Detikkasus.com | Artikel
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta presiden Jokowi untuk membuat undang-undang tentang larangan eks koruptor untuk maju dalam Pilkada (Pemilihan kepala daerah). Mengapa demikian? ”Jika ingin membatasi para mantan narapidana menjadi kepala daerah, maka harus ada undang-undangnya untuk membatasi tersebut.” Kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah dikantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Sangat tidak masuk akal jika mantan koruptor diperbolehkan ikut andil sebagai calon kepala daerah. Jelas sekali bahwa mantan koruptor sangat merugikan negara serta rakyat yang ada di negara kita sendiri yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Febri Diansyah mengatakan bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum) sudah berupaya dalam membatasi mantan narapidana koruptor untuk ikut dalam pilkada, akan tetapi hal tersebut tidak dicantumkan dalam PKPU, dan hal tersebut dibatalkan oleh MA (Mahkamah Agung) dengan alasan pembatasan terkait HAM.
Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyebutkan bahwa mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau sebagai wakil kepala daerah dengan syarat terbuka secara jujur bahwa dirinya adalah mantan narapidana. Apa yang terjadi jika suatu daerah dipimpin oleh mantan narapidana? Hal itu tidak dapat kita bayangkan bagaimana kinerja mantan terpidana tersebut sebagai kepala daerah atau sebagai wakil kepala daerah. Tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan melakukan tindak korupsi lagi dengan amat bersih. Maksud dari kata bersih sendiri adalah bermain secara rapih, dan sulit untuk ketahuan apakah merekamelakukan korupsi lagi atau tidak dikarenakan mereka belajar dari pengalaman mereka saat mereka terjerat kasus korupsi dimasa lampau. Menurut saya, tidak dilarangnya mantan terpidana koruptor ikut andil mencalonkan diri dalam pilkada merupakan suatu kemunduran bagi bangsa Indonesia ini. Hukum yang berlaku semakin tumpul kepada kalangan bourjois atau orang-orang yang memiliki kekayaan maupun kekuasaan dan semakin tajam kepada kalangan bawah atau masyarakat biasa.
Seharusnya partai politik (Parpol) lebih peka dalam mencalonkan anggotanya sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil kepala daerah. Sudah sangat jelas bahwa mantan narapidana koruptor dalam kinerjanya sangat buruk, dan merugikan parpol tersebut. Masa masih mau dicalonkan, dan diperbolehkan lagi untuk ikut andil dalam pilkada? Masyarakat pun tidak bodoh, dan mereka paham bahwa apa yang dilakukan parpol terhadap anggotanya yang mencalonkan diri lagi sebagai kepala daerah merupakan tindakan yang sangat bodoh. Masyarakat harus lebih kritis dalam hal ini, dan mahasiswa pun juga tidak boleh tinggal diam mengikuti alurnya saja. Mengkritik kinerja parpol, maupun pemerintah diperbolehkan dalam Negara demokrasi jika kritikan yang diberikan memiliki nilai tersendiri dalam kehidupab politik.
Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) juga meminta agar Presiden, dan DPR agar membuat kebijakan baru tentang mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri lagi dalam Pilkada. Bawaslu meminta kepada DPR untuk merevisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Bawaslu sendiri pun cemas, dan khawatir apabila mantan terpidana koruptor yang mencalonkan diri dalam pilkada akan terpilih kembali. Menurut saya seharusnya mantan terpidana yang terjerat karena kasus korupsi harus dicabut hak untuk berpolitiknya karena sudah sangat jelas bahwa mantan terpidana tersebut tidak becus dalam menjalankan tugasnya, dan sangat merugikan negara. Bagaimana negara kita bisa maju, dan menjadi lebih baik jika petinggi-petinggi negara kita yang berkuasa adalah para koruptor. KPU pun sudah menghimbau kepada parpol agar lebih memikirkan matang-matan jika anggotanya yang merupakan mantan terpidana akan dicalonkan dalam pilkada 2020.
Himbauan yang diberikan KPU kepada parpol tidak menutup kemungkinan bahwa parpol yang sudah dihimbau akan tetap mencalonkan anggotanya yang mantan terpidana koruptor karena KPU hanya menghimbau bukan melarang. Apa yang akan terjadi jika pilkada di tahun 2020 yang akan datang banyak calon mantan terpidana koruptor? Indonesia hanya semakin mundur, dan tidak berkembang apabila petinggi-petinggi negaranya berisikan para sampah masyarakat. Koruptor di Indonesia pun tetap merasakan hidup yang enak walaupun berada di dalam penjara. Hukum bagi para koruptor di Negara Indonesia menurut saya sangat lembek, tidak seperti negara-negara lain contoh Jerman yang memberi hukuman seumur hidup bagi koruptor disana, Singapura memberlakukan hukuman mati bagi para koruptornya, Arab Saudi melakukan hokum pancung, Malaysia melakukan hokum gantung bagi para koruptor, dan masih banyak lagi negara-negara yang memberi hukuman yang setimpal atas para pelaku kasus korupsi dinegaranya.
Mengapa di Indonesia hukuman bagi para pelaku korupsi sangat lembek? Apakah selamanya hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang? Kita sekarang hanya bisa berharap kepada keputusan presiden Jokowi, dan DPR yang harus mengamandemen Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pilkada. Sebagai masyarakat biasa, tugas kita hanyalah memantau kinerja pemerintah apakah semakin membaik atau memburuk. Kita juga harus berani mengkritik kinerja pemerintah yang buruk, dan mengapresiasi kinerja pemerintahan yang baik, dan menguntungkan rakyatnya. Rakyat pun harus memilih calon pemimpin negara yang baik, dapat dipercaya, dan tidak ada paksaan karena iming-iming uang dan sebagainya. Rakyat memilih harus dengan hati nurani mereka, dan saya berharap hukum di Indonesia dapat lebih baik yang tidak hanya tajam kebawah akan tetapi tumpul keatas. Harus ada pemerataan hokum yang berlaku di Indonesia, karena jika suatu negara melahirkan sampah, maka negara tersebut akan dikuasai oleh sampah.
Nama : Bintang Noer Putramma Piliang
Nim : 201910050311114
Kelas : Ilmu Pemerintahan (B)
Matkul : Pengantar Ilmu Politik