Jakarta |Detikkasus.com -Ketimpangan relasi kuasa antara Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pemberi kerja juga kerap berakhir menjadi kekerasan ekonomi maupun fisik pada pembantu rumah tangga, hal itu dikatakan Ketua Umum Lembaga Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat (PMKRI) Periode 2022-2024, Raineldis Bero melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (29/6/2024).
Dalam konteks internasional lanjut Raineldis, peraturan mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) relatif baru. Pengakuan atas PRT baru sejak 16 Juni 2011 ketika konferensi Jenewa, dimana International Labour Organization (ILO) mengadopsi konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerja Rumah Tangga. India adalah salah satu Negara yang telah megadopsi Konvensi ILO, dengan disahkannya Unorganized Workers Social Security Act.
“Undang-Undang ini memberikan jaminan sosial bagi PRT seperti asuransi jiwa, tunjangan kesehatan dan kehamilan, hingga perlindungan hari tua. Sebagai seorang pekerja, semestinya PRT juga memiliki hak untuk menikmati pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta perlindungan atas pekerjaannya, termasuk cuti, upah, keamanan, dan juga kondisi pekerjaan yang layak. Ini yang diusahakan dalam Rancangan Undang – Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) di Indonesia. “Ucap Raineldis.
Lebih rinci, dia meminta RUU ini dapat memberikan pengakuan atas kerja perawatan yang dilakukan PRT, mendorong pengurangan beban, resiko kerja PRT, dan memberikan perlindungan bagi PRT.
“RUU PPRT sangat penting untuk menjamin hak-hak PRT sebagai pekerja yang harus dilindungi negara. “Singkatnya.
Wanita energik yang juga aktifis perempuan ini mengungkapkan ada beberapa poin penting yang harus digaris bawahi dalam RUU PPRT, yakni: 1. Pasal 5 ayat (2) mengatur perjanjian kerja tertulis antara calon PRT dan pemberi kerja; 2. Pasal 11 menegaskan hak-hak PRT yang dilindungi negara, mencakup hak menjalankan ibadah, jam kerja yang manusiawi, hak atas cuti, upah, dan tunjangan, serta jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan; 3. Pasal 25 ayat (1) mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan PRT.
“RUU PPRT dirancang sejak tahun 2004 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Anehnya pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, tidak sedikit pun mengesahkan RUU menjadi undang-undang, disinilah RUU PPRT luput dari perhatian pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia walau Presiden Jokowi sudah memberikan atensi khusus terhadap RUU tersebut. “Paparnya.
Dia juga menjelaskan mangkraknya RRU PPRT selama kurang lebih 20 tahun (2004-2024) hingga saat ini belum sahkan menjadi undang-undang, U-U Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan.
“Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, belum mengakomodir perlindungan PRT. Tinjauan terhadap PRT sebagai tenaga kerja, merujuk pada UU Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri maupun untuk masyarakat. “Jelas Raineldis.
Dari pengertian tenaga kerja dalam UU Ketenagakerjaan terkait dengan pekerja menghasilkan jasa, identik dengan ranah kerja PRT yang memberikan jasa kepada pemberi kerja.
Dalam perspektif UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan, dia menyebut pekerja memperoleh perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Sementara Dalam RUU PPRT, Negara menjamin hak-hak PRT seperti waktu kerja yang manusiawi, jaminan sosial dan kesehatan sementara.
“Perlindungan yang dijamin oleh RUU PPRT inilah yang dibutuhkan oleh pekerja rumah tangga di Indonesia, Praktik Pihak Penyalur, Pemberi Kerja dan Dampak PRT di Kota Besar, sebab dalam praktiknya, PRT melibatkan tiga pihak antara penyalur, pemberi kerja dan PRT sendiri. “Jelasnya.
Raineldis menuding selama belum ada aturan khusus tentang PRT, pihak penyalur leluasa memainkan perannya mulai dari pemberian informasi, perekrutan, upah dan kontrak antara PRT dengan pihak pemberi kerja.
“Menariknya begini. Di lapangan sering terjadi jika pemberi kerja akan memberi upah kepada PRT, maka dikirimkan terlebih dahulu kepada pihak penyalur lalu pihak penyalur memberikan kepada PRT. Sering kali pihak penyalur memotong upah PRT setiap bulan dan pemotongan lumayan besar, dengan dalih bahwa PRT harus memberikan kontribusi kepada pihak penyalur karena pihak penyalur telah memberikan pekerjaan. “Bebernya.
Sejak Januari sampai bulan Mei 2024, Lembaga Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat PMKRI telah menyelamatkan 13 orang PRT di Jakarta. Mereka adalah rata-rata perempuan. Pada titik inilah dibutuhkan peran pemerintah dalam melindungi PRT melalui sebuah regulasi.
“Data Kasus Kekerasan Terhadap PRT berdasarkan catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), terdapat 3308 kasus kekerasan PRT sepanjang 2021 sampai dengan Februari 2024. “Ungkap Raineldis.
Sementara kata dia, sejak 2012 hingga 2022, kasus kekerasan terhadap PRT cenderung terus naik, data kompilasi kekerasan terhadap PRT yang dihimpun Komnas Perempuan selama 2005 hingga 2022 memaparkan telah terjadi sekitar 2.344 kasus kekerasan.
Kepastian Hukum dan Keberpihakan Negara terhadap PRT mendorong PMKRI untuk lebih konsen dalam melakukan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga serta memperjuangkan atas hak-haknya.
“Untuk itu, peran Negara seharusnya hadir. Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi Undang-Undang akan berdampak pada jaminan perlindungan PRT. Apabila RUU PPRT tak kunjung disahkan menjadi undang-undang, maka patut dipertanyakan keseriusan Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai lembaga terhormat akan keberpihakannya kepada PRT sebagai bagian dari rakyat Indonesia. “Pungkas Raineldis Bero.Rudolf /[]Op/ketum FWJ Indonesia.
(Pasukan Ghoib/Sumber : RAINELDIS BERO
Lembaga Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat PMKRI Periode 2022-2024