JAKARTA | Detikkasus.com -, Lembaga Pengawas Korupsi dan Pemantau Penegak Hukum Indonesia (LPKP2HI) mengatakan kinerja Kepolisian Republik Indonesia paling baik bila dibanding dua tahun sebelumnya, sejak Jenderal Tito Karnavian menjabat Kapolri pada 13 Juli 2016, banyak manfaat yang telah dirasakan masyarakat melalui Program Promoter Kapolri.
Polri juga mengoptimalkan peran Satgas Saber Pungli, membentuk Satgas Pangan, Peningkatan pelayanan publik berbasis IT, turut serta dalam penyelesaian sengketa investasi asing, serta melaksanakan pengamanan objek bidang industri dan investasi secara optimal dan Menjamin penyelenggaraan Pemilu berjalan dengan aman, lancar, dan kondusif.
Dari 171 Polres yang diperiksa Ombudsman, 80 persen di antaranya dinyatakan baik dalam melayani masyarakat, 20 Persen selebihnya masih berapot merah. Hal ini juga sejalan dengan program promoter Kapolri yakni peningkatan kepercayaan masyarakat lewat pelayanan publik dengan mengedepankan pelayanan Polri berbasis IT.
“Kepercayaan publik semakin baik karena pelayanan Polri transparan dan menggunakan teknologi berbasis IT,” kata Daniel Manurung yang juga Anggota Dewan Pengurus Eksekutif Pusat LPKP2HI di Jakarta, Kamis (16/08).
Menurut Manurung, hal lain yang membuat masyarakat semakin percaya terhadap Polri adalah komitmen Kapolri yang tegas terhadap seluruh anggotanya khususnya dalam penegakan hukum dan meningkatkan disiplin anggotanya. Di Polri juga diberlakukan reward dan punishment bagi yang berprestasi akan diberikan kenaikan pangkat luar biasa (KPLB), promosi Jabatan dan sekolah tanpa test. Bagi yang berbuat pelanggaran langsung dicopot jabatannya, ujar Manurung.
Citra Polri yang dianggap membaik setidaknya terekam dalam survei yang dirilis Litbang Kompas, dimana tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri meningkat dari 46,7 persen pada tahun 2014 menjadi 82,9 persen pada tahun 2018.
Sebelumnya, Lembaga Riset Internasional Gallup’s Law Order 2018 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara teraman di dunia. Indonesia berada di urutan ke-9 dari 10 negara teraman, satu tingkat di bawah Kanada dan setingkat di atas Denmark.
Seperti dikutip Harian Kompas, survei tersebut dilakukan terhadap 800 responden di wilayah hukum Polda Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Metro Jaya, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan dengan metode sampel acak bertingkat dan wawancara tatap muka.
Hasil survei Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) selama dua pekan 14 sampai 28 Juni, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 78.3 persen.
Hasil survei Lemkapi ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei Alvara Research Centre yang dilakukan April dan Mei 2018 yang hasilnya 78.8 persen menyatakan publik puas kinerja Polri. Sedang survei Kompas pada bulan Oktober 2017 lalu menilai keberhasilan pemerintah Joko Widodo adalah mengelolah bidang politik dan keamanan, angkanya 76,4 persen.
Sejumlah pelayanan publik Polri yang disoroti berkaitan dengan pengurusan surat kendaraan bermotor, surat izin mengemudi, surat keterangan catatan kepolisian, dan denda tilang.
Mengamati Survey LIPI
Metodologi penelitian adalah sebuah upaya sistematis dalam rangka pemecahan masalah yang dilakukan peneliti agar dapat menjawab permasalahan-permasalahan atau fenomena yang terjadi.
Dalam Metodologi, peneliti selalu berusaha untuk mencari pertanyaan yang diberikan dengan cara-cara yang sistematis yang digunakan dan berupaya untuk mengetahui semua jawaban sampai dapat mengambil kesimpulan. Jika penelitian tidak dilakukan secara sistematis pada masalah, akan lebih sedikit kemungkinannya untuk dapat mengetahui hasil akhir. Untuk menemukan atau menjelajahi pertanyaan penelitian, peneliti akan menghadapi berbagai permasalahan, dimana semua itu baru dapat diselesaikan secara efektif jika menggunakan metodologi penelitian yang benar.
Dengan menggunakan metodologi penelitian, peneliti akan dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan sehingga dapat menemukan solusi dari permasalahan. Serta kesimpulan-kesimpulan tersebut dapat dipercaya, sebab menggunakan pengukuran-pengukuran secara scientific.
Terkait survei LIPI yang ditayangkan oleh media koran.tempo.co/read/433816/survei-lipi-kinerja-polri-paling-buruk, Manurung beranggapan bahwa metode yang dirilis oleh LIPI menggunakan teknik non-probability sampling (purposive sampling) dikatakan juga bahwa Survei itu tidak dimaksudkan untuk melakukan sebuah inferensi (generalisasi) dimana suatu generalisasi adalah proses penalaran yang membentuk kesimpulan secara umum melalui suatu kejadian, hal, dan sebagainya, dan simpulan yang belum sempurna karena Sampel ahli dipilih berdasarkan pertimbangan/kriteria tertentu
“Artinya, Salah satu teknik non random sampling ini perlu dipelajari dan cermat dalam menggunakannya agar mampu menggunakannya untuk menjawab permsalahan penelitian”, ujar Manurung.
Banyak hal yang positif telah dilakukan Polri dalam mereformasi internal Polri dengan Program Promoter Kapolri yakni mengusung visi “terwujudnya Polri yang makin profesional, modern, dan terpercaya, guna mendukung terciptanya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong-royong”, papar Manurung yang juga salah satu Pemimpin Redaksi dan aktivis Jurnalis tersebut.
Dalam temuan “Politik” Survey LIPI yang dirilis diantaranya Kebebasan sipil berada dalam kondisi baik, Hak warga negara untuk memilih dan dipilih sudah baik, namun partisipasi dalam perumusan dan pengawasan kebijakan masih buruk, KPK, TNI, dan presiden dinilai sebagai lembaga demokrasi dengan kinerja terbaik, sedangkan partai politik, Polri, dan DPR mendapat penilaian rendah, Tingkat partisipasi pemilih menentukan kualitas pemilu, sedangkan ketidakakuratan DPT dan minimnya edukasi pemilih menjadi problem paling penting untuk ditindaklanjuti, Politisasi SARA dan identitas adalah kondisi politik yang berpotensi menghambat penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 dan konsolidasi demokrasi.
Dalam Temuan Penting terkait “Ekonomi” diantaranya Tingkat kesejahteraan masyarakat dinilai relatif baik, namun tingkat pendapatan masyarakat dan disparitas harga perlu lebih diperhatikan, Pencapaian pembangunan infrastruktur pemerintah direspon dengan positif, kecuali air bersih, listrik dan transportasi publik, Krisis ekonomi dan inflasi dikhawatirkan akan mengganggu penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, Kebijakan yang berpihak pada industri dalam negeri dan tenaga kerja lokal dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
Sementara dalam Temuan Penting terkait Sosial Budaya dinilai Kondisi kesetaraan sosial budaya secara umum sudah baik, kecuali di bidang ekonomi dan hukum, Kesenjangan akses atas ekonomi dan kekuasaan dinilai sebagai penyebab ketidaksetaraan sosial budaya, Politisasi SARA dan stigmatisasi (saling tidak percaya) dianggap sebagai penyebab utama memburuknya kondisi toleransi dan Politisasi SARA dan politik identitas merupakan masalah yang berpotensi menghambat penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 maupun konsolidasi demokrasi.
Jika dilihat dalam Temuan Penting tekait Pertahanan dan Keamanan bahwa Sistem pertahanan negara telah berjalan dengan efektif, TNI tidak perlu memiliki peran politik dan ekonomi, Kejahatan transnasional (seperti peredaran narkoba), korupsi, dan kriminalitas adalah problem hukum–keamanan yang paling mendesak untuk ditanggulangi, Persamaan di depan hukum dan konsistensi penegakan hukum dinilai masih buruk, serta Konflik sosial dan politisasi aktor keamanan berpotensi mengganggu penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 maupun konsolidasi demokrasi.
Begitulah rilis temuan Survey LIPI yang disusun oleh Esty Ekawati, Sri Yanuarti, Syafuan Rozi, Muhamad Haripin, Aisah Putri Budiatri ,Sandy Raharjo, Diandra Mengko dan Ridho Imawan Hanafi | SUMBER: PUSAT PENELITIAN POLITIK LIPI | PERIODE SURVEI: APRIL-JULI 2018.
Apakah memang ada survei pesanan?
Ada dan sebenarnya tidak ada masalah dengan survei yang dilakukan atas permintaan pihak tertentu, misalnya, untuk mengetahui bagaimana sentimen publik atas kandidat-kandidat tertentu.
“Itu sah-sah saja, sepanjang lembaga survei yang dipesan tidak melakukan kejahatan-kejahatan akademis, seperti memalsukan data, memalsukan sampling dan seterusnya,” jelas D.Manurung.
“Nanti tentang hasilnya terbuka dua kemungkinan, diarahkan pada yang memesan namun bisa juga dirilis ke publik sebagai pegangan untuk, misalnya elektabilitas atau isu-isu yang publik perlu tahu.”
Apa dampak survei terhadap khalayak umum ?
Sebuah hasil survei yang diumumkan secara terbuka tentu merupakan informasi bagi khalayak, yang bisa pula menjadi landasan-landasan dalam membuat argumentasi maupun keputusan.
“Kalau itu benar tidak ada masalah tapi kalau tidak benar tentu akan berpengaruh (buruk). Besar kecil pengaruhnya tentu masih perlu penelitian khusus,” jelas D.Manurung.
Wartawan diharapkan membantu khalayak umum untuk mendapatkan informasi tentang kredibilitas sebuah survei dan lembaganya.
Namun menurut Manurung, studi memperlihatkan publik sebenarnya tidak terlalu mudah untuk dipengaruhi oleh hasil survei, karena publik melakukan penilaian tentang pelaksana survei sehingga, menurut Manurung “Publik tidak terlalu mudah untuk disetir.”
Jadi ‘survei pesanan tersebut’ memang diharapkan bisa mempengaruhi pilihan para publik yang belum punya keputusan, namun pada akhirnya cara itu akan membuat lembaga pelaksana survei jadi tidak kredibel.
“Orang akan mempertanyakan, apalagi kalau hal-hal teknis metodologinya tidak jelas jadi akan dinilai oleh publik sebagai survei abal-abal, ujar Manurung.
Salah satu hal yang perlu dilakukan orang adalah mempelajari track record (rekam jejak) dari lembaga yang menyelenggarakan maupun orang-orang yang mengelola lembaga itu, seperti siapa penelitinya, apakah kualitas akademiknya memadai, dan apakah metodologinya benar.
“Di mana-mana di dunia, itulah hal pertama yang dipegang orang. Jadi kredibiltas atau track record dari lembaga penyelenggara itu sebuah pertaruhan. Sekali dia melakukan kecurangan, melakukan kesalahan yang disengaja dan terbuka ke publik, maka reputasinya tercoreng,” tutur D.Manurung.
Oleh karena itu Manurung mengharapkan agar media lebih menggali kredibilitas dari sebuah lembaga yang mengumumkan hasil survei sehingga khalayak umum bisa terbantu untuk menilainya.
“Waktu ada press release, wartawan harus tanya secara detail. Bagaimana metodologinya, apakah samplingnya terjaga atau tidak, bagaimana cek dan ricek samplingnya. Itu semua ada prosedur ilmiah yang bisa kita telusuri,” beber D.Manurung.
Biasanya jajak pendapat marak di sekitar pelaksanaan pilkada, pemilu, dan pilpres. Bagi Manurung, karena tidak semua masyarakat ‘melek survei’ maka seharusnya ada yang bisa memberi petunjuk tentang kapan sebuah survei dijadikan acuan untuk melihat faktanya dan kapan pula tidak dijadikan petunjuk.
“Survei akan mengintrusi cara pandang, cara berpendapat dan juga mungkin cara menyimpulkan masyarakat sendiri. Dan kita belum punya satu institusi atau apapun namanya yang bisa memberikan bimbingan bahwa lembaga survei harus mampu mempertanggung jawabkannya,” ungkapnya.
“Publik juga tidak akan bisa ditipu. Toh nanti yang abal-abal tidak akan survive (bertahan) karena akan cepat terbuka kedoknya.”
BELAJAR DARI SEJARAH KETELADANAN, KEHORMATAN DAN MARTABAT POLRI
Tidak dapat disangkal Kepolisian Negara Republik Indonesia lahir seiring dengan dinamika perjuangan membangun negara, menjaga keutuhan wilayah RI dari perpecahan dan sisa-sisa pemberontakan separatisme dekade 1950-an. Kecuali itu, Polri sebagai pejuang dalam proses kelahiran negara, memiliki peran utama dalam menjaga dan melindungi masyarakat dari berbagai bentuk masalah dan kejahatan yang timbul sebagai konsekuensinya.
Demikian juga hubungan polisi dan masyarakat sudah terjalin begitu lama, bahkan telah menjadi bagian kehidupan sosial kemasyarakatan. Terlepas dari sejarah panjang polisi sejak masa lalu di zaman kerajaan Majapahit oleh Patih Gajah Mada dengan sebutan Barisan Bhayangkara (Harsya W. Bachtiar, 1994) sampai dengan masa Orde Baru yang memposisikan polisi sebagai alat kekuasaan berdoktrin militer terintegrasi dengan ABRI. Dalam kenyataannya, bahwa eksistensi polisi telah mengakar di kehidupan masyarakat. Polisi dan kepolisian telah terinternalisasi dalam kehidupan sosial masyarakat, sehingga dalam proses sosialisasi bermasyarakat turut berkontribusi bagi pembangunan sosial masyarakat itu sendiri.
Sebagaimana dijelaskan dalam Justice Without Trial: Law Enforcement in Democratic Society, 1966), bahwa citra kepolisian ditentukan oleh tindakan kongkret sebagai polisi, yaitu:
1. taat asas,
2. hidup terhormat,
3. profesional,
4. tegas,
5. bersikap adil,
6. bersih,
7. santun, dan tidak kasar.
Tidak lain yang pantas dihargai bersama terhadap citra tersebut adalah “suatu prestasi dalam memberantas kejahatan, menyelidiki pelanggaran hukum, menjaga keamanan dan mengatur ketertiban masyarakat sesuai kewenangan tugasnya”. Sedangkan sejumlah prestasi yang telah ditorehkan Polri, diantaranya adalah “Pengungkapan dan penangkapan pelaku teroris, sindikat perdagangan narkoba, illegal logging, upaya mengungkap kasus korupsi, pornografi, demonstrasi, sampai problema disiplin oknum polisi, perlu dijadikan pelajaran berharga dan selayaknya disikapi dengan bijak”.
Korps kepolisian dalam perjalanan sejarahnya, tentu telah banyak mengukir prestasi yang membanggakan bagi bangsa ini, mulai dari polisi wanita (polwan), polisi perairan dan udara (polairud), polisi lalulintas (polantas), brigade mobil (brimob), sampai dengan detasemen khusus (densus).
Kita patut berbangga hati dengan keberhasilan Polri dalam menangani berbagai gangguan Kamtibmas, khususnya penegakkan hukum terhadap tindak pidana yang menjadi sasaran prioritas, seperti kejahatan konvensional yang meresahkan masyarakat, kejahatan transnasional, kejahatan yang merugikan kekayaan negara, dan pemberantasan terorisme yang sudah diakui oleh dunia internasional. Keberhasilan ini sebagai bukti bahwa Polri senantiasa memegang teguh komitmen untuk menjalankan amanah yang diberikan masyarakat untuk mewujudkan rasa aman dan nyaman dalam situasi apapun. Prestasi yang telah dicapai Polri ini bukan sekedar pengakuan sepihak, tapi telah diapresiasi oleh pemerintah, DPR, maupun masyarakat sendiri.
Namun demikian, harus disadari bahwa dalam pelaksanaan tugas dan pengabdiannya, Polri masih belum sempurna dan tidak luput dari berbagai kekurangan sehingga belum mampu memenuhi semua harapan masyarakat. Berbagai kritik terhadap kinerja Polri hendaknya ditanggapi secara arif dan bijaksana untuk dijadikan bahan renungan bagi kita semua.
TANTANGAN POLRI DALAM MEMELIHARA KAMTIBMAS DAN PENEGAKAN HUKUM
Sejak revitalisasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui pemisahan institusional dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri berusaha membangun image dengan paradigma baru, semula militeristik dan cenderung represif berganti menjadi pengayom dan pelindung masyarakat (to serve and protect).
Paradigma baru tersebut, Polri mengabdi untuk kepentingan masyarakat, salah satu perubahannya adalah merumuskan kembali peran polisi sesuai UU No.2/2002, yaitu menetapkan peran Polri selaku pemelihara Kamtibmas, penegak hukum, pelindung dan pengayom serta pelayan masyarakat. Peran Polri merupakan acuan dalam mewujudkan jati diri, profesionalisme dan modernisasi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, berada dekat masyarakat dan membaur bersamanya. Paradigma ini akan diimplementasikan melalui jati diri sebagai abdi masyarakat, mempunyai sikap, metode, dan orientasi kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta sikap kemandirian yang dapat diaktualisasikan melalui kemampuan profesionalisme yang mumpuni.
Ada beberapa aspek tantangan Polri untuk mewujudkan Kamtibmas yang kondusif, yaitu:
1. aspek politik, berkaitan dengan kualitas pemahaman budaya politik yang dibangun melalui pendidikan, komunikasi dan partisipasi politik yang belum sepenuhnya mampu memperkuat sendi sendi demokrasi. Ada kalanya kebebasan dan keterbukaan diaktualisasikan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti pemaksaan kehendak melalui pengerahan kekuatan, money politic dan perbuatan lain yang melanggar rambu-rambu hukum masih menjadi isu sentral dalam kehidupan politik yang dapat menimbulkan ketidak setabilan di bidang keamanan.
2. aspek ekonomi, dihadapkan pada berkembangnya sistem pasar bebas yang belum sepenuhnya didukung oleh infra struktur yang kuat. Sektor industri, pertanian dan jasa belum kompetitif, daya saing masih lemah, sementara pasar domestik didominasi produk impor, turut mempengaruhi meluasnya pengangguran dan terjadinya kesenjangan kaya miskin yang semakin nyata merupakan faktor kriminogen bagi instabilitas Kamtibmas.
3. aspek sosial budaya, diwarnai melunturnya nilai-nilai luhur yang menempatkan akal budi sebagai suatu kehormatan kearah penguasaan yang bersifat materiil menjadi tujuan, menyuburkan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Kehormatan telah dinilai dari nilai kekayaan materi dan uang serta gaya hidup yang konsumtif menyebabkan longgarnya ikatan sosial, kondisi ini sangat rentan terhadap timbulnya masalah di bidang keamanan.
4. aspek keamanan, dihadapkan pada berkembangnya suasana konflik yang dilatarbelakangi masalah agama dan etnis, gagasan dan tindakan separatisme, kriminalitas yang secara kuantitas dan kualitas terus meningkat, perilaku kekerasan yang semakin intens, pengembangan isu ketidak adilan ekonomi dan sosial, membuka dan mengundang keterlibatan lembaga-lembaga internasional dalam upaya penyelesaiannya, dengan memaksakan penerapan standar global.
Sementara itu tantangan Polri dalam aspek penegakan hukum, ada 2 sumber, yaitu tantangan internal dan eksternal.
Tantangan internal kepolisian adalah: tindakan kriminal yang terjadi, di samping karena kelalaian, rendahnya SDM, juga karena kriminalitas yang direncanakan, disengaja dan direkayasa dari dalam. Bentuknya bisa berupa keterlibatan internal kepolisian dalam perkara-perkara kriminal merupakan pertanda adanya oknum kepolisian yang menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi. Lebih ironis, oknum ini tega mengorbankan bawahannya demi menyelamatkan diri dari dakwaan hukum.
Sedangkan tantangan eksternal kepolisian adalah: tingkat kesadaran masyarakat yang masih relatif rendah menyebabkan banyak terjadinya pelanggaran hukum secara besar-besaran. Pelanggaran hukum masyarakat jenis ini sulit diselesaikan dengan sanksi hukum karena alasan di luar kesadaran pelanggarnya.
Sedangkant tantangan eksternal lain adalah: faktor gerakan reformasi yang berlebihan, sehingga terkadang justeru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Untuk ini, Polisi harus mampu melakukan pendekatan kepada masyarakat, bahkan lebih baik jika Polisi dapat bekerjasama dengan masyarakat, sehingga keduabelah pihak dapat berbagi pengetahuan, baik pengetahuan hukum, maupun aspirasi, fenomena dan masalah pelanggaran hukum yang terjadi dalam masyarakat. Harapannya adalah untuk meningkatkan budaya sadar hukum masyarakat.
Secara garis besar tantangan Polisi dalam melaksanakan tugas pokoknya untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat adalah:
1. Budaya masyarakat yang belum mengutamakan proses hukum dalam menyelesaikan permasalahan;
2. Masyarakat masih mengedepankan caranya sendiri dalam menyelesaikan masalah.
Dengan demikian, rekomendasi alternatif bagi para pemimpin kepolisian dan jajarannya adalah:
1. Mampu menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja,
2. Mensosialisasikan hukum, agar masyarakat menjadikan hukum sebagai solusi penyelesaian masalah, dan bukan sekedar instrumen yang harus dipatuhi dalam bertindak.
3. Memiliki sifat realistis dan kritis mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat,
4. Mengetahui dengan benar kondisi dan aspirasi masyarakat.
Jika rekomendasi tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan dan peraturan yang berlaku, maka diharapkan Polri dapat mengeliminir segala tantangan, dan mampu mengayomi, melindungai, memelihara kamtibmas dan penegakan hukum secara efektif.
D.Manurung / Berbagai Sumber