Konawe-Sultra | Detikkasus.com – Berdasarkan hasil penelusuran Detikkasus.com selama kurang lebih sebulan (Medio Juni-Awal Juli 2020) di Kab. Konawe, telah ditemukan adanya perlakuan seorang oknum pegawai honorer yang mengabdi pada Kantor DPMD Kab. Konawe yang berinisial (JN) yang sangat memprihatinkan.
Betapa tidak, oknum tersebut diduga telah menerima semacam setoran atau pungutan dari para kepala desa se Kabupaten Konawe dengan alasan yang tidak jelas soal penggunaannya dan tentu saja pungutan ini tidak mempunyai payung hukum dalam pelaksanaannya sehingga dapat dikategorikan pungutan liar alias pungli.
Menurut keterangan beberapa sumber (para kades) yang sempat di wawancarai media ini menyebutkan, setoran tersebut diserahkan pada setiap pencairan Tahap I setiap tahunnya dengan besaran sekitar Rp 1.200.000,- per kepala desa dengan alasan sebagai bentuk rasa terima kasih kepada oknum tersebut yang telah menginput laporan mereka agar dipermudah dalam pengurusannya untuk pencairan tahap berikutnya.
Masih menurut sumber, ada kalanya setoran itu dikumpulkan melalui Ketua Apdesi Kecamatan di masing-masing kecamatan tapi ada juga kepala desa yang langsung menyerahkannya kepada oknum tersebut.
“Itu (setoran/pungli-red) ada yang diserahkan lewat Ketua Apdesi untuk dikumpul lalu diserahkan sekaligus kepada JN tapi ada juga yang menyerahkannya langsung. Saya sendiri menyerahkan dana tersebut melalui bendahara desa saya sebesar Rp 1.200.000,- untuk Tahun Anggaran 2020 ini,” jelas sumber yang minta agar namanya tidak dipublikasikan.
Dampak yang akan dialami para kades yang tidak menyetor adalah mereka akan kesulitan menemui pejabat yang akan memeriksa laporan mereka pada dinas-dinas terkait di kantornya masing-masing yang pada akhirnya mengakibatkan para kades akan bolak balik dari desanya menuju Unaaha sampai 3 atau 4 kali bahkan lebih. Unaaha ini merupakan Ibu Kota Kab. Konawe sekaligus sebagai pusat perkantoran. Bila para kades harus berulang-ulang membenahi laporan mereka tentu saja akan menimbulkan biaya ekstra, padahal seperti yang kita ketahui, tidak satupun regulasi yang mengatur tentang adanya biaya operasional bagi kepala desa lewat DD walau sekecil apapun. Dampak lainnya adalah terjadinya keterlambatan pencairan dana pada tahap berikutnya sehingga pada akhirnya masyarakat desa juga yang akan terkena imbasnya karena terlambatnya pelaksanaan kegiatan yang sudah dituangkan dalam RKA maupun APBDes.
“Tapi kami ceritakan hal ini kepada media bukan karena kami menolak (menyetor-red), kami senang saja sudah dibantu oleh para staff di DPMD, namanya juga saling membutuhkan, dari pada bolak balik, mana lama, mana banyak lagi biaya yang kita keluarkan apa lagi bagi teman-teman kepala desa yang berdomisili di Kec. Routa sudah pasti nginap di hotel kalau tidak ada keluarganya di Unaaha,” ujar sumber.
Untuk diketahui, Kec. Routa yang dihuni oleh 7 desa itu adalah kecamatan terjauh yang berada di Kab. Konawe. Apa bila warganya atau para kadesnya menuju Unaaha, mereka harus memutar melewati Danau Towuti yang berada di Kec. Towuti, Kab. Luwuk Timur, Prov. Sulawesi Selatan dan harus melewati tiga kabupaten terlebih dahulu, yaitu Kab. Kolaka Utara, Kab. Kolaka dan Kab. Kolaka Timur. Kalau pun memilih jalan yang agak dekat, tetap saja harus melewati satu kabupaten lagi, yaitu Kab. Konawe Utara dengan resiko melewati jalan yang rusak parah dan ekstrem.
Untuk diketahui, jumlah desa di Kab. Konawe adalah 291 desa. Bila diakumulasi secara keseluruhan kepala desa yang akan menyetor ke oknum tersebut, maka jumlah total dana yang akan terkumpul adalah sekitar Rp 349.200.000,- , sebuah angka yang tidak sedikit.
Saat dikonfirmasi di ruang kerjanya pada Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa di Kantor Dinas PMD Kab. Konawe, Senin (13/07/2020) yang bersangkutan menyangkali tudingan tersebut.
“Tidak benar itu (pungli-red) pak, kepala desa tidak pernah memberikan uang kepada saya dan saya pun tidak pernah meminta uang kepada mereka,” kilah JN singkat.
Di tempat terpisah, saat dikonfirmasi via whatsapp, Kepala DPMD Kab. Konawe, Keni Yuga Permana, S.STP., M.Si juga membantah tudingan tersebut.
“Selama bertugas di sini sudah sekitar satu tahun, kami tidak pernah mempersulit atau tidak mau menemui para kades apa lagi memperlakukan syarat seperti itu (memungut biaya-red). Staf saya selalu stand by sampai di luar jam kerja,” katanya.
“Sudah saya panggil yang bersangkutan, bagaimanapun dia adalah bawahan saya, tapi dia tidak mengakui adanya pungutan tersebut,” jelas Keni.
“Sepertinya berita bapak terkesan menyudutkan Dinas PMD, terkesan kami tidak melaksanakan pelayanan yang baik dan terkesan menyandera kepala desa,” protes Keni kepada Detikkasus.com.
Tapi menurut para kades yang sudah agak senior dengan masa jabatan di atas tiga tahun, budaya pungli ini sudah terjadi sejak lama, dari tahun ke tahun sejak dikucurkannya dana desa Tahun 2015, sejak sebelum Keni menjabat sebagai Kadis PMD tentu saja dengan jumlah yang semakin tahun semakin meningkat.
Jika saja praktek pungli ini tetap dilakukan, maka dari sinilah cikal bakal terjadinya korupsi di tingkat kepala desa, karena DD mereka sudah bocor sejak dari hulu, salah satunya terjadi di Kantor DPMD Kab. Konawe.
Satu hal lagi yang kemudian menimbulkan pertanyaan bagi publik adalah kenapa ada seorang oknum yang ‘hanya’ (maaf) pegawai honorer tapi bisa diberikan kepercayaan untuk menerima setoran tersebut tanpa diketahui atasannya, dalam hal ini Kadis DPMD.
Sangat dibutuhkan kesigapan aparat penegak hukum untuk menindak lanjuti kasus ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden RI No 87 Tahun 2016 tentang Satgas Saber Pungli, pasal 3 huruf (a) intelijen, huruf (b) pencegahan, (c) penindakan dan huruf (d) yustisi, agar praktek-praktek pungli seperti ini tidak terjadi lagi dikemudian hari sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan tentu saja bagi oknum pegawai yang lain dengan niat ingin melakukan hal yang sama.
Laporan: Arifin, SE