Oleh: Putri Auliyaunisa
Detikkasus.com | Apa kabar dengan tambang emas Tumpang Pitu yang sejak awal dikelola oleh PT. BSI (Bumi Suksesi Indo) sudah menuai beragam kontroversi? Apakah benar tambang emas Tumpang Pitu menggunakan proses produksi yang aman dan ramah lingkungan? Lalu, bagaimana dengan kegundulan hutan yang dialami Tumpang Pitu akibat adanya proses penambangan?
Tumpang Pitu adalah tambang emas yang terletak di Banyuwangi dan menjadi tambang emas terbesar kedua di Indonesia setelah Grasberg, Papua. Tumpang Pitu dikelola oleh PT. BSI (Bumi Suksesi Indo) yang dimiliki oleh pengusaha terkenal sekaligus mantan calon Presiden Indonesia yaitu Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya. PT. BSI adalah salah satu anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold Tbk. Penambangan terbuka di Tumpang Pitu dimulai sejak tahun 2016, dan diperkirakan terdapat sekitar 28 juta ons emas di dalamnya.
Pro dan kontra banyak terjadi di masyarakat karena adanya kegiatan pertambangan terbuka di Tumpang Pitu. Pada pembahasan ini saya akan membahas terkait dampak-dampak yang terjadi di sekitar pertambangan emas Tumpang Pitu yang membuat masyarakat resah hingga masyarakat melakukan demonstrasi pada beberapa kesempatan saat itu. Bagaimana mungkin masyarakat hanya diam saja saat mereka tau bahwa alamnya telah dirusak hanya untuk membuka pertambangan emas terbuka? Jelas masyarakat akan mengambil langkah yang sebisanya mereka lakukan.
Pertama, penggundulan hutan sekitar tambang emas yang dinilai salah satu akibat terjadinya bencana alam dan kerusakan alam. Gundulnya hutan akibat ditebangnya pohon-pohon di Tumpang Pitu dapat menyebabkan longsor maupun banjir lumpur dan berkurangnya hutan untuk produksi oksigen di bumi. Pada September 2016 lalu, kegiatan penambangan mengakibatkan kawasan wisata Pantai Pulau Merah yang berlokasi di kecamatan Pesanggaran, kabupaten Banyuwangi, dilanda banjir lumpur setelah beberapa hari diguyur hujan. Menurut warga kawasan wisata Pantai Pulau Merah, banjir lumpur saat itu bukanlah yang pertama kalinya terjadi namun pada bulan sebelumnya pun yakni pada bulan Agustus, banjir lumpur juga sudah melanda kawasan tersebut. Kejadian tersebut seolah menjadi momok bagi penduduk sekitar. Ketakutan akan terulangnya kejadian tersebut di waktu mendatang menghantui perasaan warga sekitar dan warga Banyuwangi di luar lingkup Tumpang pitu. Bagaimana tidak? Alamnya dirusak hanya untuk meraup keuntungan.
Tidak berhenti sampai disitu permasalahan yang muncul akibat kegiatan penambangan di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Banyak masyarakat yang mendemo untuk menyuarakan ketidak-setujuannya perihal kegiatan penambangan emas yang berlangsung di Tumpang Pitu. Dilansir dari Monitor.co.id, pada September 2019 lalu, tepatnya pada Hari Tani, Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Banyuwangi dengan sejumlah masyarakat mengadakan aksi demo yang salah satunya membahas tentang kegiatan penambangan yang masih beroperasi di tambang emas Tumpang Pitu. Kerusakan alam seperti kegundulan hutan yang dapat mengakibatkan longsor, rusaknya habitat flora dan fauna yang ada di kawasan Tumpang Pitu, maupun berkurangnya sumber oksigen di bumi mungkin adalah beberapa dampak yang akan timbul jika penambangan berlangsung lama.
Kedua, pengubahan status sebagian hutan di Tumpang Pitu. Penambangan emas di Tumpang Pitu juga memunculkan keberadaan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan No.826/MENHUT-II/2013 yang berisi tentang pengubahan status Tumpang Pitu yang sebagiannya adalah Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi. Pengubahan ini semakin menuai kontroversi. Keserakahan pemerintah dan pihak bersangkutan terlihat seolah semakin menjadi-jadi setelah dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Kemalangan Tumpang Pitu semakin terlihat jelas karena adanya Surat Keputusan tersebut. Hutan lindung yang berada pada sebagian kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu mulanya berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah itrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, kini justru menjadi lokasi yang memiliki dampak yang bertolak-belakang dengan fungsi sebelumnya.
Ketiga, meluasnya keinginan pihak bersangkutan. Beberapa bulan lalu, warga Dusun Pancer mendapat informasi adanya perencanaan bahwa area pertambangan emas akan diperluas lokasinya hingga mendekati pemukiman warga sekitar Tumpang Pitu. Beberapa lokasi perluasan diperkirakan termasuk kawasan perbukitan Lompongan Genderuwo dan Bukit Salakan yang meerupakan jalur evakuasi bencana tsunami dan sumber mata air warga sekitar. Semakin meluasnya area pertambangan, semakin menipis pula daerah resapan. Masyarakat sudah tidak mampu untuk melawan untuk mengajukan kekhawatiran mereka atas lingkungan yang telah diambil alih oleh pihak yang bersangkutan. Saat mereka melawan mereka akan dihadapkan dengan aparat. Masyarakat hanya bisa menunggu sang Presiden RI mendengarkan aduan mereka dan menepati janjinya saat kampanye calon presiden kala itu yang menjanjikan akan menerbitkan setifikat untuk warga Dusun Pancer.
Kini kita hanya bisa berharap PT. BSI juga dapat menepati janjinya untuk merehabilitasi area penambangan guna guna mengimbangi intensitas penambangan yang telah dieksploitasi di wilayah Tumpang Pitu. Harapannya seluas apapun area yang telah maupun akan dieksploitasi untuk pertambangan terbuka, PT. BSI bisa menepati tekadnya untuk melakuakn pengelolaan sumber daya alam secara bertanggungjawab, taat hukum, dan menerapkan prinsip-prinsip penambangan yang baik. Begitu pula kepada pemerintah dan badan-badan yang berwewenang untuk mengawasi dan menindak lanjuti, diharapkan dapat mengawasi, menegasi, dan menindak lanjuti dengan baik perusahaan apabila terdapat penyelewengan yang terjadi ditengah keberlangsungan penambangan supaya tidak terjadi lagi hal-hal yang dapat merugikan salah satu pihak, baik itu pemerintah, pihak bersangkutan, lingkungan, maupun warga sekitar.
*Mahasiswa prodi Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Malang