Oleh: Chiara Nurkhaliza Satya Fitania (Mahasiswi Ilmu Pemerintahan UMM)
Detikkasus.com | Pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19 merupakan polemik yang sangat besar akhir-akhir ini membuat banyak permasalahan yang tejadi yakni adanya ketidaktauan masyarakat atas pemimpin yang di pilihnya yakni yang dulunya pemimpin masyarakat dapat kampanye dan memperkenalkan dirinya kepada masyarakat secara langsung di tengah pandemi seperti ini tidak lagi dapat melakukan kampanye di karenakan tidak memungkinkan dan dilarangnya kerumunan untuk menekan adanya kenaikan masyarakat yang terpapar Covid-19.
Adanya ketidaktauan masyarakat oleh pemimpinnya secara tidak langsung masyarakat memilih tersebut secara yang terlihat oleh media sosial hal ini di karenakan kampanye atau memperkenalkan atau mempromosikan dirinya lewat media sosial,membuat masyarakat memilih apa yang di lihat di media sosial pastinya juga tidak semua masyarakat paham betul media sosial banyak masyarakat yang sudah lanjut usia mereka tidak menggunakan media sosial jadi mereka banyak yang memilih sembarangan dan banyak yang tidak memilih.
Kampanye yang Tidak Mudah bagi Calon pemimpin daerah Dalam situasi yang seperti saat ini, unsur kampanye bagi calon atau peserta pilkada justru tidak mudah. Waktu yang sulit dan situasi, tidak memungkinkan bagi calon untuk mengumpulkan massa. Padahal, kampanye dalam proses elektoral di Indonesia identik dengan pengumpulan massa.
Dengan pengaturan kampanye tipe simbolik, dimana calon akan cenderung mengerahkan massa, sementara ada kebijakan PSBB yang salah satunya mengatur soal physical distancing atau social distancing, tentu hal ini tidak mudah bagi calon. Apakah KPU bisa menabrak aturan PSBB apabila suatu daerah yang menyelenggarakan pilkada ternyata situasi pandemi belum usai? Tidak ada aturan yang menjelaskan hal ini, dan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 juga tidak menyinggungnya. Sementara dalam praktik pemilu dan/atau pilkada, diskresi yang dilakukan oleh KPU akan memunculkan perdebatan karena KPU bisa dianggap melampui batas kewenangannya dalam mengambil keputusan.
Meskipun situasi pandemi COVID-19 bisa memicu situasi sulit bagi pengaturan Pilkada 2020, namun pilkada di tengah pandemi ini juga bisa mendorong para calon kepala daerah untuk mengurangi kampanye simbolik dan mobilisasi massa.
Penggunaan aplikasi teknologi di dunia maya akan menggantikan metode kuno kampanye tatap muka dengan kerumunan massa dalam jumlah besar. Calon kepala daerah harus mulai terbiasa dengan cara ini. Pandemi COVID-19 ini bisa dijadikan sebagai momentum kebangkitan kampanye narasi yang dipenuhi dengan ide dan gagasan yang didialogkan secara santai dan nyaman.
Para calon perlu mempersiapkan diri untuk melakukan inovasi kampanye digital. Orientasi calon yang masih terlalu meyakini kampanye dengan cara tradisional melalui pengumpulan massa, perlu ditinggalkan.
Demikian pula cara berfikir jalan pintas, karena proses elektoral kita di era reformasi, baik pemilu maupun pilkada masih kurang mengeksplorasi narasi calon sebagai kekuatan untuk menarik massa.
Kampanye model lama lebih mengedepankan politik transaksional di satu sisi dan politik imbalan di sisi yang lain.
Cara transaksional dalam kampanye ini mulai mewabah sejak Pemilu 2004, dan diteruskan hingga saat ini. Akibatnya, calon kepala daerah dihantui keraguan pilihan berkampanye, apakah cara digital baik melalui media poster atau media lainnya seperti teleconference di zoom dapat menggantikan pola hubungan kampanye pilkada 2020 di tengah pandemi diharapkan dapat mengubah cara berkampanye yang tidak lagi simbolik dan tradisional.
Para kandidat dan tim pemenangan calon akan dipaksa lebih kreatif menemukan inovasi baru dalam melakukan kampanye dialogis melalui perbincangan sosial yang lebih naratif dan edukatif dari permasalahan banyaknya masyarakat yang tidak memilih ini membuat pilkada serentak 2020 juga menjadi pilkada yang kurang adanya partisipasi dari masyarakat, seharusnya komponen utama adanya pilkada adalah partisipasi masyarakat adanya pilihan masyarakat terhadap para calon yang akan mewakili suara rakyat.
Kurangnya partisipasi masyarakat ini di picu oleh keterbatasana masyarakat dalam mengakses informasi di media sosial walaupun di era serba teknologi seperti sekarang semua sudh canggih dan dapat memanfaatkan kemajuan teknologi yang sudah sangat pesat ini.
Tapi kita bisa lihat di desa atau di daerah yang lumayan terpencil tidak semua masyarakat mempunyai gadget yang canggih untuk mengakses semua informasi tersebut hal ini juga membuktikan bahwa belum sepenuhnya kemajuan teknologi dan komunikasi masuk di semua kalangan masyarakat di indonesia, terkadang masyarakat juga jika masih terkendala dengan sinyal yang kurang bagus di daerah tertentu, hal ini membuat banyak berkurangnya partisipasi masyarakat di dalam pilkada serentak 2020 ini.
Tidak hanya masalah teknologi masyarakat juga sering kali tidak berpartisipasi di karenakan lebih memilih bekerja karena mereka menganggap bahwa lebih baik bekerja dan memperbaiki perekonomian dari pada harus memilih para wakilnya. Padahal hal itu juga harus di luruskan partisipasi rakyat terhadap wakilnya itu menentukan daerah tersebut dan apa saja yang menjadi keinginan masyarakat tersebut.