Perangkat Desa Dilarang Rangkap Jabatan

Saran Aturan dan Hukum “Pejabat Wilayah/ Daerah Dilarang Merangkap Jabatan

Oleh : Supriyanto alias Ilyas Ketua Umum LBH Generasi Muda Indonesia Cerdas Demokrasi (Gemindo).

Detikkasus.com | Terdapat isu di wilayah atau daerah adanya perangkat desa di Kabupaten yang “Nyambi” berprofesi sebagai pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harusnya di tanggapi serius oleh Dinas Pemberdayaan Dan Pemerintahan Desa (PMPD).

Khususnya yang menanggapi adalah Kepala bidang (Kabid) Administrasi Desa Dan Kerjasama Antar Desa, sesuai dengan Undang undang nomor 6 tahun 2014 pasal 51 serta Peraturan daerah dan Kabupaten , Nomor 3 tahun 2018 perangkat desa termasuk anggota Badan Permusyawarahan Desa, dilarang untuk merangkap jabatan selain menjadi pengurus partai politik, termasuk menjadi anggota LSM atau sebagai pekerja media dan juga dilarang menjadi pengurus partai politik.

Untuk menghindari konflik kepentingan saat bertugas maka bagi perangkat desa yang ada harus memilih ingin menjadi perangkat desa atau di luarnya.

Menurut ilyas pihaknya PMPD harus menertibkan jika ada pelanggaran tersebut

Bukan tidak suka mereka para perangkat desa bergabung dengan partai politik, anggota LSM atau Pekerja media tapi silakan memilih agar tidak terjadi konflik kepentingan,
itu yang harus di hindari,selain memang telah di atur melalui UU atau Perda yang ada saat ini.

Di katakan terdapat seorang kepala desa, sekdes dan ada yang berasal dari BPD di daerah tersebut seharusnya di panggil ditertibkan oleh PMPD karena merangkap sebagai pekerja LSM atau media dan
dilarang menjadi pengurus partai politik

Kades atau pns harus ditertibkan dengan membuat surat pernyataan tentang posisi diri bila merangkap menjadi lembaga LSM atau Media karena itu melanggar ketentuan dan peraturan posisi jabatan dan dia harus memilih tetap ingin menjadi perangkat desa demi kemajuan daerah.

Baca Juga:  Selamat Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2022 ke-57 Tahun

PNS Rangkap Jabatan, Melanggar Etika?

Kasus rangkap jabatan yang dilakukan salah satu petinggi universitas ternama di Indonesia akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Berbagai pertanyaan muncul mulai dari bagaimana ketentuan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki lebih dari satu jabatan hingga apakah perbuatan tersebut melanggar kode etik PNS?

Ombudsman RI pada 2019 mengungkap kasus rangkap jabatan yang di antaranya juga dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN). Dari total 397 orang, 254 orang (64 persen) komisaris yang berasal dari kementerian terindikasi merangkap jabatan.

Dalam ketentuan kepegawaian PNS, sebelumnya diatur mengenai rangkap jabatan dalam Pasal 98 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 menyatakan, Pejabat Fungsional (JF) dilarang rangkap jabatan dengan Jabatan Administrator (JA) dan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Hal itu dikecualikan untuk JA atau JPT yang kompetensi dan bidang tugas jabatannya sama dan tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi dan bidang tugas JF. Namun, setelah peraturan tersebut diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020, ketentuan mengenai rangkap jabatan tidak lagi diatur. Hal itu kecuali jika tercantum dalam peraturan khusus masing-masing instansi yang ditempati oleh PNS. Apabila seorang PNS terbukti melanggar ketentuan peraturan khusus dalam instansi, maka ia dinyatakan telah bertindak melanggar etika sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004. Bunyinya, bahwa PNS memiliki etika dalam bernegara yang meliputi “menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugas”.

Lalu bagaimana jika di kedua instansi PNS tersebut tidak memiliki aturan khusus mengenai rangkap jabatan?

Yang tidak kalah penting adalah bagaimana seorang PNS memegang asas profesionalitas yang kemudian diterjemahkan ke dalam Nilai Dasar ASN yaitu “menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak”. Dalam kondisi PNS rangkap jabatan, maka perlu dipertanyakan bagaimana konsistensi dirinya untuk tetap bersikap profesional. Bukan tidak mungkin akan terjadi Conflict of Interest (CoI) dalam menjalankan tugasnya, apalagi jika jabatan yang ditempati merupakan jabatan strategis dan memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Adanya CoI ini juga merupakan salah satu tindakan yang melanggar asas netralitas dalam pengambilan keputusan.

Baca Juga:  Belajar Hukum : Sanksi Bagi Ormas yang Melakukan Pelanggaran 

Dalam posisi inilah etika seorang PNS dipertanyakan dan perlu dipertanggungjawabkan, karena sudah selayaknya seorang PNS yang memiliki fungsi sebagai pelayan publik bersikap profesional dan netral. PNS yang terbukti tidak profesional dan tidak netral dalam menjalankan tugasnya dapat dinyatakan melanggar kode etik dan tentu dapat dikatakan sebagai PNS yang tidak beretika.

Publik dapat turut menjadi agen pengawas dalam kepatuhan kode etik PNS tersebut. Jika didapati PNS diduga melanggar kode etik, maka dapat dilaporkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan/atau kepada inspektorat masing-masing instansi. Jika dugaan pelanggaran kode etik dimaksud terbukti, maka PNS tersebut selain dijatuhkan sanksi moral dapat dijatuhkan tindakan administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

12 Larangan bagi Perangkat Desa atau PNS:
Dari ulasan sebelumnya, sepintas lalu telah diulas seputar pengangkatan dan pemberhentian Perangkat Desa menurut peraturan terbaru Menteri Dalam Negeri No.83 tahun 2015.

Dalam peraturan yang ada dijelaskan, pemberhentian Perangkat Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota. “Artinya tidak boleh sepihak, harus melalui musyawarah mufakat desa dan kemudian dikonsultasi dengan camat”.

Namun, yang perlu digaris bawahi, ketika berbicara pengangkatan dan pemberhentian, pasti ada sebab musabanya sehingga seorang perangkat desa diberhentikan oleh Kepala Desa, baik sementara atau sampai pada pemecatan.

Baca Juga:  Indonesia Menuju Kehidupan “living With Endemy”

Perangkat Desa dapat diberhentikan oleh Kades ketika yang bersangkutan melanggar larangan-larangan yang sudah ditetapkan dalam peraturan. Baik peraturan yang dikeluarkan pemerintah maupun larangan-larangan yang sudah berlaku di desa, adat desa dan lain sebagainya.

Berikut larangan-larangan bagi Perangkat Desa sebagaimana disebut dalam Pasal 51 UU Desa No.6 tahun 2014 tentang Desa.
1.Merugikan kepentingan umum;
2.Membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
3.Menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
4Melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
5.Melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
6Melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
7.Menjadi pengurus partai politik;
8.Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
9.Merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
10.Ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
11.Melanggar sumpah/janji jabatan; dan
12.Meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Ketika seorang perangkat desa mengangkangi larangan-larangan yang ada. Maka Perangkat Desa akan dikenai sanksi administratif baik berupa teguran lisan maupun teguran tertulis.

Dalam hal sanksi administratif tidak dilaksanakan oleh Perangkat Desa, dapat dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian “pemecatatan” dari perangkat desa. (Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *