Oleh : Oktavia Pridiningtyas dari Universitas Muhammadiyah Malang jurusan
Psikologi.
Detikkasus.com | Generasi milenial yang juga mempunyai nama lain yaitu generasi Y atau gen Y, adalah sekelompok manusia yang lahir diatas tahun 1980-an hingga 2000-an. Para generasi milenial ini sangat mudah untuk mendapatkan informasi di berbagai penjuru bahkan dengan jarak beribu-ribu kilometer dengan waktu yang sangat cepat hanya dengan tinggal mengakses internet. Pada tahun 2016 Penyelenggara Jasa Internet Indonesia survei bahwa sebanyak 22 juta pengguna yang berasal dari ibu rumah tangga, 10,3 juta mahasiswa, 8,3 juta pelajar, 796 ribu orang lainnya, dan 132,7 juta orang yang menggunakan internet di Indonesia, dengan akun media sosial. Akun media sosial yang biasa digunakan seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan lain-lain.
Generasi milenial juga menjadi kelompok yang paling didekati saat ini. Generasi milenial merupakana generasi yang aptis terhadap politik. Saat ini dunia justru sedang mengalami naik daunnya politik anak muda atau biasa disebut politik milenial. Misalnya, kehadiran Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bisa diartikan lagi naik daunnya politik milenial di Indonesia. Karena 70% dari pengurus PSI berusia dibawah 33 tahun. Jadi tidak salah jika PSI sebagai partai milenial.
Banyak politik milenial yang bisa diartikan tentang kesadaran politik milenial. Tapi masih banyak kaum milenial yang kesadaran akan berpolitiknya masih kurang.
Di zaman teknologi yang semakin berkembang dengan pesat, sebaiknya masyarakat terutama mahasiswa dan pelajar mampu memberikan pencapaian yang positif dalam pemanfaatan jaringan internet terutama media sosial yang dapat berguna untuk membangun dan menjaga etika serta moralitas. Dari harapan tersebut menjadi tugas para generasi milenial untuk mampu menjaga kearifan local bangsa Indonesia melalui modernalisasi teknologi.
Seharusnya para kaum milenial tidak hanya sebagai pengguna yang pasif saja. Mereka juga bukan sekedar melihat saja, akan tetapi para kaum milenial harus menjadi pengguna yang aktif dengan cara menyalurkan bakat ataupun potensi yang dimilikinya melalui media sosial dengan berpartisipasi aktif sebagai pembuat konten blog, pemberi kritik dan saran pada forum online. Masih banyak sekali yang dapat dilakukan generasi milenial untuk ikut berpartisipasi aktif dalam media sosial. Sebagai contohnya, generasi milenial dapat membuat konten blog sendiri dimana didalamnya ditulis pengalaman pribadi, hobi atau kegemaran baik dibidang seni, olahraga, bisnis, dan lain-lain. Bisa juga membuat konten video di Youtube. Misalnya konten video tentang tutorial make-up, bernyanyi, sharing tentang pengetahuan, review makanan, pergi ke tempat wisata, grebek rumah, dan masih banyak lagi. Dari media sosial juga, para generasi milenial dapat memperoleh keuntungan atau mendapatkan uang yang hanya dengan membuat konten di media sosial dan dilihat berribu-ribu orang.
Di sisi lain, media sosial bisa menjadi malapetaka. Apalagi jika dikaitkan dengan hal-hal yang berbau politik. Pengguna media sosial untuk kegiatan politik di Indonesia mengalami pasang surut. Media sosial juga mampu mengunggah tokoh seperti Bapak Jokowi yang pada Pilpres 2019 dengan memanfaatkan media sosial baik Instagram, Facebook, Twitter, dan Youtube untuk ber-kampanye. Dalam hal yang sama, media sosial juga dapat memunculkan penebar informasi hoax. Mendekati Pilpres 2019, informasi hoax tentang PKI juga mulai muncul lagi untuk memberi cap kepada Bapak Jokowi yang selalu difitnah mempunyai hubungan dengan PKI.
Penggunaan media sosial untuk kampanye politik semakin banyak. Tidak salah juga jika media sosial digunakan untuk berkampanye. Para politisi sudah tahu bahwa media sosial menjadi hal utama untuk mendapatkan informasi bagi para kaum milenial. Oleh karena itu, mendekati kaum milenial melalui media sosial harus dengan cara yang bijak maupun dengan cara hal-hal yang positif. Bukan hanya semata mengasih informasi yang tidak bermutu kepada kaum milenial hanya untuk memenangkan hak suara mereka semata. Para politisi juga mempunyai tanggung jawab kepada kaum milenial untuk memberikan pendidikan tentang politik, atau pun konten-konten yang bersifat positif kepada generasi milenial melalui media sosial supaya kesadaran akan politik bersifat positif. Tetapi, para politisi tidak boleh mendekatkan diri kepada para generasi milenial semata untuk mendapatkan suara ketika kampanye saja. Selain di media sosial, para politisi juga harus memberikan tempat panggung politik kepada generasi milenial.
Perkembangan teknologi yang tidak dapat dipisahkan dari era globalisasi, seharusnya para kaum milenial bisa lebih meningkatkan moral setiap individu atau kelompok masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai budaya masing-masing. Akan tetapi, fenomena yang terjadi pada kaum milenial ini terlihat era modernisasi komunikasi yang sekarang ini, seperti hantu yang menggoda dan membawa kepada kemunduran kearifan local bangsa. Mulai dari pengaruh budaya yang hedonisme (perilaku konsumtif) yang tinggi, cara berpakaian, dan menurunnya sikap sopan santun. Seharusnya para kaum milenial lebih memanfaatkan kecanggihan media sosial sebagai alat yag digunakan untuk menebar nilai-nilai positif bagi bangsa Indonesia.
Upaya untuk menjaga nilai-nilai positif tersebut, seharusnya dapat menuntun para generasi milenial untuk turut serta menjadi bagian dari pelestarian kearifan local bangsa melalui teknologi, dengan cara memberikan dukungan yang berisi pesan moral dan yang bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan kearifan local bangas Indonesia dan memajukan potensi kaum milenial dalam pemanfaatan teknologi yang canggih untuk menjaga tradisi kekayaan local bangsa Indonesia.
Tidak salah jika ada anggapan tentang teknologi yang semakin canggih di jaman sekarang ini, menjadi tanggungjawab dan kewajiban Pemerintah untuk melakukan pencegahan dan pengendalian sebagai upaya membenahi budaya dan kearifan local bangsa Indonesia. Namun, dari kita sendiri sebagai kaum milenial juga harus turut membantu dengan memberi tahu mana yang benar dan mana yang salah jika menemui fenomena-fenomena yang dapat mengurangi nilai-nilai kearifan local. Karena nasib suatu bangsa akan selalu ada ditangan pemuda-pemudanya.