Detikkasus.com |Artikel
Wacana hukuman mati yang dicanangkan Presiden Jokowi menuai pro dan kontra.
Tidak banyak masyarakat dan anggota pemerintahan yang menyambut baik hal tersebut. Jika hukuman mati untuk koruptor berjalan maka tidak perlu lagi undang-undang mengenai hukuman yang akan diberikan pada koruptor. Namun menurut Komnas HAM hukuman mati bagi para koruptor bisa melanggar ham seseorang. Menurut Komnas HAM cara paling efektif untuk, mencegah terjadinya korupsi di Indonesia adalah memantau dan mengawasi proses penyelenggaraan anggaran negara secara terbuka. Aturan hukuman mati bagi para koruptor sebenarnya sudah ada di Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebenarnya sejak dulu pelaku koruptor bisa dikenakan hukuman mati namun dalam keadaan tertentu, ada 2 keadaan yang dapat diberikan hukuman mati bagi para koruptor yang pertama adalah jika korupsi ini dilakukan di anggaran bencana alam dan yang kedua adalah korupsi dilakukan pada saat negara sedang mengalami krisis ekonomi. Hukuman mati bagi para koruptor bisa diterapkan jika menjadi kehendak masyarakat dan juga dapat di akomodasi melalui revisi Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dama Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melalui mekanisme revisi DPR. Jokowi meyakini, jika ada keinginan dan dorongan kuat dari masyarakat, DPR akan mendengar. Namun, Jokowi menekankan semuanya akan kemali pada komitmen Sembilan fraksi di DPR.
Banyak masyarakat yang mendukung diadakannya hukuman mati bagi para koruptor, karena bagi masyarakat koruptor sangat mengganggu dan merugikan kehidupan di Indonesia, koruptor selalu menggunakan uang masyarakat untuk kepentingan pribadinya. Tetapi para koruptor selalu mendapatkan hukuman yang tidak setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya dengan memakan uang rakyat. Banyak pula yang tidak setuju jika koruptor dihukum mati dengan alasan banyak negara lain yang menerapkan hukuman mati tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dan efek jera bagi para koruptor.
Tampaknya, Indonesia akan sulit dalam menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, apparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor. Belum lagi masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati untuk para koruptor. Koruptor merebut hak masyarakat untuk mendapat fasilitas negara dengan membayar pajak namun pajak yang dibayarkan masyarakat disalahgunakan oleh koruptor untuk kepentingan pribadinya. Banyak pula politikus yang berpendapat bahwa hukuman mati tidak membuat orang takut untuk korupsi. Untuk lebih menggaungkan serta menimulkan efek jera bagi koruptor adalah melalui pemiskinan, pencabutan hak politik, hingga larangan menduduki jabatan.
Kehendak masyarakat saat ini bukan pada penerapan hukuman mati bagi koruptor. Tetpai, kehendak masyarakat adalah menyelamatkan KPK dengan mengeluarkan perpu pembatalan UU KPK hasil revisi. Sebelumya, Indonesian Corruption Watch (ICW) melakukan kajian terkait putusan terhadap koruptor pada 2018. Ditemukan bahwa 79% atau 918 terdakwa diputus dengan hukuman ringan (1-4 tahun penjara), sebanyak 15,4% atau 180 terdakwa dihukum sedang (4-10 tahun penjara) dan 0,77% atau 9 terdakwa divonis hukuman berat (lebih dari 10 tahun penjara). Pemerintah sendiri melalui Kementrian Hukum dan HAM bebrapa kali memangkas vonis narapidana kasus korupsi lewat remisi. Selain itu, presiden Jokowi juga memberi grasi kepada napi kasus korupsi Annas Maamun dengan alasan kondisi kesehatan dan usia.
Komnas HAM menolak hukuman mati untuk para koruptor karena hukuman mati merupakan kejahatan paling berat, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada kasus property, kasus perlawanan tanpa kekerasan, kasus ekonomi, dan kasus korupsi. Komnas HAM menilai bahwa hal tersebut melanggar atas hak hidup dari seseorang. Setiap manusia memiliki hak sipil politik dan hak hidup yang tidak dapat dikurangi. Penanganan tingkat kejahatan berat harus mendapatkan penanganan serius secara adil. Suatu hukuman yang seharusnya dapat memberikan efek jera bagi pelaku sehingga ia tidak mengulanginya kembali, jangan sampai pemberlakuan hukuman mati ini merupakan ketidakmampuan negara dalam membereskan suatu permasalahan yang ada disuatu negara.