Penulis : Jaduk Dananjaya
Pekerjaan : Mahasiswa S1 Pendidikan Luar Sekolah.
Detikkasus.com | Jawa Timur -, Wortel merupakan produk pertanian yang bernilai ekonomis penting di dunia yaitu dimana menjadi mata dagang komoditas antarnegara. Permintaan pasar dunia diperkirakan akan meningkat sejalan dengan perumbuhan jumlah penduduk, semakin baiknya pendapatan masyarakat dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan nilai gizi.
Berdasarkan data Pusdatin dan Badan Pusat Statistik (2008), menunjukkan bahwa ekspor wortel meningkat dari tahun 2005 ke tahun 2006 yaitu dari 214.883 kg menjadi 439.505 kg. hal ini membuat nilai ekspor komoditi ini meningkat pesat dari 41.490 US$ menjadi 145.775 US$. Begitu pula untuk impor, terjadi peningkatan impor wortel dari tahun 2005 sebesar 7.030.288 kg menjadi 8.139.515 kg pada tahun 2006, sehingga terjadi peningkatan nilai impor komoditi wortel dari 3.042.549 US$ menjadi 3.617.071 US$. Dari kenyataan tersebut, menjadi peluang dan tantangan yang harus kita hadapi untuk mengembangkan komoditas sayuran wortel.
Wortel merupakan salah satu komoditi sayuran di Indonesia yang produksi dan produktivitasnya masih fluktuatif. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2018), Produksi sayuran dan buah-buahan semusim di Jawa Timur tahun 2008 sampai dengan tahun 2017 dalam ton menunjukkan, kondisi terendah terjadi pada tahun 2008 dengan produksi sebesar 703 ton, sedangkan untuk kondisi tertinggi terjadi pada tahun 2017 yakni dengan produksi sebesar 61.243 ton. Data tersebut menunjukkan bahwa produksi tanaman wortel meningkat sangat drastis. Wortel yang merupakan tanaman semusim dan dibudidayakan pada dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 800 mdpl. Daerah yang memiliki potensi untuk menghasilkan wortel adalah Kota Batu dimana wilayahnya berada di ketinggian 700 mdpl sampai dengan 2.000 mdpl. Salah satu wilayah unggulan Kota Batu sebagai wilayah yang menjadi sentra produksi holtikultura seperti sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias yaitu Kecamatan Bumiaji. Kecamatan Bumiaji memiliki luas penggunaan lahan terbesar dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kota Batu dengan jumlah 12.797,89 Ha dari total 19.908,72 Ha. (Badan Pusat Statistik, 2018).
Mata pencaharian utama dari masyarakat Dusun Kekep, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji mayoritas adalah petani yang membudidayakan wortel sebagai produk unggulannya dengan didukung oleh lahan dan iklim yang sesuai. Hasil panen wortel yang dihasilkan sangat melimpah, namun keberadaan konsumen yang tidak hanya berada dalam sentra produksi wortel ini mengakibatkan terjadinya jarak antara petani produsen dengan konsumen, sehingga membutuhkan peran lembaga pemasaran dalam memasarkan produk agar hasil panen ini wortel dapat sampai ke tangan konsumen dengan tepat waktu dan petani mendapat penerimaan (income) yang sesuai. Peranan pemasaran pada komoditas sayuran wortel memberikan kontribusi penting dalam peningkatan kinerja usaha tani komoditas sayuran wortel, akan tetapi titik lemah dalam pengembangan hasil pertanian termasuk holtikultura salah satunya adalah pemasaran. (Cahyono, 2013)
Potensi pengembangan pertanian komoditi wortel di Dusun Kekep cukup besar, namun belum seluruh areal potensial dimanfaatkan. Ada banyak pedagang, lembaga pemasaran maupun pemerintah, dengan kepentingan masing-masing ikut dalam pemasaran komoditi wortel, sementara kualitas dari wortel sendiri belum memiliki standar yang jelas. Hal ini akan mempengaruhi proses pemasarannya karena mekanisme pembentukan harga wortel di pasar akan berdampak langsung pada perilaku partisipan yang terlibat dalam perdagangan komoditas ini. Pedagang lokal, pedagang pengumpul, dan petani sendiri, adalah pihak yang akan terkena dampak harga. Seberapa besar dampak yang dihadapi oleh lembaga pemasaran sangat tergantung pada kekuatan masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai pemasaran komoditi iu sendiri. (Yantu, 2011). Keadaan yang seperti itu berpotensi menimbulkan masalah dan dapat merugikan petani sebagai produsen. Pola pemasaran yang terjadi cenderung tidak efisien karena melibatkan banyak pelaku pemasaran sedangkan kepentingan yang berbeda-beda pula.
Tengkulak termasuk salah satu pelaku yang memegang kendali terhadap komoditas wortel dikarenakan perannya sebagai penghubung antara petani dengan konsumen.
Beberapa tengkulak menggunakan kekuatan kendali ini untuk menekan petani agar menjual hasil panennya dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran. Beberapa permainan politik dilakukan oleh para tengkulak sehingga petani wortel rendah dalam nilai tawarnya. Para petani lebih memilih untuk menjual hasil panennya untuk segera mendapatkan uang daripada hasil panennya layu dan tidak laku dijual. Tingginya biaya untuk memanen dan proses pengangkutan juga mendesak petani untuk memilih menjual hasil pertaniannya melalui tengkulak. Walaupun begitu, ada beberapa pola interaksi sosial akomodasi yang digunakan beberapa tengkulak. Pola ini didasarkan pada kedekatan emosional saling menguntungkan satu sama lainnya. antara tengkulak dan petani sama-sama menjaga keharmonisan dalam hubungan sosial yang mereka bangun. (Yanuarko, 2009).
Demikian itu merupakan pola tradisional petani wortel Kota Batu yang masih berlangsung hingga saat ini.
Musim panen harusnya menjadi kabar bebungah bagi para petani Dusun Kekep, akan tetapi kebalikannya, hal ini menjadi momok. Kepasrahan akan rutinitas yang menjadikan penat dengan hasil yang tidak seberapa.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang memperoleh margin minus. Anehnya, seluruh harga berada di angka yang melambung. Hampir tidak ada solusi. Hampir semua komoditi sayur maupun buah memiliki keluhan yang sama. Para petani berpikir untuk tidak perlu lagi melakukan kegiatan ini, toh, hanya kepayahan yang didapatkan.
Akan tetapi, hidup terus berjalan, anak-anak membutuhkan biaya agar dapat tetap menimba ilmu, sapi-sapi perlu vitamin supaya gembil dan montok, terlebih lagi, mereka mendongengkan kisah nenek moyang mereka yang juga seorang petani. Sorot kebangggan terpancar pada mata-mata mereka.
Apakah tidak ada sistem yang memperingan ongkos mereka bercocok tanam? Tentu haruslah ada. Beberapa kali janji-janji dikobarkan dari pemerintah akan tetapi sampai sekarangpun petani belum melihat adanya realisasi dari janji tersebut. Dari bibit hingga obat-obatan untuk nutrisi produk pertanian, para petani menggunakan biaya mandiri. Lucunya, harga komoditi hasil dari pertanian pemerintah turut andil dalam pembentukannya.
Hal ini tentunya bukan lagi bisnis yang dapat dibilang etis. Tokoh utama dalam proses pertanian malah menjadi bulan-bulanan bagi beberapa pihak. Teori kewajiban atau deontologisme (Imanuel Khant) yang menerangkan bahwa paling tidak ada tiga kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan apa yang wajib baginya. Dalam kasus ini beberapa pihak tidak bisa menerapkan kewajibannya sebagai pelaku pemasaran. Ada salah satu pihak yang harusnya menjadi paling dominan malah ditindas oleh pihak-pihak yang lain. Petani menjadi satu-satunya pihak yang dirugikan dalam praktek oemasaran komoditi wortel di Dusun Kekep.
Untuk selanjutnya, saya berharap pemerintah segera memberikan regulasi yang jelas serta beberapa bantuan untuk memudahkan dan meringankan biaya dari para petani Dusun Kekep atau bahkan untuk seluruh petani di seluruh wilayah nusantara.