Oleh : Rossa sinambella Mahasiswi Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.
Detikkasus.com | Pemekaran daerah merupakan pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penambahan kabupaten/kota dii donesia dari 1996 hingga 2007 mencapai sekitar 54 persen, sedangkan di kelompok maluku/papua mencapai 150 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa pemekaran daerah yang ada di papua sangatlah pesat. Sampai awal tahun 2008 jumlah daerah kabupaten/ kota yang ada di papua mencapai 36 yang terdiri dari 9 kabupaten/ kota yang ada pada provinsi papua barat, dan 27 kabupaten/ kota berada pada provinsi Papua. Pemekaran Provinsi Papua harus berdasarkan aspirasi dan masukan dari masyarakat Papua.
Hal ini bertujuan agar pemekaran Provinsi Papua sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat Papua, mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, dan mempercepat pembangunan. Pemekaran Provinsi Papua ini merupakan salah satu poin strategis revisi perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang akan segera berakhir pada tahun 2021 ini
Pemekaran Papua ibarat pedang bermata dua. Di satu pihak, mempercepat proses pembangunan dan memperpendek rentan kendali pemerintahan.
Di lain pihak, pemekaran tidak dapat menyelesaikan akar masalah yang selama ini mengganggu relasi Jakarta–Papua. Satu hal yang penting disadari bahwa maraknya pemekaran menjadikan ‘ketergantungan’ dan jejaring ekonomi politik di lingkungan elite Papua dengan oknum–oknum di pusat yang menggunakan momentum pemekaran untuk transaksi bisnis, ekonomi, dan politik. Pada saat yang sama, kolaborasi transaksional ini memperkuat identitas Papua yang bertransformasi dengan rangkaian resistansi terhadap kehadiran negara yang sebenarnya telah kehilangan kewibawaan di hadapan orang Papua
Pemekaran membawa dampak terjadinya penetrasi modal dan birokrasi pemerintahan yang turut memengaruhi konstruksi identitas Papua yang bertransformasi terusmenerus dan dinamis. Imajinasi pusat untuk memekarkan wilayah ini dalam lima provinsi patut direkonstruksi bahwa kalkulasi kebijakan yang keliru dapat menjadi bumerang.
Pemekaran Irian Jaya Barat atau Papua Barat melalui Inpres No 1/2003, 18 tahun yang lalu, patut menjadi pelajaran berharga bahwa pemekaran yang masif di Papua tak boleh melanggar Pasal 76 (UU 21/2001) dengan mengabaikan peranan MRP dan DPRP, bukan MPR atau Menko Polhukam. Perlu juga diingat, Pasal 31, 32, dan 33 (UU 23/2014) mengisyaratkan pemekaran suatu wilayah mesti melalui tahapan persiapan, seperti daerah administrasi sebelum dikukuhkan menjadi daerah otonomi baru.
Pemberlakuan otsus menandai perubahan dari pemerintahan yang semula tersentralisasi di pusat kini ber alih ke Papua dan Papua Barat. Peng ambilan keputusan harus dengan konsultasi dan persetujuan Papua.
Papua berhak menentukan apa yang terbaik bagi mereka, bukan dengan mem-bypass kewenangan dan otoritas pemda dan institusi– institusi otsus, seperti DPRP dan MRP. Pengaturan kewenangan di bawah ‘bendera’ otsus menyatakan Papua berhak mengurus dirinya meskipun selama 20 tahun berlangsung, harus diakui ada karut-marut pengaturan ini akibat kelalaian Papua dan pusat yang tidak menjabarkan kewenangan khusus (Pasal 4/ UU 21/2001). Bahkan, ‘jalan tengah’ otsus merupakan komitmen negara untuk mewujudkan keadilan, penegakan hukum, penghormatan terhadap HAM. Ironisnya, agenda pemekaran Papua dua provinsi hingga saat ini tidak tampak upaya serius pusat yang benar–benar sesuai kebutuhan masyarakatnya.
Justru yang terdengar ialah protes terhadap pelanggaran HAM atau tuntutan dialog Jakarta–Papua. Maupun yang terakhir penolakan terhadap otsus jilid 2 dan referendum semakin mengglobal, bukan saja di dalam NKRI, bahkan dunia internasional, apalagi dimotori United Liberation Movement West Papua ( ULMWP).
Sesudah Otsus Papua berlangsung dan pemekaran dua provinsi masih belum jelas bagaimana pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dikelola dengan lebih baik, atas dasar kewenangan yang lebih besar yang diserahkan kepada Papua dan Papua Barat. Akibatnya, tak ada perbedaan prinsip antara sebelum dan sesudah otsus ataupun sesudah pemekaran provinsi diberlakukan di tanah Papua. Kesejahteraan yang dijanjikan saat pemekaran provinsi pun semakin jauh.
Realitas ini menunjukkan pemekaran wilayah dalam hal ini pemekaran provinsi perlu didesain secara layak dan pantas, bukan hanya respons sesaat atas kepanikan terhadap penolakan otsus dan semakin kencangnya tuntutan referendum. Dalam konteks semacam itu pemekaran bukan jawaban terhadap penyelesaian substansi ‘akar’ masalah Papua yang tak kunjung tuntas diselesaikan.