Penulis : Parmawati Amini
TTL : Kandangan, 29 September 1999
Alamat : Perumahan Bukit Cemara Tujuh Blok F No. 4, Malang, Jawa Timur
Universitas : Universitas Muhammadiyah Malang – Jurusan : Psikologi
Detikkasus.com | SEBELUM menikah, saya sudah pacaran lama lho dengan suami/istri saya… Tapi kenapa, ya, kok setelah kami menikah sikapnya berubah drastis dan tuntutannya pun sulit dipahami. Sepertinya, apapun yang saya lakukan selalu salah dan tidak sesuai dengan keinginannya. Padahal saat pacaran, dia sangat baik, alim, lembut, pengertian dan mau menghargai serta menerima kekurangan dan kelebihan kami masing-masing. Pokoknya saat kami pacaran semua serasa bagaikan surga, tapi setelah menikah, kehidupan yang kami jalani bagaikan neraka. Saya bingung… bagaimana sih “standar” atau kriteria yang benar buat dia?
Pertanyaan tersebut seringkali muncul dalam sebuah kehidupan perkawinan, tidak memandang usia perkawinan itu baru atau pun lama. Kenapa hal itu bisa terjadi sedangkan masa pacaran seakan dilewati tanpa masalah berarti dan penuh bunga-bungan cinta yang ranum?
Penyatuan Dua Pribadi
Menikah dapat diartikan secara sederhana sebagai penyatuan dua pribadi yang berbeda, baik jenis kelamin, keluarga, kultur, tardisi dan kebiasaan. Konsekuensinya, akan banyak terdapat perbedaan yang muncul. Mengapa saat pacaran hal itu tidak jadi soal? Padahal pacaran pada intinya adalah mekanisme untuk mempelajari dan menganalisis kepribadian pasangan serta saling menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut. Dalam pacaran, akan dilihat, apakah perbedaan tersebut masih dapat ditoliler atau tidak. Namun masalahnya, selama masa pacaran orang sering mengabaikan realita sehingga kurang peka terhadap permasalahan atau perbedaan yang ada – bahkan seringkali mereka memasang harapan bahwa selama semua itu “akan berubah” setelah menikah. Yang sering terjadi justru banyak pasangan yang kecewa karena harapan mereka tidak terwujud dan tidak ada perubahan yang terjadi, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.
Satu hal yang sering kurang disadari oleh orang yang menikah adalah bahwa bersatunya dua pribadi bukanlah persoalan yang sederhana. Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dan punya latar belakang yang seringkali jauh berbeda, entah itu latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal atau pun pengalaman pribadinya selama ini.
Pengaruh Keluarga Asal
Para ahli psikologi mengatakan bahwa pola asuh orangtua atau pun kualitas hubungan yang terjalin antara orangtua dengan anak, merupakan faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi pola interaksi/komunikasi antara suami-istri dan dengan anak, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi orang tersebut terhadap perannya sendiri. Intinya, hubungan orangtua-anak ikut mempengaruhi dalam mengarungi kehidupan perkawinan di masa mendatang.
1. Hubungan orangtua-anak
Menurut penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orangtua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orangtua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Jika hubungan dengan orangtuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memori dan terbawa pada kehidupan perkawinannya sendiri.
Orang yang demikian, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan perkawinannya sendiri. Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orangtua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stress (yang berkepanjangan, baik ringan maupun berat). Berarti, ada the unfinished dari masa lalu yang terbawa hingga kehidupan berikutnya, termasuk kehidupan perkawinan. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna perkawinan itu sendiri.
2. Sikap penolakan orangtua
Kurangnya perhatian orangtua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orangtua – namun seringkali orangtua tetap tidak memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin relasi dengan orang lain. Pada saat menikah, bisa jadi seorang istri menikahi suaminya karena merindukan figur ayah yang melindungi dan mencurahkan perhatian dan kasih sayang – seperti yang tidak pernah didapatnya dahulu. Atau, bisa jadi seorang pria mencari wanita yang dapat menjadi substitusi dari ibunya dahulu, yang demikian ia dambakan cinta dan perhatiannya.
Masalahnya, anak yang tumbuh dengan kondisi deprivasi emosional (kurang terpenuhinya kebutuhan emosional), di masa dewasanya, cenderung mentransferkan kebutuhan akan perhatian, cinta, penghargaan, penerimaan dan rasa aman kepada pasangannya. Mereka menuntut pasangannya untuk men-supply kebutuhan emosional mereka yang tidak terpenuhi waktu kecil. Biasanya, orang yang demikian menjadi sangat demanding, terlalu tergantung pada pasangannya, tidak mandiri, cari perhatian dan sangat manja.
3. Identifikasi figur orangtua
Seringkali tanpa sadar seseorang mencari pasangan yang seperti ibunya atau ayahnya. Mereka mengharapkan agar pasangannya memperlakukan dia seperti perlakuan ayah dan ibu terhadapnya. Harapan tersebut pada dasarnya tidaklah realistis dan sering mendatangkan persoalan yang besar. Ucapan “saya bukanlah ayahmu/ibumu, jadi berhentilah berharap saya akan menjadi seperti dia!”. Pernyataan ini merupakan cermin adanya tuntutan dan keinginan seseorang untuk menjadikan pasangannya seperti ayah/ibunya.
4. Ketergantungan yang berlebihan
Kelekatan yang berlebihan dan tidak sehat terhadap salah satu orangtua (biasanya terhadap orangtua lawan jenis) di masa anak-anak, jika tidak berubah/mengalami perkembangan – dan jika setelah menikah masih tetap lengket dengan orangtuanya – maka hal ini akan menimbulkan persoalan besar dengan pasangan. Pasangan akan merasa diabaikan dan disingkirkan, sehingga timbul perasaan marah, kesal, iri, cemburu serta emosi negatif lainnya. Ketergantungan tersebut sering membuat pasangan jengkel karena hal-hal kecil sekali pun ditanyakan kepada orangtua dan tergantung pada respon atau pilihan orangtua. Tentu saja pasangan merasa tidak dihargai karena selalu berada di bawah bayang-bayang mertaunya. Pasangan merasa posisinya hanya sebagai pelengkap yang tidak signifikan dalam menentukan arah kehidupan keluarga.
Pada beberapa kasus, ketergantungan tersebut bersifat dua arah. Artinya, anak menjadi sumber sense of self dari orangtua (karena keberadaan anak membuat dirinya merasa berguna, dibutuhkan, berarti), sehingga orangtua ingin terus berperan sebagi orangtua yang menentukan kehidupan sang anak meskipun sang anak telah dewasa dan berkeluarga. Bisa jadi, orangtua itu pun sejak anaknya masih kecil, menanamkan pengertian dan sikap-sikap yang menstimulasi ketergantungan anak terhadap orangtua. Salah satunya, orangtua yang over-protective dan terlalu dominan, malah menimbulkan rasa kurang percaya diri dan kemandirian pada anak. Anak akan memandang bahwa dirinya tidak dapat berbuat apa-apa tanpa orangtua, dan anak bukan siapa-siapa tanpa orangtuanya.
Kenali Diri Sendiri
Melihat hal-hal di atas, maka amatlah disarankan bagi mereka yang akan menikah, untuk benar-benar mempelajari dinamika yang terjadi pada diri sendiri, kepribadian diri, sifat, karakter, kecenderungan positif maupun negatif, motivasi dalam mencari suami/istri, prioritas dan kebutuhan dalam hidup. Pelajarilah hubungan antara diri sendiri dengan orangtua, dan temukan – manakah dari hubungan dengan orangtua yang tidak ingin diulang/terulang dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang. Pelajari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang tanpa sadar dilakukan orangtua di masa yang lalu, baik dalam memelihara kehidupan perkawinan, maupun dalam mengasuh dan membesarkan anak.
Seringkali orang baru menyadari setelah bertahun-tahun, bahwa ternyata kehidupan perkawianannya hampir sama dengan kehidupan perkawinan orangtuanya. Dan, pasangan yang dipilih, mempunyai kesamaan karakteristiknya dengan salah satu figur orangtuanya. Jika hal ini berakibat positif – tentunya tidak menjadi masalah. Namun, yang lebih sering terjadi justru yang sebaliknya. Oleh sebab itu, orang merasa hidup dalam “kesusahan dan penderitaan” yang tiada akhir; padahal, semua itu dimulai oleh dirinya serta berdasarkan pilihan dan tindakan dirinya sendiri.
Bagi Anda yang akan maupun sudah menikah: mempelajari dan meneliti diri sendiri, memang lebih sulit dari meneliti orang lain. Namun, jika sudah mampu melihat kenyataan diri, maka orang akan lebih mampu bersikap bijaksana terhadap orang lain, termasuk pada pasangan. Ia akan melihat, mengapa dan bagaimana keadaan internal dalam dirinya bisa berpengaruh terhadap pasangan dan terhadap hubungan antara keduanya. Jadi, jika terjadi masalah, tidak langsung menyalahkan pasangan, melainkan introspeksi ke dalam dulu. Jika seseorang merasa pasangannya kurang memperhatikan, cobalah telaah, apakah keadaan itu riil ataukah cermin dari adanya kebutuhan dan kehausan akan perhatian? Apakah ada bentuk ketergantungan yang bersifat kekanak-kanakkan, yang diharapkan dapat dipenuhi oleh pasangan? Apakah tuntutan yang ada realistis, atau karena merasa ketakutan dan tidak aman terhadap hubungan itu sendiri (takut pasangan tidak setia, takut ditinggalkan, takut diabaikan, takut tidak diperhatikan).
Melalui mekanisme tersebut, maka, insya-Allah, sebuah perkawinan dapat bertumbuh dengan lebih sehat karena kedua belah pihak, mau melepaskan diri dari masa lalu dan belajar dari kesalahan untuk membangun kehidupan dan keluarga yang mandiri di masa sekarang ini.
Sebagai penutup, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya, seperti yang dikemukakan Janet Askham, peneliti dari University of Aberden dalam bukunya Identity and Stability and Marriage yang diterbitkan oleh Cambridge University Press, sebagaimana dikutif oleh Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya Saatnya untuk Menikah bahwa: “Lamanya hubungan pranikah (pacaran) serta tingkat intensitas hubungan pranikah, tidak memberi sumbangan positif setelah mereka bersepakat untuk menikah. Persepsi yang timbul selama berlangsungnya hubungan pranikah cenderung persisten (menetap dan tidak bisa diubah-ubah), padahal persepsi yang persisten akan menjadi penghalang bagi proses untuk sering melakukan perubahan setelah menikah – sesuatu yang sebenarnya sangat penting dalam menuju pernikahan yang sehat.”
Atau seperti dikatakan Ustadz Didik Purwodarsono yang juga dikutif Mohammad Fauzil Adhim bahwa: “Cara untuk belajar menjadi istri yang terbaik, hanyalah melalui suami. Cara untuk menjadi suami terbaik, hanyalah melalui istri. Tidak bisa melalui pacaran. Pacaran hanya mengajarkan bagaimana caranya menjadi pacar terbaik, bukan suami atau istri terbaik.”
Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-agama-an (baca: ke-Islam-an) dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik!
Walhasil: Adakah pacaran secara islami? Terus terang saya belum tahu, dan sampai saat ini saya juga terus mencarinya. Tapi ada baiknya bagi Anda yang mau berpacaran secara islami mempraktikkan teori berikut: “Nikahilah terlebih dahulu wanita yang Anda cintai baru kemudian pacarilah dia!!!”
Yee…