Detikkasus.com | Penulis : Supriyanto Ketua Umum Non Goverment Organisation (NGO) Pendampingan Masyarakat Bersih Damai Dan Sejahtera (PMBDS). SK : NOMOR AHU-0010213.AH.01.07.TAHUN 2018.
Telp/ Whatsaap: 082243319999.
Pasal 160 dan Pasal 161. Kedua pasal ini ditempatkan dalam Buku II tentang Kejahatan, pada Bab V yang berjudul Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Kedua tindakan provokator atau orang yang memprovokasi kerusuhan akan dikaji dari sudut pasal-pasal penghasutan, dan juga dari sudut aturan-aturan penyertaan, khususnya tentang menganjurkan/membujuk (uitlokken).Pasal-pasal KUHPidana Indonesia pada umumnya mempunyai padanannya dalam KUHPidana Belanda. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tindakan provokator atau orang yang memprovokasi kerusuhan akan dikaji dari sudut pasal-pasal penghasutan, Pasal 160 dan 161 KUHPidana, dan juga dari sudut aturan-aturan penyertaan, khususnya tentang menganjurkan/membujuk merupakan Provokator, Kerusuhan.
Supriyanto Als Pria Ketua Umum NGO PMBDS Menjelaskan:
Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
1. “Menghasut” artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”.
2. Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan. Jika menghasut dengan tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan pada publik.
3. Orang hanya dapat dihukum apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar.
Tidak perlu penghasut itu berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa hasutan harus di tempat umum dan ada orang banyak, hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya degan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan yang bersifat “kita sama kita” (onder onsjes, vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum.
4. Maksud hasutan itu harus ditujukan supaya:
a. Dilakukan suatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan) semua perbuatan yang diancam dengan hukuman
b. Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan
c. Jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan
d. Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang.
Sementara itu Untuk menjerat pasal Pelaku yang membuat Surat Palsu antara lain:
Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1. Akta-akta otentik;
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, Atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Tentang Surat yang dipalsukan ialah:
1. Dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain);
2. Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);
3. Dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
4. Surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa (misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).
Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan cara:
1. Membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
2. Memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu.
3. Memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.
4. Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (misalnya foto dalam ijazah sekolah).
1. Pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan;
2. Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup;
3. Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.
4. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.