Mengenal Biografi imam Syai’i

Detikkasus.com | Risalah Islami

Mari Mengenal Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syaafi’ bin As-Saaib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yaziid bin Haasyim bin Al-Muthollib bin ‘Abdi Manaaf

Beliau sudah sangat dikenal di negeri kita.
Namun sedikit yang mengenal beliau lebih dekat.
Beliau juga memiliki banyak murid yang menyebarkan madzhab beliau. Dan murid-murid tersebut ada yang di Iraq yang menukil pendapat qodim (lama) dari beliau, juga ada yang di Mesir yang menukil pendapat jadid (baru).

Sesungguhnya diantara tanda Alloh Tabarokalloh wa Ta’ala menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya adalah Alloh Tabarokalloh wa Ta’ala menjadikannya cinta dengan ilmu. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barang siapa yang Alloh kehendaki kebaikan baginya maka Alloh akan menjadikannya faqih/faham tentang agama”
(HR Al-Bukhari)

Dan diantara keagungan agama ini Alloh Tabarokalloh wa Ta’la telah menjadikan adanya para imam yang memikul ilmu agama, yang menjelaskan kepada umat tentang urusan agama.
Merekalah cahaya yang menerangi jalan menuju kebaikan.
Merekalah yang sangat dibutuhkan oleh orang yang menghadapi kebingungan dalam urusan agama mereka
Merekalah penyejuk hati bagi orang yang menghadapi problematika kehidupan dan berusaha mencari solusi agamis
Merekalah para pejuang yang memerangi jalan-jalan kesesatan yang selalu siap menyimpangkan umat ini
Merekalah yang Alloh Tabarokalloh wa Ta’ala perintahkan umat agar bertanya kepada mereka dalam firman-Nya :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan/ilmu jika kamu tidak mengetahui”
(QS An-Nahl : 43)

Banyak para imam umat ini yang kita banggakan, akan tetapi diantara mereka ada 4 imam yang tersohor, yaitu para pendiri 4 madzhab.
Mereka itu adalah :
– Al-Imam Abu Hanifah
– Al-Imam Malik bin Anas
– Al-Imam Asy-Syaf’i
– Dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahumulloh.

Meskipun ada madzhab-madzhab fikih yang lain akan tetapi keempat madzhab inilah yang diterima secara luas dalam dunia Islam hingga saat ini.
Bahkan sebagian negeri dikenal dengan madzhab tertentu.
Madzhab Syafi’i banyak tersebar di negara-negara Asia tenggara

Madzhab Maliki banyak tersebar di negeri-negeri Afrika

Madzhab Hanafi banyak tersebar di India, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan, dan juga di China

Adapun madzhab Hanbali banyak tersebar di negeri-negeri Arab, khususnya Arab Saudi.

Diantara keempat imam tersebut yang sangat cemerlang adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rohimahulloh
Beliaulah pendiri dan pemrakasa madzhab Syafi’i yang merupakan madzhab yang banyak dianut di bumi pertiwi nusantara ini.

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syaafi’ bin As-Saaib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yaziid bin Haasyim bin Al-Muthollib bin ‘Abdi Manaaf
Sehingga nasab beliau bermuara kepada Abdu Manaaf kakek buyut Nabi shollallohu ‘Alaihi wa sallam.

Al-Muthollib adalah saudaranya Hasyim ayahnya Abdul Muthholib kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan kepada Syafi’ bin As-Saaib penisbatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (lihat Siyar A’laam An-Nubalaa 10/5-6 dan Tobaqoot Asy-Syaafi’iyah Al-Kubro 2/71-72)

Meskipun nenek moyang beliau suku Quraisy di Mekah akan tetapi beliau tidak lahir di Mekah, karena ayah beliau Idris merantau di Palestina. Sehingga beliau dilahirkan di Ghozza (Palestina) dan ada yang mengatakan bahwa beliau lahir di ‘Asqolan pada tahun 150 Hijriah, tahun dimana wafatnya Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsaabit Al-Kuufi rohimahulloh, bahkan ada pendapat yang menyatakan di hari wafatnya Al-Imam Abu Hanifah.

Ayah beliau Idris meninggal dalam keadaan masih muda
Hingga akhirnya Imam Asy-Syafi’i dipelihara oleh ibunya dalam kondisi yatim.
Karena khawatir terhadap anaknya maka sang ibu membawa beliau yang masih berumur 2 tahun ke kampung halaman aslinya yaitu Mekah

Sehingga beliau tumbuh berkembang di Mekah dalam kondisi yatim.
Beliau menghafal Al-Qur’an  tatkala berusia 7 tahun, dan menghafal kitab Al-Muwattho’ karya Imam Malik tatkala umur beliau 10 tahun.
Ini menunjukkan betapa cerdasnya Al-Imam Asy-Syafi’i.

Beliaupun belajar dari para ulama Mekah
Diantaranya Muslim bin Kholid Az-Zanji Al-Makky yang telah memberi ijazah kepada Al-Imam Asy-Syafi’i untuk boleh berfatwa padahal umur beliau masih 15 tahun

Lalu setelah itu beliau bersafar ke Madinah dan berguru bertahun-tahun kepada Al-Imam Malik bin Anas rohimahulloh.

Pada tahun 195 H beliau pergi ke Baghdad, dan beliau mengajar di sana sehingga banyak ulama yang berputar haluan dari madzhab ahli ro’yu menuju madzhab Syafi’i.

Di Baghdad beliau banyak menulis buku-buku lama beliau, setelah itu beliaupun kembali ke Mekah.
Pada tahun 198 beliau kembali lagi ke Baghdad dan menetap di sana selama sebulan lalu beliau pergi ke Mesir dan menetap di sana meneruskan dakwah beliau hingga akhirnya beliau sakit bawasir yang menyebabkan beliau meninggal dunia pada tahu 204 Hijriyah.

Baca Juga:  Tingkatkan Mutu Pelayanan Kasat Binmas Lakukan Anev.

Banyak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Syafi’i.
Berikut adalah diantara keistimewaan beliau :

1. Al-Imam Asy-Syafi’i adalah imam dalam lugoh (bahasa).
Beliau telah banyak tinggal bersama Qobilah Hudzal dan menghafalkan banyak qoshidah (bait-bait sya’ir) mereka
Sehingga hal ini sangat mempengaruhi kekuatan bahasa Arab beliau.
Karenanya tidak pernah ditemukan kesalahan bahasa dari beliau sebagaimana ditemukan dari para ulama yang lain.

Ibnu Hisyaam (penulis siroh Nabi) berkata الشَّافِعِيُّ حُجَّةٌ فِي اللُّغَةِ  “Asy-Syafi’i hujjah dalam bahasa Arab”
(Al-Waafi bil Wafaayaat 19/143).

Adapun kritikan terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i dalam masalah bahasa maka tidak mematahkan keimaman beliau dalam bahasa Arab.
Diantara kritikan tersebut :

Beliau dikritik karena menyatakan bahwa huruf jar baa’ (الباء) memberikan faedah التَّبْعِيْض “sebagian/parsial”.

Karenanya beliau menyatakan bolehnya mengusap sebagian kepala tatkala berwudu karena Alloh berfirman (وَامْسَحُوا بِـرُؤُوْسِكُمْ).
Maka beliaupun diingkari oleh sebagian ulama, mereka menyatakan bahwa huruf baa’ tidak mengandung makna “parsial”, dan ini tidak dikenal dalam bahasa Arab, dan tidak ada ahli bahasa yang menyebutkan bahwa diantara makna-makna yang dikandung huruf baa’ adalah untuk parsial.
Akan tetapi kenyataannya ternyata banyak ahli bahasa yang menetapkan makna ini (huruf baa’ memberi makna faedah parsial)

Diantaranya adalah Al-Ashma’i dan ulama Kufiyiin
(lihat Al-Bahr Al-Muhiith fi Ushuul Al-Fiqh li Az-Zarkasyi 2/15-16).

Ternyata juga setelah diamati ada bukti yang tegas bahwasanya Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa huruf baa’ memberi faedah “parsial”.
Dan penisbatan hal ini kepada Al-Imam Asy-Syafi’i merupakan kekeliruan sebagaimana dijelaskan oleh Az-Zarkasy
(Al-Bahrul Al-Muhiith (2/15). Bahkan jika kita kembali kepada kitab Al-Umm kita akan dapati bahwasanya Asy-Syafi’i berkata :

وَدَلَّتْ السُّنَّةُ على أَنْ ليس على الْمَرْءِ مَسْحُ الرَّأْسِ كُلِّهِ وإذا دَلَّتْ السُّنَّةُ على ذلك فَمَعْنَى الْآيَةِ أَنَّ مَن مَسَحَ شيئا من رَأْسِهِ أَجْزَأَهُ

“Sunnah menunjukkan bahwasanya tidak wajib bagi seseorang untuk mengusap seluruh kepalanya, dan jika sunnah telah menunjukkan demikian maka makna ayat adalah barang siapa yang mengusap sesuatupun dari kepalanya maka sudah cukup/sah
(lihat Al-Umm 1/26)

Yang dimaksud dengan sunnah oleh Al-Imam Asy-Syafi’i di sini adalah hadits tentang Nabi yang berwudu dengan mengusap ubun-ubun beliau saja tatkala beliau memakai sorban.

Beliau dikritik karena menafsirkan kata “الْعَوْلُ” dalam firman Alloh

ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)

“Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
(QS An-Nisaa :3).
Beliau tafsirkan dengan “كَثْرَةُ الْعِيَالِ” (banyaknya anak)

Tafsiran Asy-Syafi’i ini diingkari dengan keras oleh Ibnul ‘Arobi yang bermadzhab Maliki, dan menyatakan bahwa tidak ada ahli bahasa yang berpendapat dengan pendapat Asy-Syafi’i
(lihat Ahkaamul Qur’an li Ibnil ‘Arobi 1/411).

Akan tetapi perkataan Ibnul ‘Arobi ini telah dibantah oleh para ulama.
Makna tersebut ternyata telah disebutkan oleh Al-Kisaai dan Al-Farroo’
(lihat Al-Haawi fi Fiqh Asy-Syaafi’i 11/415 dan Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzab 16/125).

Bahkan Al-Qurthubi yang juga bermadzhab Malikiyah telah membantah perkataan Ibnul ‘Arobi dengan menjelaskan bahwa tafsiran Asy-Syafi’i bukanlah tafsiran yang baru, telah mendahului beliau dua imam besar yaitu Zaid bin Aslam dan Jaabir bin Zaid
(lihat Tafsiir Al-Qurthubi 5/21-22)

2. Sya’ir-sya’ir beliau yang istimewa

Al-Imam Asy-Syafi’i tidak banyak menulis sya’ir-sya’ir, akan tetapi sya’ir-sya’ir beliau sederhana mudah dipahami dan mengandung makna yang sangat dalam.

Meskipun ada sya’ir-sya’ir para ulama bahasa yang lain yang lebih nampak ketinggian bahasanya dalam sya’ir-sya’ir mereka akan tetapi ternyata kesohoran sya’ir-sya’ir Asy-Syafi’i lebih besar karena kandungan makna yang dalam dengan penggunaan kata-kata yang sederhana.

Diantara sya’ir-sya’ir beliau ;

أمَتُّ مَطَامِعي فأرحْتُ نَفْسي ** فإنَّ النَّفسَ ما طَمعَتْ تهونُ

Aku bunuh sifat tamak yang ada pada diriku
Maka akupun menenangkan diriku
Karena jiwa kapan ia tamak maka rendahlah jiwa tersebut

وَأَحْيَيْتُ القُنُوع وَكَانَ مَيْتاً ** ففي إحيائهِ عرضٌ مصونُ

Dan aku hidupkan sifat qona’ah pada diriku yang tadinya telah mati….
Maka dengan mengidupkannya harga dirikupun terjaga…

إذا طمعٌ يحلُ بقلبِ عبدٍ ** عَلَتْهُ مَهَانَةٌ وَعَلاَهُ هُونُ

Jika sifat tamak telah menetap di hati seorang hamba
Maka ia akan didominasi oleh kehinaan dan dikuasai kerendahan

Beliau berkata :

نَعِيبُ زمانَنا والعيبُ فِيْنا *** وَما لِزَمانِنا عَيْبٌ سِوانا

“Kita mencela zaman kita, padahal celaan itu ada pada diri kita sendiri…
Dan zaman kita tidaklah memiliki aib/celaan kecuali kita sendiri”

Beliau berkata :

لَمَّا عَفَوْتُ وَلَمْ أحْقِدْ عَلَى أحَدٍ ** أَرَحْتُ نَفْسِي مِنْ هَمَّ الْعَدَاوَاتِ

Tatkala aku memaafkan maka akupun tidak membenci seorangpun…
Akupun merilekskan diriku dari kesedihan dan kegelisahan (yang timbul akibat) permusuhan

Baca Juga:  Prosedur Penarikan Kendaraan Kredit Oleh Debt Collector Dari Leasing/Finance Harus Sesuai Hukum

إنِّي أُحَيِّي عَدُوِّي عنْدَ رُؤْيَتِهِ ** لِأَدْفَعَ الشَّرَّ عَنِّي بِالتَّحِيَّاتِ

Aku memberi salam kepada musuhku tatkala bertemu dengannya…untuk menolak keburukan dariku dengan memberi salam

وأُظْهِرُ الْبِشْرَ لِلإِنْسَانِ أُبْغِضهُ ** كَمَا إنْ قدْ حَشَى قَلْبي مَحَبَّاتِ

Aku menampakkan senyum kepada orang yang aku benci…
Sebagaimana jika hatiku telah dipenuhi dengan kecintaan

النَّاسُ داءٌ وَدَاءُ النَّاسِ قُرْبُهُمُ ** وَفِي اعْتِزَالِهِمُ قَطْعُ الْمَوَدَّاتِ

Orang-orang adalah penyakit, dan obat mereka adalah dengan mendekati mereka…
Dan sikap menjauhi mereka adalah memutuskan tali cinta kasih

Beliau berkata :

بقَدْرِ الكدِّ تُكتَسَبُ المَعَــالي ….ومَنْ طَلبَ العُلا سَهِـرَ اللّيالي

Ketinggian diraih berdasarkan ukuran kerja keras…
Barang siapa yang ingin meraih puncak maka dia akan begadang

ومَنْ رامَ العُلى مِن ْغَيرِ كَـدٍّ …..أضَاعَ العُمرَ في طَـلَبِ المُحَالِ

Barang siapa yang mengharapkan ketinggian/kemuliaan tanpa rasa letih…
Maka sesungguhnya ia hanya menghabiskan usianya untuk meraih sesuatu yang mustahil…

تَرُومُ العِزَّ ثم تَنامُ لَيـلاً …..يَغُوصُ البَحْرَ مَن طَلَبَ اللآلي

Engkau mengharapkan kejayaan lantas di malam hari hanya tidur aja??
Orang yang yang mencari mutiara harus menyelam di lautan…

Beliau berkata :

إِذَا أَصْبَحْتُ عِنْدِي قُوْتُ يَوْمٍ … فَخَلِّ الْهَمَّ عَنِّي يَا سَعِيْدُ

Jika di pagi hari dan aku telah memiliki makanan untuk hari ini…
Maka hilangkanlah kegelisahan dariku wahai yang berbahagia

وَلاَ هُتَخْطُرْ مُوْمُ غَدٍ بِبَالِي … فَإِنَّ غَدًا لَهُ رِزْقٌ جَدِيْدُ

Dan tidaklah keresahan esok hari terbetik di benakku….
Karena sesungguhnya esok hari ada rizki baru yang lain

أُسَلِّمُ إِنْ أَرَادَ اللهُ أَمْراً … فَأَتْرُكُ مَا أُرِيْدُ لِمَا يُرِيْدُ

Aku pasrah jika Alloh menghendaki suatu perkara…
Maka aku biarkan kehendakku menuju kehendakNya

3. Menjunjung Tinggi Dan Tegar Diatas Sunnah Serta Memerangi Bid’ah

Al-Imam Asy-Syafi’i digelari dengan نَاصِرُ الْحَدِيْثِ “Penolong hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Pengagungan beliau terhadap sunnah-sunnah Nabi sangatlah nampak.
Karenanya beliau sering berdebat dengan ahlul bid’ah dan mematahkan hujjah-hujjah mereka.
Demikian juga di Baghdad adanya sikap mendahulukan ro’yu (pendapat) dari pada sunnah-sunnah Nabi

Sehingga sunnah-sunnah Nabi ditolak dengan berbagai metode. Al-Imam Asy-Syafi’i datang dan membantah dan mematahkan pemikiran yang menyimpang tersebut.
Akan datang penjelasan yang lebih dalam tentang bantahan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap ahlul bid’ah.

4. Al-Imam Asy-Syafi’i Memiliki Kharismatik

Al-Imam Asy-Syafi’i rohimahulloh memiliki kharismatik dan daya tarik yang luar biasa, hingga ulama-ulama besar yang ada di Baghdad tertarik dengan beliau dan belajar kepada beliau.
Seperti Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Tsaur yang masing-masing ternyata memiliki madzhab tersendiri, akan tetapi mereka belajar kepada Al-Imam Asy-Syafi’i dan sangat mencintai dan mengagungkan Al-Imam Asy-Syafi’i.
Abu Tsaur pernah ditanya :

“Manakah yang lebih faqih, Asy-Syafi’i ataukah Muhammad bin Al-Hasan..?”

Dan Muhammad bin Al-Hasan adalah guru Al-Imam Asy-Syafi’i
Beliau menimba ilmu darinya tatkala beliau menetap di Baghdad.

Akan tetapi apa jawaban Abu Tsaur..??.
Beliau berkata :

الشافعي أفقه من محمد، وأبي يوسف، وأبي حنيفة، وحماد، وإبراهيم، وعلقمة، والأسود

“Asy-Syafi’i lebih faqih dari pada Muhammad bin Al-Hasan dan juga Abu Yusuf
( Muhamamad bin Al-Hasan dan Abu Yusuf adalah murid senior Abu Hanifah )
Dan lebih faqih dari Abu Hanifah, dan juga lebih faqih dari Hammad (gurunya Abu Hanifah )
Dan lebih faqih dari Ibrohim (gurunya Hammad )
Dan lebih faqih daripada ‘Alqomah (gurunya Ibrahim)
Dan lebih faqih daripada Al-Aswad (gurunya ‘Alqomah)”
(Mukhtashor Taarikh Dimasyq 6/434)

Padahal Abu Tsaur dahulunya mengikuti madzhab Ahlu Ro’yi di Baghdad sebelum datangnya Al-Imam Asy-Syafi’i.
Jawaban Abu Tsaur ini menunjukkan kecintaan yang sangat dalam kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rohimahulloh.

Lihatlah bagaimana cintanya Al-Imam Ahmad kepada gurunya Asy-Syafi’i
Sehingga beliau pernah berkata :

سِتَّةٌ أَدْعُوا لَهُمْ سَحراً، أَحَدُهُمْ الشَّافِعِيُّ

“Enam orang yang aku mendoaakan mereka di waktu sahur (sebelum subuh), salah satunya adalah Asy-Syafi’i”
(Taariikh Al-Islaam li Adz-Dzhabi 14/312)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal terlalu sering mendoakan Asy-Syafi’i, sampai-sampai anak beliau Abdulloh bertanya kepada beliau :

يَا أَبَةِ، أَيُّ رَجُلٍ كَانَ الشَّافِعِيُّ فَإِنِّي سَمِعْتُكَ تُكْثِرُ مِنَ الدُّعَاءِ لَهُ

“Wahai ayahanda, siapakah Asy-Syafi’i itu, aku mendengarmu banyak mendoakannya?”.
Al-Imam Ahmad menjawab :

يَا بُنَيَّ، كَانَ الشَّافِعِيُّ كَالشَّمْسِ لِلدُّنْيَا، وَكَالْعَافِيَةِ لِلنَّاسِ، فَهَل لِهَذَيْنِ مِنْ خَلَفٍ؟

“Wahai putraku, Asy-Syafi’i seperti matahari bagi dunia, seperti keselamatan bagi manusia, maka apakah ada pengganti bagi kedua kenikamatan ini?”
(Taarikh Al-Islaam 14/312)

Karena ilmu dan dakwah Al-Imam Asy-Syafi’i diterima oleh masyarakat dan para ulama secara luas maka munculah orang-orang yang tidak suka kepada beliau.

Baca Juga:  Tingkatkan Kemitraan Bersama Warga Bhabinkamtibmas Desa Bestala Melaksakan Sambang

Diantara mereka adalah salah seorang ulama bermadzhab Maliki yang bernama Asyhub. Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i datang ke Mesir beliau tidak bertemu dengan murid-murid Imam Malik kecuali dua orang yaitu Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim dan Asyhub.

Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim berkata :

سَمِعْتُ أَشْهُبَ فِي سُجُوْدِهِ يَدْعُو عَلَى الشَّافِعِي بِالْمَوْتِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلشَّافِعِي

“Aku mendengar Asyhub dalam sujudnya mendoakan agar Asy-Syafi’i meninggal.
Maka akupun menyebutkan hal tersebut kepada Asy-Syafi’i”

Dalam riwayat yang lain Asyhub berdoa :

اللَّهُمَّ أَمِتِ الشَّافِعِيَّ فَإِنَّكَ إِنْ أَبْقَيْتَهُ اِنْدَرَسَ مَذْهَبُ مَالِكٍ

“Ya Alloh matikanlah Asy-Syafi’i, karena kalau Engkau membiarkannya hidup maka akan punah madzhab Imam Malik”

Maka Al-Imam Asy-Syafi’i heran dengan hal ini, lalu ia berkata dengan menyebut sya’ir :

تَمَنَّى رِجَالٌ أَنْ أَمُوْتَ وَإِنْ أَمُتْ     فَتِلْكَ سَبِيْلٌ لَسْتُ فِيْهَا بَأَوْحَدِ

Beberapa lelaki berangan-angan kematianku, dan jika akupun mati….
Maka (kematian) itu adalah jalan yang tidak ditempuh oleh aku sendirian…

فَقُلْ لِلَّذِي يَبْغِي خِلاَفَ الَّذِي مَضَى     تَزَوَّدْ لِأُخْرَى مِثْلِهَا فَكَأَنْ قَدِ

Maka katakanlah kepada orang yang menginginkan berbedanya apa yang telah berlalu…

Hendaknya engkau berbekal untuk menghadapi kematian yang semisalnya maka seakan-akan ia telah datang…

Maka setelah itu Al-Imam Asy-Syafi’i pun meninggal, dan tidak lama kemudian sekita 18 hari atau sebulan Asyhub pun meninggal dunia.

(lihat : Taarikh Dimasyq 51/428, Siyar A’laam An-Nubalaa 10/72, Al-Waafi bil Wafayaat 9/165)

5. Memiliki Inovasi Yang Cerdas

Diantara keistimewaan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah beliau telah menyusun sebuah kitab istimewa yang berjudul Ar-Risaalah, yang kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis tentang kaidah-kaidah ushul fiqh.

Beliau menulis buku tersebut atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah. Beliau menulis surat kepada Asy-Syafi’i dan tatkala itu Asy-Syafi’i masih muda belia- agar Asy-Syafi’i membuat sebuah buku yang mencakup makna-makna Al-Qur’an dan mencakup ilmu-ilmu hadits, hujjahnya ijmak, serta nasihk dan mansukh dari Al-Qur’an dan hadits.
Maka Al-Imam Asy-Syafi’i lalu menyusun kitab Ar-Risaalah. Maka Abdurrahman bin Mahdi berkata,

مَا أُصَلِّي صَلاَةً إِلاَّ وَأَنَا أَدْعُو لِلشَّافِعِي فِيْهَا

“Tidaklah aku sholat kecuali aku mendoakan Asy-Syafi’i dalam sholatku tersebut” (Tariikh Baghdaad 2/64-65)

Demikian pula halnya dengan kitab Al-Umm yang disusun oleh Al-Imam Asy-Syafi’i sebagai kitab fikih yang disusun dengan penyusunan bab-bab fikih yang luar biasa, sehingga memudahkan para murid beliau untuk belajar dengan baik.

Dengan demikian Al-Imam Asy-Syafi’i telah menyusun kitab tentang ushul fikih dan juga menyusun kitab tentang penerapan ushul fikih tersebut dalam kitab fikih beliau yaitu Al-Umm.

Diantara keistimewaan beliau juga adalah beliau telah belajar dari dua madrosah, madrosah Hadits (yang dalam hal ini diwakili oleh Imam Malik yang merupakan guru beliau) dan madrosah Ar-Ro’yu (yang dalam hal ini diwakili oleh Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaani yang juga merupakan guru beliau).

Maka Al-Imam Asy-Syafi’i menggabungkan kebaikan dari dua madrosah ini sehingga jadilah madzhab beliau madzhab yang kokoh.

Murid-murid Imam Syafi’i dan yang menyebarkan ilmu beliau amat banyak, namun  yang menonjol dalam menyebarkan madzhab beliau adalah:

1- Murid yang di Mesir yang menukil pendapat jadid (baru) dari Imam Syafi’i yang masyhur adalah

(a) Al Muzanniy, nama aslinya adalah Isma’il bin Yahya Al Muzanniy, lahir tahun 175 H dan meninggal tahun 254 H. Ketika Imam Syafi’i tiba di Mesir, ia mulai belajar dari beliau hingga Imam Syafi’i wafat.

Namun kalangan Syafi’iyah menganggap Muzanniy sebagai mujtahid mutlak karena ia berbeda pandangan dalam beberapa masalah dengan Imam Syafi’i.

Beliau memiliki karya Mukhtashor Al Muzanniy yang dicetak sebagai catatan kaki dari kitab Al Umm.

(b) Al Buyuthiy, nama beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al Buyuthiy. Beliau berasal dari daerah Buyuth di dataran tinggi Mesir. Ia adalah di antara murid senior Imam Syafi’i. Imam Syafi’i kadang menjadikan pendapatnya sebagai rujukan dalam berfatwa.
Beliau juga memiliki Mukhtashor Al Buyuthiy.

(c) Ar Robi’ bin Sulaiman Al Marodiy, periwayat kitab Al Umm. Ia yang menyalin kitab Al Umm, saat Imam Syafi’i masih hidup

2- Murid yang di Irak yang menukil pendapat qodim (lama) dari Imam Syafi’i, yaitu:

(a) Al Hasan bin Muhammad, lebih dikenal dengan Al Za’faroniy. Ia meninggal dunia tahun 260 H.

(b) Abu ‘Ali Al Husain bin ‘Ali, terkenal dengan Al Karobisiy. Ia wafat tahun 264 H.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi  wa sallam.

Semoga bermanfaat.

(Rls AR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *