Peran Wanita di Masa Pandemi

Oleh :
Muthia Kamila
Fakultas Ekonomi & Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malang

Detikkasus.com | Meski kurva partisipasi secara perlahan berangsur-angsur naik, nyatanya peran dan keterlibatan wanita dalam politik masih dipandang sebagai sesuatu yang tabu,salah satu faktor penyebab atas kelambanan dalam menyadari isu perempuan dan politik ini adalah pemikiran konservatif yang meyakini bahwa politik adalah arena bermain laki-laki dan perempuan tidak siap untuk turut berperan dalam urusan politik.

Hingga saat ini pemikiran tersebut nampaknya masih tumbuh berkembang dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia. Salah satunya tercermin lewat minimnya partisipasi perempuan dalam proses perumusan kebijakan terkait penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WHO, perempuan menduduki 70% populasi tenaga kesehatan di seluruh dunia, yang mana perawat memiliki porsi terbesar dalam jumlah tenaga kesehatan; dan 80% dari perawat adalah perempuan. Data tersebut memberi gambaran betapa pentingnya partisipasi perempuan dalam proses dan implementasi kebijakan Covid-19.

Baca Juga:  Sambangi Warga Bhabinkamtibmas Kelurahan Seririt Sampaikan Pesan Kamtibmas

Sayangnya, hanya sedikit perempuan yang menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan; kurang dari 15% perempuan yang menduduki posisi strategis pada kabinet pemerintah. Peran perempuan dalam penanganan pandemi masih dilihat sebelah mata jika dilihat pada komposisi keterlibatan dalam pembentukan gugus tugas.

Kebijakan penanganan Covid-19 sebagian besar diformulasikan oleh laki-laki, sedangkan yang menjadi fokus kebijakan-kebijakan tersebut adalah perempuan (dan kelompok marjinal lainnya) yang tingkat representasi dan keterlibatannya rendah dalam proses perumusan.

Hal ini kemudian menjawab mengapa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak sensitif gender dan akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kelompok perempuan, yang notabene adalah kelompok yang paling terdampak dari pandemi Covid-19.

Dalam merumuskan kebijakan yang menyasar kelompok perempuan, tentu perspektif dan kebijakan dari sisi perempuan perlu menjadi pertimbangan agar implementasi dapat berjalan secara efektif.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Komnas Perempuan, pandemi Covid-19 yang disusul dengan kebijakan PSBB meningkatkan resiko kekerasan terhadap perempuan. Dari rentang waktu bulan Maret hingga awal September, LBH APIK telah diterima sebanyak 508 laporan kekerasan terhadap perempuan; dengan jumlah kasus tertinggi yakni KDRT sebanyak 168 laporan. Namun, dari periode Maret hingga kini pun, belum ada kebijakan yang dapat memberikan solusi dalam upaya menekan angka kekerasan terhadap perempuan yang tidak kunjung mereda di tengah pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan oleh, lagi-lagi, kecilnya tingkat keterlibatan perempuan dalam perumusan kebijakan yang mengakibatkan perspektif dan pertimbangan yang diambil dalam proses formulasi masih sangat maskulin dan bias gender.
Pemerintah masih belum sepenuhnya mampu memahami uniknya masalah yang dihadapi perempuan pada saat kebijakan publik semasa pandemi, sehingga representasi perempuan yang proporsional dalam tim pengambil kebijakan masih belum terwujud. Pemikiran-pemikiran konservatif yang memposisikan perempuan di bawah laki-laki nampaknya masih lestari dalam kehidupan berpolitik di Indonesia. Hal ini akhirnya berdampak pada internalisasi bahwa perempuan memang tidak seharusnya mengambil keputusan untuk dirinya sendiri; laki-laki sebagai mahluk yang cenderung rasional daripada emosional merupakan representasi terbaik untuk menentukan apa yang terbaik untuk perempuan, termasuk dalam konteks pengambilan kebijakan yang menyasar kelompok perempuan.
Ke depannya pemerintah diharapkan bisa lebih melibatkan perempuan dalam perumusan kebijakan, terutama kebijakan yang tujuannya untuk menyasar kepentingan perempuan. Dibutuhkan kebijaksanaan dan juga perimbangan perempuan dalam proses formulasi kebijakan, sehingga tidak ada kebijakan yang implementasinya meleset dan tidak sesuai sasaran. Karena kecilnya tingkat keterlibatan perempuan dalam perumusan kebijakan akan menciptakan produk kebijakan sangat maskulin dan bias gender. Hal tersebut perlu dihindari karena kita tidak boleh lupa bahwa persoalan terkait kesehatan tidak netral gender. Artinya, setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak berdampak sama bagi perempuan dan laki-laki.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Kukuhkan Anggota Paskibraka 2018 di Istana Negara

Oleh :
Muthia Kamila
Fakultas Ekonomi & Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malan

Baca Juga:  Kodim 0816/07 Kapten CPL M. Khoirie Menghadiri Milad Akbar Aisyiyah ke 105 H/102 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *