OLEH : D. Manurung.
Detikkasus.com | Menyikapi hal terkait meninggalnya teman kita wartawan dan ahli yang ditunjuk oleh Dewan Pers terkait pemberitaan seperti yang dilansir dari media detik dibawah ini, saya selaku Aktivis Jurnalis ikut berduka cita, ujar D.Manurung kepada media ini.
Benarkah Dewan Pers merekomendasikan agar polisi menggunakan UU ITE, bukan UU Pers, dalam kasus M. Yusuf?
Anggota Dewan Pers Hendry Ch. Bangun dalam keterangan beberapa saat lalu (Senin, 11/6), meragukan hal itu. Dari pernyataan Hendry dapat disimpulkan bahwa polisi belum pernah berkonsultasi dengan Dewan Pers dalam kasus M. Yusuf.
Berikut pernyataan Dewan Pers yang dilansir dari detik.com:
Berdasarkan telaah terhadap dua berita yang dilaporkan dalam pertemuan pada 29 Maret 2018 dan 21 berita yang dilaporkan dalam pertemuan 2-3 April 2018, Ahli Pers dari Dewan Pers menilai:
1. Berita-berita tersebut, secara umum tidak memenuhi standar teknis maupun Etika Jurnalistik.
2. Rangkaian pemberitaan yang beru ang-ulang dengan muatan yang mengandung opini.
3. Pemberitaan berulang yang hanya menyuarakan kepentingan salah satu pihak, mengindikasikan arena tidak uji informasi, tidak berimbang dan sebagian besar mengandung opini menghakimi. menghakimi tanpa uji informasi dan keberimbangan mengindikasikan adanya itikad buruk berita tersebut tidak bertujuan untuk kepentingan umum dan tidak sesuai dengan fungsi dan peranan pers sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers.
4. Pihak yang dirugikan oleh rangkaian pemberitaan tersebut dapat menempuh jalur hukum dengan menggunakan UU lain di luar UU No 40/1999 tentang Pers.
Terkait dengan informasi dari penyidik bahwa Muhammad Yusuf adalah penggerak demonstrasi dan membagikan uang kepada para demonstran, ahli pers menyatakan hal itu bukan domain pekerjaan wartawan profesional. Terkait pertanyaan penyidik yang mempersoalkan pemuatan berita-berita tersebut di media sosial, Ahli Dewan Pers menyatakan, hal itu di luar ranah Dewan Pers.
“Permintaan Keterangan Ahli dari Dewan Pars olah penyidik Polri merupakan implementasi dari Nota Kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dengan Polri tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Nota Kesepahaman ini memuat dua substansi penting yakni upaya untuk menjaga agar kasus pelanggaran etik yang dilakukan oleh pers profesional tidak diselesaikan melalui proses pidana; dan terhadap kasus penyalahgunaan profesi wartawan yang diproses pidana oleh Polri, Dewan Pers akan menyediakan Ahli Pers untuk memberikan Keterangan Ahli,” kata Dewan Pers.
“Kemerdekaan Pers adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Salah satu fungsi utama Dewan Pers adalah menjaga kemerdekaan pers antara lain dengan senantiasa mendorong pers untuk se alu bersikap profesional dan taat kepada Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers lain yang pada dasarnya merupakan peraturan yang dibuat sendiri oleh komunitas pers sebagai implementasi dari swaregulasi (self regulation),” sambungnya.
Perlu saya tegaskan, dalam hal tersebut diatas menyangkut Etika Pers yaitu suatu aturan atau kaidah-kaidah yang mengatur suatu media dalam mempublikasikan suatu sajian program, berita atau informasi. Dalam buku Alviano Andrianto, Etika Pers diartikan sebagai bidang mengenai kewajiban-kewajiban pers dan tentang pers yang baik dan pers yang buruk, pers yang benar dan pers yang salah, pers yang tepat dan pers yang tidak tepat. Sumber etika pers adalah kesadaran moral yaitu pengetahuan tentang baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan tidak tepat, bagi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers.
Dan Unsur-unsur dalam etika Pers yakni sebagai berikut Pertama, Tanggung Jawab (Seorang jurnalis yang terlibat dalam pers harus memunyai tanggung jawab atas dampak dari informasi yang disampaikan), Kedua, Kebebasan Pers (Semua orang, termasuk jurnalis boleh dengan bebas menyampaikan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat tanpa pengekangan), Ketiga, Masalah Etis (Pers lepas dari kepentingan individu dan mengabdi kepada kepentingan umum). Keempat, Ketepatan (Pers memiliki orientasi terhadap kebenaran untuk melayani publik) dan Kelima, Tindakan Adil untuk Semua Orang (Pers melawan keistimewaan atau campur tangan pihak-pihak yang mengakibatkan ketidakbebasan media dalam menyiarkan informasi).
Dalam hal ini, perlu kita ketahui bersama selaku wartawan, Benarkah wartawan mendapat perlindungan hukum? Pertanyaan itu mudah-mudah sulit dijawab. Akan tetapi wartawan tak ada bedanya dengan profesi lain. Dokter, advokat, guru, politisi, akademisi, birokrat dan para buruh, semuanya adalah anak-anak bangsa yang dilindungi hak-haknya secara konstitusional. Perlindungan yang sama terhadap anak-anak bangsa itu sesuai pula dengan asas equality before the law (setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum). Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom. Thomas Jefferson menyatakan bahwa “that all men are created equal” terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar manusia. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. Dengan demikian konsep equality before the law telah diintodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di Tanah Air.
Perlindungan hukum untuk wartawan adalah amanah UU No 40/1999 tentang Pers. Dalam Pasal 8 dikatakan, ‘’Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum’’. Yang dimaksud dengan ‘’perlindungan hukum’’ oleh undang-undang ini adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang jadi masalah adalah, bagaimana memahami rumusan ketentuan undang-undang itu. Bila memakai rumus penulisan klasik piramida terbalik yang bertumpu pada 5W+1H maka pertanyaan atas perlindungan hukum terhadap wartawan itu berkisar pada: “Apa, Siapa, Dimana, Kapan, Mengapa dan Bagaimana”. Atau “Apa, Siapa, Mengapa, Bilamana, Dimana dan Bagaimana”. Rumusan ini lah yang sampai sekarang sulit dirumuskan karena Pasal 8 UUPers itu sendiri mengundang multi tafsir.
Dalam Teori Hak Asasi Manusia (HAM) perlindungan terhadap wartawan itu merupakan bagian dari HAM yang berkait dengan tugas-tugas jurnalistik yang meliputi hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Perlindungan HAM tidak saja bermakna sebagai jaminan negara memproteksi HAM dalam berbagai kebijakan regulasi, tetapi juga reaktif melakukan tindakan hukum apabila terjadi pelanggaran hukum. Dr Suparman Marzuki berpendapat, jika dalam suatu negara, HAM terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara tidak dapat disebut sebagai negara hukum dan demokrasi dalam arti sesungguhnya.
Masuknya kata ‘’perlindungan hukum’’ ke dalam UU Pers jelas semakin memperkokoh pelaksanaan tugas wartawan di dalam mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan (6M) informasi kepada masyarakat, sebab unsur 6M itu terkait dengan kepentingan masyarakat dalam mendapatkan informasi, dan jaminan kepada pers di dalam menjalankan fungsi-fungsi pers terutama fungsi sosial kontrol yang memang diperlukan untuk menopang bangunan demokrasi.
Hanya saja, perlindungan hukum terhadap wartawan dalam 6M diberikan secara terbatas oleh undang-undang, yakni pada saat wartawan melaksanakan kegiatan-kegiatan jurnalistik. Di luar aktivitasnya sebagai wartawan, misalnya saat berada di mal bersama keluarga, di kedai kopi ngobrol bareng teman-temannya, atau sedang liburan dengan sanak famili, Undang-undang Pers tidak memberikan jaminan perlindungan hukum. Karenanya patut dibedakan, kapan Pasal 8 UU Pers tersebut berlaku bagi wartawan, dan kapan pula tidak. Ini patut dipahami oleh para wartawan agar tidak timbul penafsiran yang beragam terhadap rumusan Pasal 8. Dan, wartawan tidak pula merasa membusungkan dada bahwa dirinya dilindungi oleh undang-undang sepanjang waktu berprofesi jurnalistik.
UU Pers merupakan lex specialis dari KUHP Artinya, mereka yang menjalankan tugas jurnalistik, tidak bisa dijerat dengan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.
Secara hukum, mereka mendasarkan pandangannya pada pasal 50 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana. Sementara pasal 3 UU Pers menyatakan salah satu fungsi pers nasional adalah melakukan kontrol sosial. Karena tugas jurnalistik yang dilakukan oleh insan pers dianggap sebagai perintah Undang-undang Pers, maka jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik itu tidak bisa dipidana.
Argumen lain adalah pasal 310 KUHP yang menyatakan bahwa pencemaran nama baik bukan pencemaran nama baik bila dilakukan untuk kepentingan umum. Berdasarkan pasal 6 UU Pers, pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Bila UU Pers digunakan, menurut D.Manurung, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan pers, ia harus menggunakan hak jawabnya dan pers wajib melayani hak jawab itu. Kalau pers tidak mau memuat hak jawab tersebut, UU Pers mencantumkan ancaman denda Rp500 juta. Kalau hak jawab sudah dilayani utuh, maka problem selesai.Ia mengatakan, setelah hak jawab digunakan, pihak yang dirugikan tidak dapat lagi mengajukan gugatan perdata terhadap pers, ujarnya.
Dalam pandangan Manurung, pengaturan terhadap pers memang harus eksklusif dan berbeda dengan aturan bagi masyarat umum. Pasalnya, pekerjaan jurnalistik adalah bersifat self regulatory, sehingga untuk menjalankan tugasnya ia harus dilindungi dengan ketentuan khusus.
Di mata Manurung, berbeda dengan KUHP, paradigma UU Pers adalah tidak memenjarakan wartawan. “Kalau pakai KUHP itu sudah aturan publik, padahal kerja-kerja jurnalistik adalah self regulatory. Wartawan nyolong, sikat dengan KUHP, tapi waktu ia menjalankan tugas jurnalistik, harus diselesaikan dengan cara-cara jurnalistik, cetus Manurung.
Masalahnya, selama ini dalam beberapa tafsir KUHP, ketentuan pasal 50 itu ditafsirkan hanya untuk pegawai negeri, khususnya polisi atau jaksa. Dalam buku Komentar KUHP oleh R. Soesilo misalnya. Soesilo menafsirkan bahwa yang dimaksud menjalankan perintah undang-undang dalam pasal 50 KUHP itu adalah pegawai negeri. “Pegawai negeri yaitu orang yang diangkat oleh negara atau bagian dari negara untuk melakukan jabatan umum dari negara atau bagian dari negara itu, tulisnya.
Soal pemberitaan yang salah, Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) menyatakan:
“Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.”
Di dalam dunia pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”).
1. Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
2. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.
Upaya yang Dapat Ditempuh Akibat Pemberitaan Pers yang Merugikan
Dalam kasus yang Anda hadapi dan dengan merujuk pada asumsi kami di atas, kami berpandangan bahwa Anda sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan memiliki Hak Jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut.
Lebih lanjut, langkah berikutnya yang dapat dilakukan adalah membuat pengaduan di Dewan Pers. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
Dewan Pers Indonesia mendefinisikan pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers.
Salah satu fungsi Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Dan hal yang perlu dilihat BAB V tentang DEWAN PERS Pasal 15 bahwa yang Pertama, Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Kedua, Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, dan mendata perusahaan pers.
Fungsi Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat vital bagi wartawan, bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekalipun, Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan yang sangat istimewa bagi wartawan. Menurut M. Alwi Dahlan, Kode Etik setidak-tidaknya memiliki lima fungsi, yaitu: Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya; Melindungi masyarakat dari malpraktek oleh praktisi yang kurang profesional; Mendorong persaingan sehat antarpraktisi; Mencegah kecurangan antar rekan profesi; Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber.
Dengan adanya kode etik, setidaknya para wartawan dapat menimbang prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai, kewajiban terhadap dirinya dan kewajiban terhadap orang lain dan Menentukan bagi dirinya sendiri bagaimana ia akan hidup, bagaimana ia akan melaksanakan pekerjaan kewartawanannya, bagaimana ia akan berpikir tentang dirinyasendiri dan tentang orang lain, bagaimana ia akan berperilaku dan bereaksi terhadap orang-orang serta isu-isu di sekitarnya.
Kebebasan Pers adalah kebebasan menggunakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian, majalah, dan buletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya untuk menegakkan keadilan, ketertiban, dan keamanan dalam masyarakat. Kebebasan pers harus disertai tanggung jawab sebab kekuasaan yanb besar dan bebas yang dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan dibuat semena-mena. Demikian juga pers harus mempertimbangkan apakah berita yang disebarkan dapat menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif pada masyarakat dan bangsa. Inilah segi tanggung jawab pers. Jadi, pers diberikan kebebasan dengan disertai tanggung jawab sosial.
Manurung juga menyampaikan sebuah penjelasan mengenai kebebasan pers yang mencakup landasan hukum kebebasan pers di Indonesia, aliran kebebasan pers, dan dampak penyalahgunaan kebebasan pers.
Landasan Hukum Kebebasan Pers di Indonesia
Kebebasan pers adalah kebebasan dalam konsep, gagasan, prinsip, dan nilai cetusan yang bersifat nalriah kemanusiaan di mana pun manusia berada. Nilai kemanusiaan adalah naluri mengeluarkan perasaan hati kepada orang lain sebagai pribadi yang suaranya ingin diperhitungkan dan timbul dari keinginannya untuk menegaskan eksistensinya. Untuk itu, jenis kebebasan meliputi hal-hal berikut.
*Kebebasan pers (freedom of the press)
*Kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat (freedom of the opinion and expression)
*Kebebasan berbicara (freedom of the speech)
Kebebasan untuk menyampaikan, mempunyai, dan menyiarkan pendapat melalui pers dijamin oleh konstitusi negara di mana pun pers berada. Oleh sebab itu, jaminan kebebasan pers bersifat universal. Hal ini dijamin dalam Piagam HAM PBB (Universal Declaration of Human Rights) Pasal 19 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa pun dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
Kebebasan berbicara untuk memperoleh informasi merupakan salah satu hak asasi manusia. Hak asasi tersebut dijamin dalam ketentuan perundang-undangan dan merupakan hak setiap warga negara. Negara Indonesia telah menjamin hak kebebasan berbicara dan informasi bagi warga negara. Jaminan kebebasan berbicara dan informasi itu, antara lain sebagai berikut.
1.Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
2. Pasal 28 F UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
3.Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Bab VI, Pasal 20 da 21 yang isinya sebagai berikut. (20) “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.” (21) “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluaran yang tersedia.”
4. Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 Pasal 14 Ayat 1 dan 2 tentang Hak Asasi Manusia. (1) “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperolah informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.” (2) “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.”
Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi,” setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kendati Indonesia menyatakan negara demokrasi, kenyataannya selama rezim Orde Baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan. Media yang dinilai melanggar peraturan dan mengeritik penguasa bisa dikenakan pembredelan. Mekanisme penerbitan media massa dikontrol melalui ”rezim SIUPP” (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Pascareformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kehidupan pers. Peraturan tersebut antara lain: Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar Sebagai Satu-Satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia.
Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
UU No. 40 /1999 menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. UU No. 40/1999 menegaskan tidak ada sensor dan pembredelan terhadap pers.
Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan, fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah
Pasal 2 : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3 ayat (1): Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Pasal 6 : Pers nasional melaksanakan peranannya: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan
mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Ada pun Kemerdekaan pers diatur dalam:
Pasal 4 ayat (1) : Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
Pasal 4 ayat (2) : Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran
Pasal 4 ayat (3) : Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Undang-Undang tentang Pers memberi sanksi kepada mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan. Pasal 18 Undang-Undang tentang Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”
Walau undang-undang menjamin kebebasan pers, tapi bukan berarti kebebasan pers di Indonesia menempati peringkat tinggi dibanding negara lain. Pada 2017, misalnya indeks kebebasan pers di Indonesia berada pada urutan 124 dari 180 negara. Menurut lembaga international Reporter Sans Frontiers (RSF) kebebasan pers di Indonesia jauh di bawah negara Asia, seperti Hongkong, Jepang, dan Timor Leste.
Kebebasan Pers: Landasan Hukum, Teori, dan Penyalahgunaan
Secara konseptual kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Kebebasan pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment.
Teori tentang Kebebasan Pers
Kebebasan Pers memiliki empat aliran yang menghasilkan teori mengenai pers. Teori tersebut adalah sebagai berikut.
Teori Pers Totalitarian
Teori ini muncul di Rusia pada abad ke-19. Falsafah teori totalitarian adalah media massa sebagai alat negara untuk menyampaikan segala sesuatunya kepada rakyat. Pengguna media adalah anggota partai yang setia. Media massa dikontrol secara ketat oleh pemerintah dan dilarang melakukan kritik atas tujuan dan kebijakan.
Teori Pers Libertarian
Teori ini muncul di Inggris, kemudian masuk ke Amerika hingga keseluruh dunia. Falsafah teori ini adalah pers memberi penerangan dan hiburan dengan menghargai sepenuhnya individu. Teori libertarian menganut paham ideologi kebebasan pers yang sebebas-bebasnya tanpa ada campur tangan pengontrol terhadap media di dalamnya. Ideologi inilah yang diterapkan oleh media massa yang bercorak free press. Pers menjadi alat kontrol masyarakat kepada pemerintah dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Teori Pers Social Responsibility
Teori ini menyatakan bahwa pers memiliki tanggung jawab sosial. Teori ini dikembangkan di Amerika pada abad ke-20. Falsafah teori ini adalah pers memberikan penerangan, hiburan, dan menjual produk. Namun, pers dilarang melanggar kepentingan orang lain dan masyarakat. Teori ini berada di tengah antara teori authoritarian dan libertarian. Hingga saat ini, dunia pers di Amerika menganut teori social responsibility yang berada netral di antara kedua kutub yang ada.
Teori Pers Authoritarian
Teori ini dikembangkan di Inggrismulai abad ke-16 dan 17, kemudian ke seluruh dunia. Falsafah teori authoritarian adalah pers menjadi kekuasaan mutlak kerajaan atau pemerintah yang berkuasa guna mendukung kebijakannya. Pers difungsikan untuk mengabdi pada kepentingan negara. Dengan demikian, yang berhak menggunakan media komunikasi adalah siapa pun yang mendapat izin dari kerajaan atau pemerintah. Teori ini memberikan keleluasaan kepada negara untuk melakukan intervensi kepada pers.
Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Pers
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers menyebutkan, “Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Ini artinya, kemerdekaan pers bukan berarti pers merdeka dan bebas sebebas-bebasnya dalam menyajikan berita, melainkan juga harus diikuti dengan kesadaran akan pentingnya penyampaian berita yang santun, berkaidah jurnalistik, dan menjujung supremasi hukum.
Tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik wartawan harus benar-benar dijalankan, tidak hanya dijadikan “Raja Kertas” yang harus megalah demi kepentingan pragmatis. Inilah makna hakiki kebebasan pers yang bertanggung jawab, masyarakat perlu lebih selektif dalam memilih pemberitaan. Saat ini, kebebasaan pers dan kebebasan berpendapat, secara kontraproduktif justru dimanfaatkan oknum-oknum media untuk menyimpang dari orientasi perjuangan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Berikut adalah penyampaian informasi/berita yang disalahgunakan.
1. Distori informasi: lazimnya dengan menambah atau mengurangi infirmasi, akibatnya maknanya berubah.
2. Dramatisasi fakta palsu: dapat dilakukan dengan memberikan ilustrasi secara verbal, auditif ataupun visual yang berlebihan mengenai suatu objek.
3. Mengganggu privacy: hal ini dilakukan melalui peliputan yang melanggar hak-hak pribadi narasumber.
4. Pembunuhan karakter: dilakukan dengan cara terus menerus menonjolkan sisi buruk individu/kelompok/organisasi tanpa menampilkan secara berimbang dengan tujuan membangun citra negatif yang menjatuhkan.
5. Eksploitasi seks: media menampilkan seks sebagai komodiatas secara serampangan tanpa memperhatikan batasan norma dan kepatuhan.
6. Meracuni pikiran anak-anak: ekploitasi kesadaran berpikir anak yang diarahkan secara tidak normal pada hal-hal yang tidak mendidik.
7. Peyalahgunaan kekuasaan (abuse of power): media menyalahgunakan kekuatannya dalam mempengaruhi opini publik dalam suatu praktik mass deception (pembohongan massa).
Komisi Kebebasan pers (1942-1947) atau dikenal pula sebagai Komisi Hutchins (w:Robert Hutchins) sebagai pencetus teori tanggung jawab sosial merupakan sebuah komisi untuk menyelidiki fungsi yang tepat bagi pers dalam demokrasi modern di Amerika serikat dan memberikan lima prasyarat yang dituntut masyarakat modern dari pers.
1. pers harus menyajikan dalam pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas, pers dituntut untuk selalu akurat, dan tidak berbohong. fakta harus disajikan sebagai fakta, dan pendapat harus dikemukakan sebagai murni merupakan sebagai pendapat. komisi membedakan kriteria kebenaran menurut ukuran masyarakat dibagi dalam masyarakat sederhana dan masyarakat modern. dalam ukuran masyarakat sederhana, kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan dalam pers dengan informasi dari sumber-sumber lain, sementara dalam masyarakat modern, isi pemberitaan pers dianggap merupakan sumber informasi yang dominan, sehingga pers lebih dituntut untuk menyajikan pemberitaan yang benar. sebagai contoh disebutkan bahwa pers harus bisa membedakan secara jelas mana yang merupakan peristiwa politik, dan mana yang merupakan pendapat politisi.
2. pers harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. Media dituntut untuk membangun relasi interaktif dengan publik dalam pengertian media menyodorkan suatu masalah kepada khalayak untuk dibahas bersama, meskipun tidak ada aturan hukum yang mewajibkan pers menjalankan fungsi ini. komisi dalam pertemuan dengan tokoh pers, w:Henry Luce penerbit majalah Time and Life misalnya mendefinikan tanggung jawab sosial pers sebagai keharusan memastikan bahwa pers adalah wakil masyarakat secara keseluruhan, bukan kelompok tertentu saja.
3. pers harus menyajikan gambaran yang khas dari setiap kelompok masyarakat dan pers harus memahami kondisi semua kelompok dimasyarakat tanpa terjebak pada stereotype. Kemampuan ini akan menghindari terjadinya konflik sosial dan pers harus mampu menjadi penafsir terhadap karakteristik suatu masyarakat dan memahaminya seperti aspirasi, kelemahan, dan prasangka. Komisi ini terpengaruh dengan idelogi sosialis yang berkembang pada masa-masa perang dunia kedua yang yang membedakan dengan terdahulu dalam teori libertarian.
4. pers harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai kemasyarakatan.Pendapat bahwa hal Ini tidak berarti pers harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat pada hal-hal yang harus diraih karena dianggap bahwa pers merupakan instrumen pendidik masyarakat sehingga pers harus “memikul tanggung jawab sebagai pendidik dalam memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya kepada tujuan dasar kemasyarakatan.
5. pers harus membuka akses ke berbagai sumber informasi. Masyarakat industri modern membutuhkan jauh lebih banyak ketimbang dimasa sebelumnya. Alasan yang dikemukakan adalah dengan tersebarnya informasi akan memudahkan pemerintah menjalankan tugasnya. Lewat informasinya sebenarnya media membantu pemerintah menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.Teori tanggung jawab sosial ini merupakan kontruksi transformatif terhadap pemikiran aliran libertarian yang terdulu dikenal dalam masyarakat pers di Amerika terutama dalam dua hal yakni:
* teori libertarian menganggap akses bebas ke informasi akan tercipta dengan sendirinya. Namun, akses itu harus diupayakan. Akses itu tidak akan ada jika khalayak bersikap pasif terhadap informasi terbatas yang disodorkan kepadanya,
* teori libertarian menganggap media adalah urusan individu, bukan urusan masyarakat, bahkan menyatakan bahwa individu boleh berbeda kepentingan terhadap media, dan hal itu akan membuahkan hasil positif berupa gagasan atau ide yang lebih baik.
Semoga Bermanfaat!!!
Salam Satu Pena