Detikkasus.com |Artikel
Kompleksitas Pemerataan Ekonomi Implementasi pemerataan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari tingginya beban dalam pengelolaan ekonomi negara. Jumlah penduduk miskin, per Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang (10,64 %), naik 6,90 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2016 yang sebanyak 27,76 juta orang (10,70 %), dimana hasil proyeksi penduduk me nunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 261.890,9 ribu orang (BPS, 2017). Jumlah penduduk miskin yang tinggi berdampak pada semakin besarnya upaya yang harus dilakukan dalam penanganannya. Setiap tahunnya angka kemiskinan meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk dan pengangguran. Hal ini diwaspadai sebagai dampak perkembangan ekonomi yang naik turun dan krisis ekonomi yang pernah melanda, Berkenaan hal tersebut tingkat ketimpangan/ gini ratio30 bergerak stagnan. Gini ratio per Maret 2017 sebesar 0,393 (ketidakmerataan sedang), relatif stagnan dibandingkan pada September 2016 yang mencapai 0,394 atau turun tipis 0,001 poin (BPS 2017). Ratio gini stagnan karena pertumbuhan orang kaya menurun dan pertumbuhan orang miskin pun melambat, kenaikan paling tinggi terjadi di masyarakat kelas menengah, bukan pada lapisan terkaya dan termiskin. Atau dengan kata lain jumlah kekayaan yang dihimpun oleh orang kaya semakin menurun, di sisi lain pertumbuhan jumlah penduduk miskin juga melambat, sehingga membuat jurang kesenjangan tidak banyak berubah Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse (2017), menyampaikan bahwa 1 % orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 % kekayaan nasional. Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia (peringkat 4 ketimpangan ekonomi). Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India dan Thailand. Dengan demikian terdapat disparitas/ perbedaan yang jauh antara yang kaya dan yang miskin. Variasi karakteristik masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat dan terletak pada kondisi geografis wilayah yang berbeda-beda (dataran tinggi, dataran rendah dan pesisir). Penanganan ini berimplikasi pada pendekatan pengembangan masyarakat melalui perencanaan partisipatori yang cenderung menyesuaikan dengan norma masyarakat bersangkutan. Perencanaan dilakukan melalui pelibatan seluruh elemen masyarakat untuk menghasilkan kebijakan yang disetujui oleh semua pihak Shalaby, Rendahnya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat, IPM Indonesia pada 2015 berada di peringkat 113, turun dari posisi 110 nilai indeks, pada tahun 2016, angka IPM Indonesia sebesar 70,18, tumbuh 0,91 % atau bertambah poin dibandingkan Tahun 2015, pertumbuhan tersebut sedikit lebih rendah dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya, Peningkatan IPM masih terkendala akibat distribusi harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk seluruh masyarakat tidak tersebar secara merata. Cakupan luas wilayah yang besar, luas Indonesia 1.913.578,68 km2 , garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 di tahun 2015 (BPS, 2017). Semakin luas wilayah yang dikelola akan membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif dan lebih memakan waktu, ditambah lagi luasan wilayah tersebut terdiri dari pulau-pulau. Cakupan wilayah negara yang terdiri dari kepulauan mengakibatkan pemerataan ekonomi cenderung terkendala oleh kondisi geografis, pusat-pusat pertumbuhan yang ada tidak serta merta berpengaruh untuk seluruh wilayah negara, namun terbatas pada pulau bersangkutan. Jarak terpanjang dari ujung paling Barat (Sabang) sampai ke ujung paling Timur (Jayapura) mencapai bentangan lebih dari 5.000 km atau sama jaraknya dari Seatle sampai ke New York di Amerika Serikat. Dilihat dari aspek kewilayahan, Indonesia dapat diinterpretasikan terdiri dari daratan (pulau-pulau) yang dipisahkan dan dihubungkan oleh perairan (lautan), tetapi dapat dikatakan pula merupakan hamparan perairan (laut luas) yang ditaburi oleh pulau-pulau (daratan) (Adisasmita, 2011).
Potensi Konektivitas Pemerataan Ekonomi
Pusat petumbuhan nasional merupakan kawasan yang memiliki fungsi khusus dalam hal meningkatkan perekonomian suatu negara, disana terdapat pusat perdagangan, jasa, bisnis maupun industri berskala nasional. Pusat pertumbuhan ini mendorong perekonomian suatu negara dengan memfasilitasi daerah sekitarnya (cenderung berdampak hanya bagi wilayah berbatasan daratan) dalam hal perekonomian. Setiap negara mempunyai pusat pertumbuhan ekonomi skala nasionalnya masing-masing. Keunikan yang terjadi di Indonesia adalah meskipun terdiri dari pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) namun pusat pertumbuhan berskala nasionalnya hanya terdapat di Jakarta (pulau Jawa). Hal ini dapat dilihat dari besaran output ekspor (out put total perekonomian) dan investasi yang cenderung sebagian besar ada di pulau Jawa (pembahasan sebelumnya). Implikasi dari kondisi tersebut terjadinya ketergantungan bukan hanya terhadap daerah sekitarnya namun juga terhadap daerah dari pulau-pulau di luarnya. Idealnya pusat pertumbuhan berskala nasional terdapat juga di lokasi tertentu pada pulaupulau besar lainnya, sehingga tidak terdapat ketergantungan yang berlebihan terhadap pulau Jawa. Untuk mewujudkan agar setiap pulau-pulau besar memiliki pusat pertumbuhannya masing-masing, hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah, dengan pertimbangan keterbatasan biaya dan sumber daya manusia yang ada. Hal ini perlu untuk dimulai, bukan karena takut gagal, namun lebih kepada investasi jangka panjang untuk pemerataan dan konektivitas pemerataan ekonomi. Pada pembahasan ini, relokasi ibu kota memungkinkan adanya pusat pertumbuhan nasional baru dengan harapan lokasi tujuan akan berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi motor perekonomian baru selain di Jakarta. Menilik kepada kasus-kasus pemindahan ibu kota yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia, memberikan gambaran tersendiri terhadap pentingnya relokasi ibu kota berlandaskan berbagai pertimbangan (Tabel 1). Alasan yang paling umum relokasi ibu kota adalah untuk meningkatkan pemerataan ekonomi dan memisahkan antara pusat pertumbuhan nasional dengan pusat pemerintahannya. Dari tabel tersebut sebagian besar negara-negara yang telah melakukan relokasi ibu kotanya memiliki latar belakang tujuan untuk memisahkan pusat pemerintahan dan pusat pertumbuhan nasionalnya dengan alasan kota sebelumnya memiliki beberapa kendala diantaranya kemacetan, pengaruh politik, sosial dan ekonomi yang berlebihan (stabilitas), kepadatan penduduk, keterbatasan areal lahan untuk pengembangan, alasan rawan bencana, serta untuk memajukan dan mendongkrak perekonomian wilayah bagian negara.
KESIMPULAN
Pemindahan ibu kota berdampak pada potensi konektifitas pemerataan ekonomi. Pemerataan ekonomi dapat dicapai dengan adanya relokasi ibu kota, karena menimbulkan konsentrasi pusat pertumbuhan ekonomi skala nasional baru, disertai dengan arus migrasi penduduk menuju lokasi tujuan. Dari sisi lokasinya, dengan adanya pemindahan ibu kota akan berdampak pada konektifitas internal dan eksternal. Konektifitas internal memungkinkan pengembangan ekonomi akan mengarah pada pembangunan wilayah kepulauan terluar lain (selain pulau Jawa) seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku hingga Papua. Konektivitas eksternal akan berdampak lebih positif pada kerjasama luar negeri antar kawasan di Asia Tenggara, perhatian akan lebih fokus kepada segitiga pusat pertumbuhan seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura maupun antara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Filipina. Ibu Kota yang baru akan menambah daya tarik Indonesia di mata dunia internasional, dan daya tarik itu akan mendatangkan nilai devisa bagi negara melalui aliran investasi dan pariwisata. Meskipun di sisi lain relokasi ibu kota bukan merupakan pekerjaan yang mudah, karena pada akhirnya akan menginginkan integrasi antara penduduk lokal dengan pe ndatang yang berimplikasi pada aspek sosial, politik, budaya dan ekonomi, baik dalam bentuk eksternalitas positif maupun eksternalitas negatif, untuk menuju masyarakat metropolitan pluralis. Penulis merekomendasikan untuk kajian selanjutnya terkait dengan prediksi, bahwa adanya relokasi ibu kota yang menimbulkan pusat pertumbuhan ekonomi baru, titinjau dari sisi kajian yang berbeda seperti potensi-potensi yang tidak menyebabkan stimulasi peningkatan ekonomi bagi daerah sekeliling tujuan lokasi relokasi, ataupun sisi negatif dari pertumbuhan ekonomi akibat relokasi ibu kota.
Nama : Adam Alfian Nur
Nim : 201910050311015