kepinteran, ojo sampek riko cakar-cakaran
Pesan itu sangat pas untuk kondisi sekarang. Di tahun politik ini, akan banyak kepentingan yang bermain. Entah itu para caleg maupun capres-cawapres. Atau, malah, pihak-pihak di luar keduanya. Belajar dari pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, politik adu domba masih akan menjadi primadona. Untuk ”melumpuhkan” lawan politik. Isu-isu liar sengaja digelindingkan agar masyarakat gaduh. Saling berbenturan. Persis seperti lato-lato.
Apalagi,politik adu domba kini punya koloseum megah bernama medsos. Selama setahun ke belakang, para gladiator politik akan memainkan politik lato-lato. Mengadu domba masyarakat, terutama yang belum melek politik. Persis seperti ketika dua bandul lato-lato dibenturkan. Tek-tek-tek, etek-etek-etek. (*)

Baca Juga:  Kelompok 33 PMM UMM Lakukan Perbaikan Mushola di Desa Panggungrejo

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *