Detikkasus.com | Oleh : Meliani Risdiana
Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang
Gaya bahasa atau biasanya dikenal dengan majas sering sekali digunakan dalam Bahasa Indonesia. Gaya bahasa ini biasanya digunakan untuk meningkatkan efek dan menghadirkan konotasi tertentu. Selain itu, keberadaan gaya bahasa ini juga bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan sebuah gagasan dengan bahasa yang estetik. Sehingga gaya bahasa tidak hanya memenuhi dunia sastra, tetapi juga dipakai untuk mengekspresikan gagasan yang kita miliki, mewarnai bahasa argumen, bahasa kritik, bahkan menyampaikan sindiran dengan bahasa sehalus dan serapi mungkin namun memiliki makna (mean) yang mengena dan mendalam.
Pemakaian gaya bahasa dalam bahasa kritik masyarakat yang mewarnai media sosial baik WhatsApp, Twitter, Instagram maupun Facebok. Seperti yang terjadi baru-baru ini pasca terkuak dan ditangkapnya Menteri Sosial Juliari Batubara yang terbukti melakukan korupsi dana bantuan sosial yang pada akhirnya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 6 Desember 2020. Hal ini menjadi suatu bukti bahwa masyarakat tetap kreatif, aktif dan tidak apatis dalam menyampaikan kritik pada pemimpin meskipun di kondisi pandemik saat ini. Masyarakat telah berhasil menyampaikan kritik, kekesalan maupun opini dengan beretorika dalam gaya bahasa.
Dalam cuitan ataupun opini masyarakat terhadap kasus korupsi bantuan sosial Juliari Batubara, banyak sekali gaya bahasa yang sarkas, unik, dan menggelitik yang menjadi perhatian ketika membacanya. Meskipun demikian, masyarakat juga selalu memperhatikan kejujuran dan sopan santun dalam menyampaikan opininya melalui gaya bahasa yang cukup menarik. Hal tersebut menjadi syarat penting dalam memakai gaya bahasa untuk mengekspresikan sesuatu yang kita lihat, dengar ataupun rasakan seperti halnya pada kasus korupsi yang menyita perhatian di kondisi yang seperti ini.
Seperti yang terjadi di sosial media bersamaan pasca penangkapan juliari banyak pihak yang memberi tanggapan terhadap kasus bansos ini melalui cuitannya di akun media sosialnya, baik dari masyarakat, artis, politikus, influencer hingga tokoh publik lainnya. Beberapa cuitan yang mewarnai sosial media yang dikemas dengan gaya bahasa yang menarik telah berhasil menuai tanggapan atau komentar dari berbagai kalangan. Contohnya pada akun Instagram bernama Ode Marjinal yang mengemas opininya dengan gaya bahasanya yang singkat “Selamat menunaikan ibadah korupsi”. Meskipun singkat, tulisan tersebut menggunakan sarkasme dalam mewakilkan kekesalan rakyat terhadap budaya korupsi ya,ng terjadi di Indonesia yang dilakukan berulang-ulang layaknya seperti ibadah. Sarkasme ini merupakan bentuk sindiran kasar yang dibaluti dengan humor. Munculnya sarkasme ini bisa jadi sebagai bentuk kemarahan yang tidak igin ditampakkan secara langsung tetapi bisa saja memberi pengaruh kuat pada batin pihak yang bersangkutan. Dalam akunnya, Ode Marjinal pun juga menuliskan kritiknya dengan gaya metafora yakni majas yang menggunakan kata pembanding untuk mewakili hal lain atau bukan yang sebenarnya mulai dari bandingan benda fisik, sifat, ide, atau perbuatan lain. Salah satu kritiknya bertuliskan “Sedekah Ceban untuk Orang Pucuk”. Makna orang pucuk sendiri bukanlah orang yang berada di pucuk, melainkan penggambaran untuk penguasa rakus yang bertahta. Dalam akun Instagram lain, juga menuliskan kritik dengan gaya bahasa penggambaran atau dikenal dengan Alegori. Alegori ini ditunjukkan melalui statement yang bertuliskan “Dari Ceban berujung ditahan”, gaya bahasa tersebut merupakan entuk pnggambaran yang selaras dengan kasus yang pemotongan dana bansos oleh Kemensos untuk kepentingan personal. Tulisan tersebut memperkuat posisi gaya bahasa dalam menyampaikan kritik terhadapa sebuah persoalan.
Selaras dengan akun di Instagram, pada akun twitter tidak sedikit yang mencuatkan cuitan-cuitan yang mengundang gelak tawa terhadap kasus korupsi ini. Salah satu akun twitter yang mengutarakan kritikannya dengan bermain metonimia dalam gaya bahasanya “Ini seonggok manusia yang menukar indomie jadi sakura, sarden bottan jadi sarden bantan”. metonimia sendiri merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata untuk mewakili sesuatu yang lain dari makna kata aslinya berdasarkan pertalian yang dekat dari keduanya. Metonimia tidak hanya dapat digunakan mengguanakan merk atau label saja. Fungsi metonimia ini biasanya memperhalus dan memperindah bahasa dari sebelumnya. Cuitan lainnya juga menunjukkan hal yag serupa, salah satunya “rakyat disuruh 3M, Menteri malah 17 M”. Tulisan tersebut teah menunjukkan bagaimana bentuk ketidaksukaan terhadap situasi saat ini. Ketika rakyat diminta untuk menerapkan protokol kesehatan, menterinya malah menerapkan praktik korupsi sebesar 17 Miliyar. Lagi-lagi dalam situasi yang demikian, gaya metonimia pun juga ikut bermain peran dalam upaya penyampaian kritik terhadap penguasa.
Fenomena diatas menjadi bukti bahwasanya masyarakat selalu aktif dalam mengkritisi penguasa. Pemakaian gaya bahasa dalam penyampaian aspirasi ataupun kritik memang menjadi jalan kreatif agar maksud yang ingin disampaiakan dapat disampaikan dengan baik tanpa kasar,, frontal serta terang-terangan, bahkan mampu menekan munculnya ujaran kebencian yang sekarang ini marak terjadi. Oleh karena itu keberadaan gaya bahasa di tengah masyarakat bisa dimanfaatkan dengan positif dalam mengomunikasikan maksud yang hendak diutarakan secara tidak langsung tetapi masih bisa diterima dengan baik oleh pihak yang bersangkutan.