Pengamat Hukum, Herman Hofi Soroti Kasus “Bapak Genjot Anak ‘” Di Kubu Raya

KUBU RAYA I Detikkasus.com -, Saat ini fenomena di KKR muncul perilaku yang tak lazim, yakni pemerkosaan atau hubungan intim antara ayah dan anak kandung, dan ibu kandung membantu menggugurkan kandungannya.

Seorang ayah seharusnya menjadi pigur pendidik, pemelihara dan pelindung bagi keluarga. Ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinanya di dalam rumah tangga.
Seorang laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang ibu juga adalah pemimpin di dalam rumah bersama suaminya dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.

Namun, akhir-akhir ini ada fenomena yang sangat memprihatinkan di tengah-tengah masyarakat, yaitu seorang ayah menghamili anak perempuannya sendiri, Hal ini menunjukkan betapa bejatnya moral ayah tersebut jika ia melakukannya secara paksa, dan betapa bejatnya moral ayah.

Seharusnya hal itu tidak boleh terjadi. Seorang ayah yang normal tidak akan bernafsu melihat anak perempuannya, karena ia adalah darah dagingnya sendiri. Seorang ayah seharusnya memelihara dan melindungi anak perempuannya itu. Namun, anak yang seharusnya dilindungi malah justru dirusak dan dihancurkan masa depannya oleh ayahnya sendiri. Peribahasa mengatakan: “Pagar makan tanaman”.
Ini menunjukkan terjadinya kebejatan dan kerusakan moral yang parah di dalam masyarakat kita akhir-akhir ini. Tidak ada akal sehat atau agama atau adat istiadat yang menerima hal ini. Oleh karena itu, segala upaya harus dikerahkan oleh semua pihak, pemda KKR seharus nya merasa risih dan tidak berdiam diri dengan penomena ini dan berusaha untuk keluar dari zona ke biadapan ini. Tokoh masyarakat dan bahkan seluruh lapisan masyarakat harus berusaha juga agar ke depan kejadian tersebut tidak terulang atau semakin meluas.

Baca Juga:  Aktifitas PETI Marak Di Sungai Kapuas Sintang.

Admosfir kehidupan semakin kotor ini harus segera mencari langkah preventif.

Penomena ini tidak hanya bisa mengendalkan bergerak nya hukum untuk efek jera akan tetapi juga pendekatan sosiologis sangat penting.

hukum bagi seorang ayah melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak kandungnya, berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia, ia dapat dijerat dgan pasal Pasal 285 KUHP, dihukum karena memperkosa, dgan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun,” dan Pasal 291 apabila kejahatan seksual mengakibatkan luka luka, maka pelakunya diancam hukuman maksimal 12 tahun, UU. No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, pada pasal 8 dipidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak 36 juta rupiah dan dipidana penjara paling singkat 4 tahun, paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit 12 juta dan paling banyak 300 juta, “ dan UU. No. 23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana sanksi hukum yang diberikan maksimal dipenjara selama 15

Baca Juga:  Kalbar Raih Juara 1 Nasional Implementasi Program Satu Rekening Satu Pelajar

Ketika seorang ayah melakukan tindak pidana memperkosa anak kandungnya berdasarkan ketentuan Pasal 285 dan Pasal 291KUHP, Pasal 8 dan Pasal 59 b UU. No. 23 thn 2004 tentang PKDRT, dan Pasal 81Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan sanksi hukum dipenjara selama 12 th dan maksimal selama 15 thn. Serta dijerat Pasal 81 UU No. 35 Thn 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Baca Juga:  Dugaan Ikan Mati Di Sungai Gombar, Dugaan DLHK Kabupaten Aceh Singkil turun ke lokasi

Selain hukuman penjara, ayah bejat itu tidak dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan anak kandungnya tersebut.
Hal ini menjadi sebab berpindahnya hak perwalian dari ayah kandung sebagai wali nasab kepada urutan wali berikutnya baik dari nasab ke nasab maupun dari nasab ke hakim.
Untuk itu di harapkan aparat penegak hukum baik kepolisian memiliki Sense the Crisis of Morality dengan memperhatikan dengan sungguh2 setiap laporan masyarakat. Tidak ada pembiaran atas laporan masyrakat. Tentu saja di harapkan Kejaksaan pun peka dengan kondisi miris seperti ini. Dan Benteng pertahanan keadilan terakhir adalah majelis Hakim di harapkan dapat memberikan ponis yang dapat menimbulkan efek jera dan rasa keadilan d masyarakat

(Hadysa Prana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *