Detikkasus.com | JAKARTA-, Ketua DPP Gerindra Habiburokhman menilai kampanye ‘mudik lancar’ hanyalah sebuah propaganda yang dilancarkan pemerintah. Sebab, menurutnya, mudik tahun ini masih tetap macet dan bahkan bisa disebut sebagai neraka.
Menanggapi hal itu, Keluhan Habiburokhman itu dijawab langsung Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Ia mengaku tidak menerima laporan keterlambatan kapal yang bertolak dari Merak ke Bakauheni, Lampung.
“Jadi kalau (Pelabuhan) Merak, sampai saat ini tidak ada laporan satu pun berkaitan dengan keterlambatan. Jadi kalau mereka terlambat biasanya mereka tidak membeli secara online,” kata Budi Karya di sela-sela peninjauan arus balik di Jalan Tol Cipali, Senin, 18 Juni 2018.
“Dia datang di tempat itu, ya tentunya dia datang untuk menanti karcis, maka butuh waktu. Jadi sejauh ini tidak ada satu pun bahkan laporan dari Dirut kepada saya. Namun demikian, saya akan cek apa yang terjadi,” ucapnya.
Sampai Budi rencananya akan berkunjung ke Pelabuhan Merak untuk meninjau arus balik besok. Namun dia mendapat laporan bahwa arus balik di sana lancar-lancar saja.
Beragam tanggapan bermunculan, salah satunya dari Pengamat Muda D.Manurung. Menurutnya pernyataan Habiburokhman terhadap pemerintah sangat berlebihan, kita sadari bahwa dia (Habiburokhman) seperti pernyataan yang dimuat oleh media online itu memposisikan dirinya tidak mendukung apa yang telah dilakukan Pemerintah dengan benar, khusunya Polri dan instansi lainnya. Karena itu, Manurung menganggap pernyataan Habiburokhman itu tendensius dan tak berdasar, ujarnya kepada media ini, Selasa Malam (19/06/2018)
Manurung mengatakan, banyak sekali ditemukan kasus di berbagai Pengadilan seseorang dihukum hanya karena orang tersebut menghina orang lain maupun memfitnah orang lain baik secara lisan maupun tulisan-pasal 310 kuhp, “Habiburokhaman salah ya laporkan saja jika dia terbukti fitnah dan Provokatif, imbuh Manurung.
Apalagi dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang pesat termasuk perkembangan informasi, dan media sosial baik itu Facebook, Twitter,Path, Line, Whatsapp dan masih banyak lagi lainnya, sebut Manurung.
Salah satunya yang paling aktual/ awam adalah media untuk menghina, memfitnah, memposting sesuatu yang memuat penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik atau menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Sebagaimana halnya ketentuan dalam Pasal 310 KUHP, defamation dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Juga dirumuskan jika penghinaan berkenaan dengan kepentingan umum (public concern) maka Penggugat harus membuktikan baik ketidakbenaran pernyataan tersebut maupun kesalahan tergugat.
Sistem Hukum di Indonesia
Kejahatan penghinaan, Objek penghinaan umum adalah berupa rasa harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama baik orang pribadi (bersifat pribadi).
Sebaliknya penghinaan khusus, objek penghinaan adalah rasa/perasaan harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan nama baik yang bersifat komunal atau kelompok.
Ada tujuh macam Penghinaan yang masuk didalam kelompok Penghinaan Umum, Namun disini Penulis hanya membahas mengenai Penghinaan Umum yang dikualifisir dalam Pasal 310 ayat 1 KUHP, Pasal 310 ayat 2 (KUHP) serta Pasal 311 KUHP tentang Fitnah;
A. Pasal 310 ayat (1) KUHP menyatakan:“Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu perbuatan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-”.
Perbuatan menyerang (aanranden), tidaklah bersifat fisik, karena terhadap apa yang diserang (objeknya) memang bukan fisik tapi perasaan mengenai kehormatan dan perasaan mengenai nama baik orang.
Objek yang diserang adalah rasa/perasaan harga diri mengenai kehormatan (eer), dan rasa/perasaan harga diri mengenai nama baik (goedennaam) orang. Rasa harga diri adalah intinya objek dari setiap penghinaan, yang menurut Wirjono Projodikoro adalah menjadikan ukuran dari penghinaan.
Rasa harga diri dalam penghinaan adalah rasa harga diri dibidang kehormatan, dan rasa harga diri di bidang nama baik.
Jadi yang dituduhkan si pembuat haruslah merupakan perbuatan tertentu, dan bukan hal lain misalnya menyebut seseorang dengan kata-kata yang tidak sopan, seperti bodoh, malas, anjing kurapan dan lain sebagainya (karena ini bentuk kata sifat bukan perbuatan) dan penghinaan itu supaya diketahui oleh umum artinya ada orang yang mengetahui perbuatan tersebut dilakukan misalnya si A menghina si B didepan si C atau si D
B. Pasal 310 ayat (2) KUHP menyatakan:“Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel secara terbuka, diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
Unsur-unsur di atas yang secara kumulatif mengandung sifat yang memberatkan pidana si pembuat. Sifat pencemaran melalui benda tulisan dinilai oleh pembentuk undang-undang sebagai faktor memperberat.
Karena dari benda tulisan, isi perbuatan yang dituduhkan yang sifatnya mencemarkan, dapat meluas sedemikian rupa dan dalam jangka waktu yang lama (selama tulisan itu ada dan tidak dimusnahkan).
Keberatan dengan Tulisan Opini di Media, Bisakah Menuntut?
Dasar hukum lain yang Anda sebutkan adalah UU Pers. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, demikian yang disebutkan dalam konsiderans UU Pers. Dilihat dari segi hak berpendapat, berdasarkan Pasal 6 huruf c UU Pers, salah satu peranan pers nasional adalah mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Namun, secara keseluruhan mengenai hak dan kebebasan tadi, hal yang penting digarisbawahi adalah setiap orang memang memiliki hak dan kebebasan berpendapat, namun, dalam menjalankan hak dan kebebasannya itu, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain juga serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, demikian antara lain yang ditegaskan dalam Pasal 28J UUD 1945.
Dengan kata lain, jika dikaitkan dengan konteks pertanyaan Anda, memang setiap orang bebas beropini dalam surat kabar, namun penyampaian opininya itu tidak terlepas dari undang-undang yang membatasinya, seperti apakah dia melanggar suatu moral, nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum. Menjawab pertanyaan Anda yang pertama sekaligus kedua mengenai kapan suatu opini itu digolongkan sebagai tindak pidana, hal itu bergantung apakah opini tersebut memang melanggar nilai-nilai yang kami sebutkan di atas.
Lalu undang-undang apa yang dimaksud? Bisa atau tidaknya seseorang dipidana karena pendapatnya di sebuah tulisan itu bergantung dari terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur tindak pidana dalam perbuatan mengemukakan pendapatnya dalam bentuk tulisan tersebut. Hal yang perlu dicermati adalah apakah konten dalam tulisan itu mengandung unsur suatu tindak pidana atau tidak, misalnya pencemaran nama baik (diatur dalam KUHP atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik); menyinggung suatu Suku, Agama, dan Ras (SARA) tertentu (diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis); pelanggaran kesusilaan, dan sebagainya. Jadi, ia bisa saja dipidana apabila memang opini atau pendapatnya itu mengandung unsur-unsur pidana sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Sebagai contoh kasus mengenai tulisan mengandung unsur pidana pencemaran nama baik dapat kita lihat dalam artikel Konten Tulisan “Obor Rakyat” Dibahas Ahli. tersangka kasus Tabloid “Obor Rakyat” Darmawan Septiyossa diduga menyebarkan isu menyinggung persoalan suku, agama dan ras calon presiden (yang kini sebagai presiden terpilih) Joko Widodo. Di samping itu, masih kasus yang sama namun diberitakan di artikel lain Kasus Obor Rakyat, AJI Jakarta Sesalkan Penggunaan UU Pers, antara lain dikatakan bahwa beberapa pihak menyatakan pengusutan kasus Obor Rakyat dapat dilakukan melalui Pasal 310 KUHP mengenai fitnah.
(Prmn/EXN)