Detikkasus.com | Dalam Pasal 65 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang menyebutkan, bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan daftar calon tetap untuk anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang memuat paling sedikit 30 persen perempuan. Sanksi akan mencuat bagi partai-partai politik yang tidak melibatkan 30 persen calon perempuan di dalamnya.
Sanski yang dianjurkan yaitu sanksi berupa penolakan daftar calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau KPU Daerah bila partai politik tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan dalam 30 persen calon perempuan.
Pada tanggal 20 September 2018, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia telah menetapkan bahwa sebanyak 7968 calon yang mendaftarkan diri untuk menjadi anggota DPR RI pada pemilu 2019 kemarin. Dari sekian ribu pendaftar tercatat sebanyak 4774 calon legislatif laki-laki dan 3194 calon legislatif perempuan.
Jika dilihat dari jumlah antara calon legislatif laki-laki dan perempuan terjadi peningkatan yang baik terhadap partisipasi calon legislatif perempuan. Hal ini mengacu pada daftar calon legislatif perempuan yang pada tahun 2014 hanya berjumlah 2467 dari jumlah seluruhnya 6619 calon legislatif.
Tingginya angka keterlibatan perempuan tidak lepas dari munculnya kebijakan Affiermative Action pada pemilu 2004, kebijakan ini merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk kelompok atau golongan tertentu (gender ataupun profesi) supaya memperoleh peluang yang setara atau sama dengan kelompok atau golongan lain dalam suatu bidang yang sama.
Namun, berdasarkan hasil akhirnya masih sedikit pula calon legislatif perempuan yang berhasil untuk duduk di kursi parlemen dan bahkan masih jauh dari harapan. Padahal tingginya angka keterlibatan perempuan sangat penting dalam sebuah parlemen. Namun, sistem politik yang timbul saat ini tidak simpatik terhadap kalangan perempuan.
Terlalu besar modal yang dikeluarkan untuk bisa duduk di kursi parlemen merupakan salah satu alasan mengapa perempuan-perempuan Indonesia memilih untuk berdiri di tempat dan tidak mau maju sebagai calon kandidat. Penentuan keterpilihan berdasarkan nomor urut partai, tidak berdasarkan hasil jumlah suara yang diterima dan mungkin juga rakyat Indonesia ini masih sedikit memberikan kepercayan yang lebih terhadap calon legislatif perempuan untuk berbicara di depan umum juga termasuk dalam tidak diterimanya perempuan-perempuan di kursi parlemen.
Munculnya perempuan di ranah politik ini dapat dibuktikan dengan keterlibatan perempuan di dalam sebuah parlemen yang dimana hal ini menjadi syarat mutlak bagi terciptanya budaya pengambilan kebijakan yang ramah pada kepentingan perempuan. Tanpa adanya keterlibatan perempuan di dalam sebuah parlemen dengan jumlah yang memadai, kecondongan untuk menempatkan laki-laki sebagai pusat dari pengambilan suatu kebijakan akan sulit diatasi.
Tentang sedikitnya keterlibatan perempuan dalam kepengurusan politik mungkin terjadi akibat munculnya beberapa faktor. Yang pertama yaitu masih menguatnya pemikiran tentang patriarki di sebagian rakyat. Pola pemahaman tentang patriarki ini condong menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki atau dengan kata lain misoginisme yang merupakan suatu pandangan yang mendudukan perempuan di bawah laki-laki.
Perempuan dalam hal ini diposisikan sebagai salah satu pihak yang tidak memiliki kemandirian di salam suatu bidang, termasuk dalam hal bidang politik. Politik patriarki ini tumbuh subur dikalangan masyarakat dan condong ditanggapi secara liberal dalam sejumlah hal. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia ini, politik patriarki sudah menjadi kebiasaan atau budaya yang turun-temurun dan akibatnya politik patriarki dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat wajar.
Atas budaya patriarki tersebut seorang perempuan lebih sering mengartikan hal ini sebagai nasib dan sebagai kodratnya, karena dalam penafsiran ajaran agama pun hal lebih banyak berpihak kepada laki-laki ketimbang perempuan. Dari tradisi budaya dan ajaran agama inilah yang memungkinkan praktik patriarkisme ini awet dan mewarnai kehidupan seluruh ranah politik Indonesia.
Lembaga politik pada umumnya tidak mempunyai sebuah komitmen penuh dalam hal pemberdayaan perempuan. Hal ini merupakan faktor kedua yang menyebabkan rendahnya keterlibatan perempuan di ranah politik Indonesia. Partai politik dalam hal ini masih belum sepenuhnya yakin kepada kaum perempuan bahwa mereka mampu menjadi pemilik suara dan yang akhirnya dapat menaikkan elektabilitas partai politik.
Pendapat tentang hal ini tentu berhubungan dengan keterbatasan perempuan dalam finansial maupun sosial. Dalam panggung politik perempuan, perempuan lebih sering ditempatkan sebagai suatu objek, al hasil partisipasi perempuan dalam ranah politik condong akan semakin rendah.
Mengesampingkan peran perempuan pada faktanya merupakan pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan. Hak berpolitik bagi perempuan harus dipandang sama dengan hak asasi manusia.
Jika saja kita mengakui adanya hak asasi manusia, maka kita harus juga mengakui akan adanya hak berpolitik bagi perempuan-perempuan Indonesia. Diperlukan sekali sebuah gerakan untuk membangkitkan semangat para perempuan akan kesadaran publik akan pentingnya politik yang berbasis kesetaraan gender. Persepsi rakyat Indonesia yang memvonis bahwa perempuan hanyalah makhluk domestik (kerumahtanggaan) yang tidak cocok untuk bergelut di dunia politik harus juga di akhiri.
Tidak hanya sebuah persepsi, tafsir keagamaan yang condong mengklaim kepemimpinan dengan laki-laki idealnya harus digeser dengan perspektif yang lebih sensitif gender yaitu perempuan. Dengan demikian, undang-undang yang telah mendudukan peran perempuan dalam perpolitikkan sebesar 30% bisa terpenuhi dengan baik. Ketimpangan pandangan dalam mencerminkan eksistensi perempuan belum ditunjukkan segaimana mestinya.
Tentunya faktor-faktor yang memperngaruhi juga memiliki koherensi yang menyebabkan budaya patriarki masih subur tumbuh dalam benak rakyat Indonesia. Peran serta dalam berbagai bidang termasuk bidang politik harus menjadi titik balik penghargaan pada kesetaraan gender yang digagas oleh gerakan feminisme yang menekankan pada peran dalam berbagai bidang kehidupan. Sehingga, penciptaan kebijakan yang setara akan dapat terwujud dengan maksimal.