Oleh: Rindala Sari Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang
Detikkasus.com | Kerusuhan merupakan peristiwa di mana massa (sekelompok besar orang) melakukan pengacauan, perusakan, dan berbagai kegiatan buruk lainnya. Kerusuhan dapat hanya melibatkan satu kelompok massa saja yang menjadi orang atau barang sebagai sasaran mereka, dapat juga berupa dua kelompok massa yang saling menyerang (Saputra, 2013). Peristiwa-peristiwa kerusuhan ini semakin meningkat sejak jatuhnya Pemerintah Soeharto di tahun 1998. Sejak saat itu, juga mulai populer istilah provokator. Istilah “provokator” lebih banyak ditujukan kepada orang atau sekelompok orang yang menggerakkan massa dengan cara “menghasut” untuk berbuat kerusuhan.
Salah satu peristiwa kerusuhan yang belakangan ini mencuat di media massa adalah aksi unjuk rasa terkait hasil rekapitulasi suara Pilpres 2019 di Gedung Bawaslu pada 21-22 Mei. Pada peristiwa tersebut terjadi aksi bakar membakar hingga penjarahan. Sebelum peristiwa kerusuhan itu terjadi, masyarakat Indonesia disuguhkan dengan berita yang berisikan narasi-narasi provokatif yang mengajak kelompok masyarakat Indonesia untuk menolak hasil pemilu. Konten narasi provokatif tersebut bermacam-macam, mulai dari ajakan menolak hasil perhitungan langsung yang sedang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), memprovokasi masyarakat untuk menuntut agar salah satu pasangan capres-cawapres didiskualifikasi, hingga provokasi pergerakan massa yang memanfatkan kekuatan rakyat alias “people power” untuk menguasai dan mengepung KPU, Istana Negara dan DPR RI. Bahkan lebih dari itu, ada juga provokasi kepada masyarakat untuk melakukan aksi-aksi kekerasan. Penulis beranggapan bahwa dalam konteks keamanan suatu negara, “provokasi” yang demikian itu dapat dikategorikan sebagai usaha yang pada dasarnya telah disusun secara sistematis, terstruktur dan masif. Artinya, aksi tersebut bukanlah aksi yang spontan terjadi, melainkan telah dimobilisasi dan terorganisir. Tujuannya adalah untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah dengan menciptakan kerusuhan yang berupa aksi kekerasan. Aksi yang tidak dapat dibenarkan tersebut dapat dikategorikan sebagai “makar”.
Sebagaimana diketahui bahwa aksi kerusuhan 22 Mei 2019 ini telah direspon secara baik dan cepat oleh TNI dan Polri yakni dengan melakukan patroli untuk menjaga wilayah yang rawan kerusuhan serta melakukan penangkapan terhadap beberapa orang yang terlibat dan diduga sebagai provokator. Secara hukum, para terduga pelaku dijerat dengan pasal 104 KUHP tentang Makar, yang meliputi aksi dengan maksud untuk membunuh atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden yang memerintah. Para pelaku diancam dengan pidana mati atau kurungan penjara paling lama 20 tahun.
Langkah di atas adalah langkah yang tepat dalam menangkal aksi-aksi “inkonstitusional” yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Di samping itu, menurut penulis langkah yang dilakukan pemerintah pada dasarnya sama sekali tidak bermaksud menekan atau kembali lagi ke masa Orde Baru dengan menghalangi kebebasan berdemokrasi, melainkan untuk mengupayakan kondisi senyaman dan seaman mungkin bagi masyarakat serta untuk mempertahankan persatuan nasional. Dengan kata lain, pemerintah tidak akan memberikan ruang demokrasi pada satu sisi jika pada sisi yang lain ada ruang kebebasan yang terganggu. Oleh sebab itu, persiapan yang matang dan upaya dari sejumlah elemen keamanan negara seperti TNI dan Polri serta ketegasan pemerintah untuk menindaklanjuti tuduhan kecurangan yang “tidak berdasar” dari aksi makar yang menegaskan ketidakpuasan akan hasil pemilu tidak dapat diremehkan begitu saja. Tuduhan kecurangan maupun ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres 2019 sesungguhnya dapat diselesaikan melalui jalur hukum.
Sebagai warga negara yang baik, sudah sepatutnya kita tidak mudah terhasut dan terpengaruh oleh provokasi-provokasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di media massa dan jangan sampai peristiwa pada masa pemerintahan Soeharto tahun 1998 terulang kembali, dimana masyarakat mudah terpancing oleh adanya provokasi sehingga menimbulkan kerusuhan. Pada peristiwa aksi 22 Mei ini memang benar dilakukan secara sistematis dan masif, namun tidak memiliki arah tujuan yang pasti. Bahkan dapat dikatakan bahwa peristiwa aksi tersebut merupakan aksi makar yang “gagal”. Mengapa demikian? Karena gerakan massa tersebut tidak mengandung syarat yang utuh dimana ada satu syarat yang tidak terpenuhi yakni krisis ekonomi. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini stabil, sehingga upaya para provokator untuk memancing massa mengalami kegagalan. Masyarakat cenderung enggan terpancing, berbeda dengan peristiwa yang terjadi pada 1998. Selain itu, kondisi TNI dan Polri saat ini lebih solid sehingga menciptakan pertahanan yang juga lebih solid dan tidak ada perpecahan di antara kedua institusi tersebut.
Berdasarkan peristiwa aksi 22 Mei 2019 di atas, maka sudah sepatutnya kita sebagai warga negara yang baik perlu mengapresiasi kinerja KPU dan Bawaslu yang telah bekerja dengan sebaik-baiknya sehingga semua tahapan Pemilu dapat diselenggarakan dengan baik sampai pengumuman hasil pemilu serta tidak mudah percaya, terprovokasi dan terpancing dengan pernyatan-peryataan politik yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya yang bisa memperkeruh keadaan. Selain itu, dari peristiwa 22 Mei ini kita juga perlu mengapresiasi TNI dan Polri yang telah bekerja memberikan rasa aman pada semua pihak. Serta meminta kepada pihak-pihak yang kecewa dengan hasil pemilu untuk menempuh jalur yang sah dan konstitusional, bukan justru menempuh jalur inskontitusional seperti provokasi dan kerusuhan.
REFERENSI
Saputro, B. E. 2013. Provokator Kerusuhan dari Sudut Penghasutan dan Penyertaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Crimen. 2 (4): 1-9.