“Mewujudkan Harmoni Demokrasi Yang Berperspektif HAM”
Detikkasus.com | Tahun 2018 merupakan tahun politik yang ditandai dengan akan diselenggarakannya Pemilihan Umum Kepada Daerah (PILKADA) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serentak di sebanyak 171 daerah. Selain perhelatan pilkada serentak, pada 2018 juga akan dipanaskan dengan tahapan pelaksanaan pesta demokrasi yang lebih besar yakni tahapan Pemilihan Umum serentak anggota legislatif dan Presiden/Wakil Presiden.
Kontestasi dalam proses pesta demokrasi akan diwarnai dengan berbagai macam permasalahan yang akan berdampak pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang akan menciderai pelaksanaan hak konstitusional warga negara dalam pesta demokrasi tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta Deklarasi Universal HAM (DUHAM) serta meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk mencapai tujuan tersebut Komnas HAM sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya, melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM. Disamping itu, oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diberikan mandat sebagai satu-satunya institusi yang berwenang melakukan penyelidikan proyustisia pelanggaran HAM yang berat. Dalam perkembangannya, Komnas HAM diberikan mandat sebagai pengawas terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada 2012, Komnas HAM diberikan tugas tambahan dalam penanganan konflik sosial sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Dengan bertambahnya peran Komnas HAM tersebut, maka Komnas HAM telah menjadi lembaga tumpuhan Harapan Akhir Masyarakat, khususnya masyarakat korban pelanggaran HAM guna mendapatkan pemulihan terhadap berbagai bentuk pelanggaran HAM. Besarnya kepercayaan publik ini dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah pengaduan yang disampaikan ke Komnas HAM. Berdasarkan data yang ada, pada 2017 Komnas HAM telah menerima berkas pengaduan sebanyak 5.387.
Berdasarkan data, tipologi aduan dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan masyarakat terkait dengan kinerja POLRI dapat digambarkan ke dalam tabel berikut:
Tipologi Pelanggaran HAM oleh POLRI
Berdasarkan data di atas, terdapat 5 (lima) tindakan yang sering diadukan/dilaporkan masyarakat terkait kinerja Polri sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut:
Lima Besar Tindakan yang Paling Banyak Diadukan
Berdasarkan data di atas, 5 (lima) tindakan yang banyak diadukan masyarakat dan patut diberikan atensi, yaitu: Pertama, lambatnya penanganan laporan polisi/ kasus/ perkara, sebanyak 398 aduan. Kedua. Upaya Paksa Kepolisian yang dilakukan secara sewenang-wenang yakni sebanyak 44 aduan, meliputi terkait penangkapan, penahanan dan penggeledahan yang sewenang-wenang. Ketiga. Tindakan kekerasan yang diduga dilakukan anggota Polri baik verbal maupun non verbal, sebanyak 39 aduan. Keempat. Tindakan kriminalisasi sebanyak 36 aduan dan Kelima tindakan penyiksaan sebanyak 17 aduan.
Dengan demikian selain menggambarkan adanya kesadaran masyarakat untuk memperjuangkan haknya terutama melalui mekanisme pengaduan di komnas HAM perlu menjadi perhatian para pihak terutama lembaga negara, pemerintah dan koorporasi sebagai pihak yang diadukan terduga pelaku pelanggaran HAM untuk senantiasi memperbaiki kebijakan, tata kelola kelembagaan dan tindakannya yang lebih mengedepankan HAM.
Eksistensi Komnas HAM dalam pemajuan, perlindungan dan penegakan HAM bukan hanya diakui di tataran nasional saja, akan tetapi dalam tataran regional maupun internasional, peran Komnas HAM juga mendapatkan pengakuan. Hal ini antara lain dalam tataran regional, Komnas HAM sebagai salah satu pendiri organisasi institusi nasional hak asasi manusia di kawasan ASEAN yakni South East Asia on National Human Rights Institution Forum (SEANF). Selain itu, Komnas HAM juga menjadi salah satu penggagas dan pendiri lahirnya organisasi institusi nasional HAM di kawasan Asia Pasific yakni The Asia Pacific Forum on National Human Rights Institusions Forum (APF). Selanjutnya, di tataran internasional, Komnas HAM pada 2017 mendapatkan kembali akreditasi dengan predikat ”A” yakni nilai tertinggi yang diberikan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni Global Alliance of National Human Rights Institutions (GANHRI).
Tantangan Hak Asasi Manusia 2018
Berdasarkan catatan Komnas HAM, kondisi pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia selama 2017 belum mengalami kemajuan yang berarti, hal ini antara lain dengan belum adanya keinginan atau political will dari pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang hasil penyelidikannya telah diselesaikan oleh Komnas HAM dan sudah diserahkan kepada Jaksa Agung.
Adapun gambaran tantangan secara umum kondisi hak asasi manusia yang menjadi prioritas Komnas HAM sebagaimana diuraikan dibawah ini.
1. Tentang Penyelesaian Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat. Peristiwa pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diundangkannya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM masih belum ada perkembangan di Kejaksaan Agung. Sampai dengan akhir tahun 2017 ini setidaknya 9 (sembilan) hasil penyelidikan Komnas HAM masih belum ditindaklanjuti Jaksa Agung, yakni peristiwa Penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Kasus Wamena, dan Peristiwa Wasior, Peristiwa Jambu Keupok, dan Peristiwa Simpang KKA.
2. Tentang Kekerasan di Papua. Perjalanan sejarah kehidupan masyarakat di tanah Papua sarat dengan berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Ketidakpuasan rakyat Papua sebagai akibat berbagai kebijakan dari pemerintah pusat yang dinilai diskriminatif sehingga berdampak pada munculnya berbagai gejolak penentangan atau penolakan. Mensikapi situasi dan kondisi tersebut, dalam rangka menjaga keamanan, pemerintah mengedepankan pendekatan represif sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa manusia baik yang berasal dari aparat keamanan maupun masyarakat yang mengakibatkan meninggal dunia maupun yang luka-luka. Berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan di tanah Papua tentu akan menyebabkan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, yang bukan mustahil korban-korban tersebut sebagian besar justru masyarakat sipil yang sama sekali tidak terlibat dengan aktivitas pemberontakan, seperti yang dituduhkan oleh Pemerintah. Hal ini antara lain apa yang terjadi pada peristiwa kekerasan di Enarotali Paniai Papua yang mengkibatkan meninggalnya korban jiwa manusia yang sampai dengan sekarang belum ada proses penyelesaiannya. Sejumlah pihak meyakini bahwa akar permasalahan yang melandasi makin menguatnya perlawanan dari beberapa kelompok masyarakat Papua ialah oleh karena hingga saat ini tidak ada proses penyelesaian yang fair atas berbagai permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di tanah Papua. Korban maupun keluarga korban terus berupaya memperjuangkan penyelesaian berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia untuk mendapatkan keadilan baik dalam bentuk menuntut para pelaku serta menuntut adanya pemberian ganti rugi yang dialami oleh para korban. Perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan tersebut dilakukan melalui berbagai macam cara baik melalui lembaga adat, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun ke Komnas HAM, bahkan sampai pada dunia internasional. Berbagai permasalahan hak asasi manusia tersebut, yang dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Sebagai bentuk nyata dari pertimbangan permasalahan hak asasi manusia yang dijadikan pertimbangan dalam undang-undang dimaksud adalah dengan adanya perintah pembentukan Perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Walaupun sudah diberikan otonomi khusus termasuk dalam hal pengelolaan anggaran yang porsinya lebih besar, akan tetapi dalam pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ternyata kurang menyentuh keadilan bagi masyarakat Papua. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat sehingga tingkat kehidupan mereka belum juga mengalami perubahan yang sejahtera karena mereka kurang tersentuh oleh program otonomi khusus. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya keseriusan pemerintah untuk mengusut dan menyelesaikan berbagai permasalahan hak asasi manusia di masa lalu, khususnya terhadap peristiwa yang hasil penyelidikannya sudah diselesaikan oleh Komnas HAM seperti peristiwa Wamena dan Wasior, serta pembentukan Pengadilan HAM dan KKR di Papua sebagaimana dimandatkan dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2001.
3. Tentang Sengketa agraria: Perseteruan yang memperebutkan sumber-sumber agraria atau sumberdaya alam atau bidang tanah tertentu dimana pihak-pihak yang bersengketa masing-masing mengklaim memiliki hak atas sumber/tanah tersebut dengan berbekal suatu ketentuan hukum tertentu, yang dalam hal ini bisa merupakan ketentuan hukum yang sama, tetapi bisa juga ketentuan hukum yang berbeda. Sengketa relatif mudah diselesaikan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan maupun melalui lembaga yang berwenang mengurusi soal pemberian hak atas tanah atau pengelolaan sumberdaya alam tertentu, jika kedua belah pihak yang bersengketa sama-sama menggunakan dasar hukum yang sama dan lembaga yang memutuskan perkara bertindak adil. Pada kenyataannya ribuan kasus sengketa yang berkembang menjadi konflik agraria muncul akibat adanya perbedaan dasar hukum yang digunakan untuk melakukan klaim, kemudian ada keterlibatan Negara (aparatus Negara) untuk menegasi klaim dan dasar hukum yang digunakan oleh salah satu pihak. Misalnya adalah Negara menegasi klaim dan hak-hak masyarakat adat atas tanah adat mereka yang diklaim dan digunakan oleh pihak lain. Keterlibatan Negara lainnya yang juga menjadi salah satu karakter dari fenomena konflik agraria di Indonesia adalah tidak diakuinya penguasaaan dan penggarapan tanah oleh masyarakat di atas tanah-tanah yang kemudian dinyatakan sebagai Tanah Negara, yang untuk kemudian diserahkan penguasaannya kepada pihak lain melalui pemberian ijin-ijin lokasi kegiatan bisnis, ijin-ijin usaha atau konsesi-konsesi kegiatan eksplorasi sumber daya alam tertentu, dan hak-hak lainnya. Sengketa dan/atau konflik agraria seringkali disusul dengan kriminalisasi orang-orang atau kelompok masyarakat yang berusaha mempertahankan dan/atau mengambil kembali hak-haknya. Konflik agraria di Indonesia biasanya disertai dengan perseteruan fisik: perkelahian, tindak kekerasan dan kriminal, kerusuhan, dan bahkan perang akibat dalam kasus-kasus sengketa agrarian tidak diselesaikan hingga ke akar masalahnya, bahkan cenderung dibiarkan. Mekanisme dan prosedur hukum yang ada saat ini yang biasanya digunakan untuk penyelesaian sengketa dan/atau konflik agraria – misalnya: melalui penyelesaian administratif di lembaga-lembaga kementrian dan setingkat yang memiliki kewenangan menerbitkan hak atas tanah, peradilan perdata, dan peradilan tata usaha Negara – tidak efektif, bahkan sering tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Selain itu, kewenangan kelembagaan yang ‘arogan’ secara sektoral, berpotensi maladministrasi dan mempersempit ruang bagi masyarakat untuk mencari keadilan manakala terjadi sengketa. Banyak pelangaran maupun tidak dipenuhinya HAM warga, serta adanya potensi terjadinya pelanggaran HAM, dalam kasus-kasus sengketa/konflik agraria sejak mulai tahapan terbitnya keputusan pemerintah dalam penguasaan dan penggunaan tanah atau pengelolaan sumberdaya alam hingga pada proses penyelesaian sengketa dan tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi. Karena itu, diperlukan suatu mekanisme, prosedur dan pertimbangan-pertimbangan hukum yang komprehensif yang dapat mengakomodasi keberagaman dasar hukum dan asal-usul munculnya hak menguasai, menggunakan dan/atau mengelola sumber-sumber agraria, maupun yang dapat meralat, merevisi, atau mengubah terbitnya ijin-ijin usaha eksploitasi sumberdaya alam, dan hak-hak baru penguasaan tanah untuk kegiatan bisnis tanpa harus menjadi penghambat kegiatan investasi dan pembangunan ekonomi.
Dalam konflik agraria, mengakibatkan terjadinya tindakan penggusuran di berbagai tempat di Indonesia sehingga mengakibatkan tidak terlindunginya hak bertempat tinggal dan berusaha para korban karena penggusuran itu dilakukan tanpa penyediaan tempat lain untuk bertempat tinggal atau tempat berusaha sebagai penggantinya. Komnas HAM mencatat masih tingginya tindakan penggusuran rumah-rumah dan pemukiman rakyat, antara lain dalam kasus pembangunan Bandara di Kulonprogo, Yogyakarta. Bahkan tindakan-tindakan tersebut didukung dengan legislasi daerah dan anggaran yang cukup besar. Sebagian besar, penggusuran tersebut dilakukan tanpa memberikan solusi nyata kepada rakyat mengenai tempat tinggal yang baru yang semakin menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan pemukiman bagi rakyat miskin.
Peluang Pemajuan dan Penegakan HAM 2018
Berdasarkan gambaran umum hak asasi manusia diatas, pada 2018 didapati adanya berbagai peluang yang dapat mendukung bagi proses pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, antara lain :
1. Penguatan Peraturan Perundang-undangan di bidang HAM
Komnas HAM memberikan apresiasi atas keseriusan pemerintah dalam pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, antara lain dengan dimasukkannya isu hak asasi manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selanjutnya, berbagai produk peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi manusia telah diundangkan baik undang-undang sektoral maupun undang-undang pengesahan dari berbagai hukum internasional.
Dalam bidang peraturan perundang-undangan, pada 2017 telah mengalami kemajuan dengan telah disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan hak asasi manusia antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pengesahan Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak.
2. Menguatnya kepercayaan Internasional
Menguatnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan serja dijaminnya berbagai hak asasi manusia antara lain hak menyampaikan pendapat dan hak berkumpul telah menjadikan Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Hal tersebut telah menjadikan Indonesia mendapatkan pengakuan kepercayaan dari dunia internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini ditandai antara lain dengan akan berkunjungnya Komisariat Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN High Comissioner for Human Rights) Mr. Prince Zeid bin Ra’ad ke Indonesia pada awal februari 2018. Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk melihat secara langsung situasi dan kondisi hak asasi manusia di Indonesia. Dalam kunjungannya ke Indonesia, selain akan bertemu dengan jajaran pemerintah juga dijadwalkan akan bertemu dengan Komnas HAM.
Selain itu, pada April 2018, pelapor khusus hak atas pangan (special rapporteur on right to food) Ms. Hilal Elver juga dijadwalkan akan berkunjung ke Indonesia atas undangan dari pemerintah Indonesia untuk melihat secara langsung kondisi pemenuhan hak atas pangan di Indonesia.
Upaya Komnas HAM dalam Pemajuan dan Penegakan HAM 2018
Bercermin dari tantangan dan peluang HAM sebagaimana digambarkan diatas, maka upaya dan sikap Komnas HAM berkenaan dengan hal masalah yang dihadapi selama tahun 2017, Komnas HAM membaca proyeksi, harapan, dan peluang di bidang hak asasi manusia untuk satu tahun ke depan pada tahun 2018 adalah:
1. Pelaksanaan PILKADA 2018
Persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh Pemerintah dan masyarakat Indonesia di bidang HAM pada 2018 akan semakin besar dan berat mengingat bahwa tahun ini adalah tahun politik yang dikhawatirkan akan banyak terjadi berbagai benturan dan pelanggaran HAM. Berbagai bentuk ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoax) akan menghiasi suasana pesta demokrasi di tahun politik ini.
Berkaca dari pengalaman pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta yang sara dengan nuansa SARA, maka pada pelaksanaan Pilkada serentak di sebanyak 171 daerah juga akan berpotensi menggunakan praktik SARA yang antara lain dengan menggunakan isu agama, putra daerah dan lain sebagainya.
Selain itu, kontestasi pilkada serentak 2018 ini juga akan diramaikan dengan majunya sejumlah Jenderal baik dari TNI maupun polisi di beberapa daerah antara lain Maluku, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Politisasi jabatan ini dikhawatirka akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, abuse of power, dan meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu pemerintah harus dengan segera melakukan tindakan pencegahan untuk menangkal berbagai permasalahan tersebut serta mengambil tindakan tegas kepada para pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Selain mengedepankan hak asasi manusia sebagai landasan objektif pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilu di Indonesia penting pula bagaimana memastikan para peserta pilkada, yaitu partai politik dan perseorangan, untuk mampu menjaga harmoni demokrasi dalam “perebutan kekuasaan”. Butuh kerelaan dan jiwa kenegarawanan para peserta pilkada untuk sama-sama memastikan tak akan menggunakan cara-cara diskriminatif dan kotor dalam merebut perhatian para calon pemilih.
Bagian lain yang tak kalah beratnya adalah memastikan para pemilih makin teredukasi, tak silau oleh politik uang, tak terpikat oleh rayuan berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), tak termakan provokasi murahan, dan melek secara digital yang bisa membedakan mana berita benar dan mana yang sekadar tipuan (hoax).
Termasuk bagaimana agar warga memiliki keterampilan menyikapi segala kampanye hitam, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Pendidikan pemilih (voters education), pendidikan kewarganegaraan (civic education), serta program literasi digital untuk setiap warga negara kelak tak bisa diremehkan lagi karena akan menjadi fondasi utama dalam menyiapkan masyarakat demokratis yang tangguh dan berdaya.
Sehubungan dengan hal tersebut, guna memastikan terpenuhinya hak konstitusional warga negara dalam proses pesta demokrasi Pilkada dan terjaminnya hak asasi manusia warga negara, sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana dimandatkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, Komnas HAM akan memberikan perhatian khusus dengan membentuk Tim guna melakukan pemantauan dalam setiap tahap proses pelaksanaan Pilkada serentak 2018.
2. Penyelesaian Pelanggaran HAM Yang Berat
Salah satu masalah paling sering didesakkan oleh masyarakat untuk segera diselesaikan penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Sampai akhir 2017, terdapat 9 (sembilan) peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang hasil penyelidikannya telah diselesaikan Komnas HAM dan diserahkan kepada Jaksa Agung, yaitu:
(a) Peristiwa 1965-1966,
(b) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
(c) Peristiwa Talangsari 1989,
(d) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
(e) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
(f) Peristiwa Peristiwa Trisakti-Semanggi I-II
(g) Peristiwa Wasior-Wamena 2003.
(h) Peristiwa Jambu keupok di Aceh 2003
(i) Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999
Hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap sembilan peristiwa itu belum ditindaklanjuti Jaksa Agung. Selain kesembilan peristiwa tersebut Komnas HAM juga sedang melakukan penyelidikan terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Aceh yakni Rumah Geudong 1989-1998, Bumi Flora 1998 dan Timang Gajah-Bener Meriah 1998-2003. Selain itu, Komnas HAM pada saat ini juga sedang melakukan penyelidikan terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang berat peristiwa Dukun Santet dan Peristiwa Paniai di Papua.
Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang Komnas HAM sebagaimana dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan, Komnas HAM akan menyelesaikan penyelidikan terhadap berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang masih dalam proses penyelidikan. Selanjutnya, terhadap hasil penyelidikan yang telah diselesaikan Komnas HAM dan diserahkan kepada Jaksa Agung, Komnas HAM akan melakukan upaya agar ada jalan penyelesaian berbagai peristiwa dimaksud baik melalui jalur yudisial maupun non yudisial.
3. Permasalahan HAM di Papua.
Perjalanan sejarah kehidupan masyarakat di Papua sarat dengan berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Berangkat dari ketidakpuasan rakyat Papua sebagai akibat berbagai kebijakan dari pemerintah pusat yang dinilai diskriminatif sehingga berdampak pada munculnya berbagai gejolak penentangan atau penolakan. Mensikapi situasi dan kondisi tersebut, dalam rangka menjaga keamanan, selama puluhan tahun Pemerintah mengedepankan pendekatan represif sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa manusia baik yang berasal dari aparat keamanan maupun masyarakat yang mengakibatkan meninggal dunia maupun yang luka-luka.
Permasalahan HAM di Papua masih menjadi tantangan yang memerlukan perhatian bersama. Berbagai bentukpelanggaran HAM baik di bidang sipil dan politik maupun bidang ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi pada 2017 berpotensi masih akan berlanjut pada 2018. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah yang serius dan humanis guna memberikan rasa keadilan kepada rakyat Papua termasuk mengungkap dan menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua.
Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang Komnas HAM sebagaimana dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan, Komnas HAM akan menyelesaikan penyelidikan terhadap Peristiwa Paniai di Papua dan berbagai peristiwa lainnya.
Komnas HAM juga akan mendorong dilakukannya pendekatan dialogis dan menjauhkan pendekatan represif bagi penyelesaian berbagai permasalahan hak asasi manusia di Papua.
Selain itu, Komnas HAM juga akan mendorong berbagai pihak agar dapat dengan segera menindaklanjuti implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,khususnya yang berkenaan dengan perintah pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua.
4. Sengketa Agraria
Hilangnya dan terampasnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya banyak terjadi dalam kasus-kasus sengketa agraria dan perampasan tanah rakyat yang dari tahun ke tahun semakin meningkat baik jumlah, skala maupun intensitasnya.
Tingginya konflik agraria untuk sektor infrastruktur patut diduga terkait dengan masive-nya pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas Presiden Joko Widodo. Setiap pembangunan infrastruktur – baik itu jalan tol, bandara, pelabuhan, pembangkit listrik tenaga uap, waduk – pasti membutuhkan lahan yang tidak kecil. Lahan – khususnya di Pulau Jawa – yang sudah sempit, semakin terjepit oleh kebutuhan lahan untuk berbagai proyek Infrastruktur. Setidaknya, ada sekitar 269 proyek infrastruktur – yang dibingkai dalam Proyek Strategis Nasional – yang diatur di dalam Peraturan Presiden No. 3/2016 sebagaimana diubah dalam Perpres No. 58/2017.
Alih-alih memperkuat dan memulihkan daya dukung ekologi Pulau Jawa – tempat bernaungnya 60 persen penduduk Indonesia -, ambisi pemerintah untuk membangun infrastruktur akan semakin mengerogoti kemampuan alam yang semakin terbatas. Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), diabaikan. Akibatnya bisa ditebak, bencana yang berbasis pada kerusakan alam semakin banyak dan sering terjadi. Komnas HAM mengingatkan bahwa hal itu hanya dapat dicegah dengan cara mengurangi ketimpangan penguasaan tanah yang saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Konflik agraria juga dapat dicegah apabila rencana pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur yang sekarang sedang digalakkan, dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia, menghormati hak-hak masyarakat setempat – termasuk kelompok-kelompok masyarakat adat – atas tanah dan sumberdaya alam. Selain itu, negara juga harus mengembangkan kebijakan-kebijakan dan regulasi yang mendorong dan mengawasi kegiatan investasi dalam bidang apa pun untuk menghormati hak asasi manusia.
Pemerintah saat ini seharusnya menjalankan rencananya untuk menyelesaian kasus-kasus konflik agraria yang selama ini terjadi secara sistematis dan menyeluruh, tidak sekedar mengandalkan mekanisme-mekanisme penyelesaian dan kelembagaan yang ada saat ini.
Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang Komnas HAM sebagaimana dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan, Komnas HAM akan melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap berbagai kasus sengketa agraria yang dihadapi oleh masyarakat.
Berkenaan dengan pemenuhan hak atas keadilan yang ada kaitannya dengan tugas-tugas kepolisian yang masih banyak diadukan masyarakat, Komnas HAM mendesak agar Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai garda terdepan dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban dapat memperkuat kapasitas dan kualitas aparatnya dalam menjalankan tugas. Dengan demikian, maka dalam setiap pelaksanaan tugas dapat mengimplementasikan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia sehingga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Kepolisian akan meningkat dan dengan demikian maka aduan masyarakat terhadap kepolisian akan menurun serta terwujudnya POLRI yang PROFESIONAL, MODERN DAN TERPERCAYA (PROMOTER).
Akhirnya Komnas HAM mengharapkan agar perhatian besar yang diberikan oleh Pemerintah, DPR RI, dan kalangan masyarakat terhadap pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan HAM yang telah ditunjukkan selama 2017 dapat berlanjut di tahun 2018. Di samping itu, menjadi harapan Komnas HAM pula agar semua lembaga negara, lembaga pemerintah, aparatur negara, dan semua pihak yang peduli HAM untuk menunjang upaya pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM seluruh bangsa ini bagi terciptanya masyarakat yang demokrasi yang bercirikan supremasi hukum dan penghormatan HAM.
Jakarta, 22 Januari 2018 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
KETUA, Ttd: AHMAD TAUFAN DAMANIK. (Priya).