Detikkasus.com | Indonesia, banyak sekali masalah yang tengah melingkupi dunia pendidikan, khususnya di negara Indonesia. Salah satu kasus yang cukup marak akhir-akhir ini adalah kekerasan atau agresivitas baik oleh guru terhadap siswa, maupun antar sesama siswa sendiri. Kekerasan yang ditemui tersebut tak hanya secara fisik namun juga secara psikologis. Kekerasan seperti ini (kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang merasa diri lebih berkuasa atas pihak yang dianggap lebih lemah) disebut dengan bullying. Sulivan, Cleary (2005) menyatakan bahwa perilaku bullying adalah tindakan negatif yang bersifat agresif dan manipulatif dalam serangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu individu atau lebih terhadap individu lain.
Bullying tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi anak – anak pun banyak yang mengalami kekerasan agresif ini, apalagi jika anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun di mana pada masa ini anak dengan cepat mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek. Taman Kanak-kanak (TK) merupakan lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan kepada anak usia dini pada rentang usia 4-6 tahun yang bertujuan untuk membantu mengembangkan berbagai potensi yang ada dalam diri anak. Tetapi dalam kenyataannya, anak sering melakukan hal – hal yang menyimpang dari tugasnya dalam mengembangkan potensi. Salah satu hal yang menyimpang yang sering dilakukan yaitu bullying.
Hasil survei yang dilakukan oleh yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) dalam workshopanti bullying yang dihadiri oleh kurang lebih 250 peserta menemukan 94,9% peserta menyatakan bullying memang terjadi di Indonesia (Yayasan SEJIWA, 2008). Di Indonesia timur, khususnya Maluku Utara kekerasan di sekolah juga tinggi. Erick Van Diesel dari NCPAStC United Kingdom memaparkan dari 800 orang anak, 70% mengalami kekerasan fisik. (Ayuningtyas, 2006). Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya bullying. Seseorang dapat menjadi pelaku bullying karena keluraga, kejadian di dalam kehidupan, perbadaan dengan sesamanya, pengaruh peer group, iklim sosial di sekolah, karakteristik personal, maupun kombinasi antara faktor-faktor tersebut.
Bullying dapat menimbulkan efek yang serius/ negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan anak (CDC, 2014; Tsitsika et al, 2014). Dampak negatif dari bullying pada anak yang menjadi pelaku atau korban terdiri atas depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat, fungsi sosial rendah, rendahnya prestasi akademik dan kurang perhatian. Orang yang sering melakukan bullying dan menjadi korban mempunyai risiko untuk bunuh diri (CDC, 2014).
Dalam perkembangan sosial, lingkungan kelas dan hubungan pertemanan mempengaruhi prestasi seseorang ( Gest, Domitrovich ). Sesuai dengan kasus observasi, anak semakin sering dibully akan menurunkan prestasi, karena hubungan pertemanan interpersonal tidak erat. Anak – anak yang tergolong dalam kelompok beresiko, atau anak yang memiliki masalah emosional dan kurangnya kelekatan di sekolah, harus diberi dukungan yang lebih. Dukungan tersebut bisa dilakukan dengan menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, memodifikasi kurikulum sesuai dengan kebutuhan siswa, dan memenuhi fasilitas kelas dengan fasilitas yang memadai. Anak akan lebih bersemangat dalam melakukan hal – hal positif dengan dukungan – dukungan tersebut.
Peran guru dalam mengawasi proses pembelajaran di dalam kelas sangat penting untuk mengurangari frekuensi perilaku bullying. Guru dapat memberikan motivasi peserta didik nya melalui berbagai aktivitas belajar. Berbagai cara ditanamkan seperti kebiasaan anak untuk bekerjasama agar anak tersebut dapat hidup bersosial sebagai anggota masyarakat. Cara-cara yang dicari diusahakan menarik agar menyenangkan bagi anak dalam melakukannya. Cara yang menyenangkan merupakan cara yang dapat membuat anak aktif berpartisipasi dalam berbagai kesempatan aktivitas.
Pengaturan lingkungan kelas ini, jika diperhatikan akan mampu mendukung terciptanya iklim pembelajaran yang kondusif dan berkualitas. Haryanto (2001) menyatakan bahwa pengaturan ruang secara tepat dapat menciptakan suasana yang wajar, tanpa tekanan, dan menggairahkan siswa untuk belajar secara efektif. Suasana belajar yang aktif (mampu mengaktifkan siswa) dapat juga dilakukan dengan pengaturan ruang belajar dan perabot sekolah. Pengaturan itu hendaknya memungkinkan siswa duduk berkelompok dan memudahkan guru secara leluasa membimbing dan membantu siswa dalam belajar. Dengan terciptanya gairah siswa dalam belajar, tentunya akan berpengaruh pada efektifitas belajar siswa dan terciptanya suasana belajar yang wajar tanpa tekanan yang tentunya akan memungkinkan munculnya daya kritis dan kreatifitas siswa.
Dengan adanya artikel ini bisa menjadi bahan renungan untuk orang tua, guru, maupun masyarakat dalam menghargai perbedaan antar sesama agar perilaku bullying atau menyakiti orang lain secara psikologis dapat teratasi.