Patriarki Sebagai Momok Besar Perempuan Indonesia dalam Berpolitik

Penulis : Dhea Olivia Ivank Prastika
Jurusan : Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Malang

Detikkasus.com | Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki memiliki hak istimewa sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Perempuan merupakan salah satu komponen yang ada di masyarakat disamping laki – laki, namun budaya patriarki membuat kedudukan perempuan menjadi tidak sejajar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan bahwa budaya patriarki sebagai perilaku yang mengutamakan laki – laki dari pada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Engels dalam Budiman (1981: 23) pernah menyampaikan bahwa kemunculan sistem patriarki menjadikan perempuan sebagai makhluk pengabdi saja. Tentu saja hal ini mengakibatkan munculnya berbagai masalah sosial yang berdampak buruk pada kebebasan perempuan untuk terjun kedalam dunia politik. Menurut Walby (2014 : 28) budaya patriarki adalah sebuah sistem struktur sosial dan praktik – praktik yang memposisikan laki – laki sebagai pihak yang memposisikan laki – laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas dan mengeksploitasi kaum wanita.
Di Indonesia sendiri setidaknya terdapat 30% perwakilan perempuan untuk bisa duduk di bangku parlemen berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan suara terbanyak sebagai calon terpilih untuk menjunjung tinggi suara rakyat. Keputusan ini tentunya memberikan peluang bagi perempuan agar bisa menunjukkan eksistensi dalam ranah politik. Namun di beberapa daerah masih terdapat diskriminasi terhadap caleg (calon legislatif) perempuan, hal ini dikarenakan kepercayaan yang masih berkembang didalam masyarakat bahwa kaum laki – laki adalah pemimpin. Akibanya pada tahun 2017 besarnya populasi perempuan yang mencapai 130,3 juta jiwa atau sekitar 49,75 persen dari jumlah penduduk sebesar 261,9 juta jiwa tidak terepresentasi dalam parlemen. Porsi perempuan di bangku DPR jauh lebih sedikit dibandingkan dengan porsi laki–laki.
Saat ini pemerintah sudah melakukan penanggulangan dengan mengesahkan Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang di dalamnya juga mengatur pemilu tahun 2009. Hal ini membawa dampak baik karena pada pemilu tahun 2004, perempuan mendapatkan porsi sebesar 11,82 persen di DPR. Sejak saat itu persentase terus meningkat hingga tahun 2009 yang mencapai 17,86 persen.
Terlepas dari masalah budaya patriarki yang mengekang kebebasan perempuan dalam berpolitik, setidaknya sekarang telah muncul para perempuan hebat yang mampu memimpin daerahnya dengan baik, contohnya saja gubernur di jawa timur yang bernama ibu Khofifah Indar Parawansa, walikota surabaya ibu Tri Rismaharini, dan walikota batu Ibu Dewanti Rumpoko. Yang dimana mereka mampu mengemban amanah dan memegang tanggung jawab dengan baik sehingga mematahkan pandangan masyarakat tentang budaya patriarki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *