Detikkasus.com | ArtikeL
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa 60 persen lebih pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani merupakan politikus. Fakta itu pun membuat KPK ingin melibatkan seluruh partai politik memperbaiki masalah tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melibatkan partai politik dalam melakukan pemberantasan korupsi yang melibatkan para politikus partai politik
keterlibatan parpol semata-mata karena pentingnya persepsi dan gerakan bersama dalam pemberantasan korupsi. Selain imbauan pada para penyelenggara negara untuk tidak melakukan korupsi, pembangunan Sistem Integritas menjadi salah upaya yang penting dilakukan berdasarkan hasil kajian KPK bersama LIPI agar dibangunnya Sistem tersebut. Disisi lain, ada 4 masalah utama penyebab kurangnya integritas parpol Pertama, tidak ada standar etika politik dan politisi. Kedua, sistem rekruitmen yang tidak berstandar. Ketiga sistem kaderisasi berjenjang dan belum terlembaga. Keempat, kecilnya pendanaan partai politik dari pemerintah Sekadar informasi, 16 parpol yang terlibat yakni PDIP, Golkar, Gejrindra, Demokrat, NasDem, PKB, Hanura, PKS, PAN, PPP, PSI, Perindo, PBB, PKPI, Partai Garuda, dan Partai Berkarya.
Berbicara partai politik dan korupsi pada saat ini, dapat menimbulkan heterogenitas pandangan baik ataupun buruk. Tak ayal, kedua hal tersebut dapat menimbulkan sensitivitas emosional di kalangan masyarakat. Karena tidak dapat dipungkiri, kedua hal tersebut sedikit banyak telah membuat stigma politik dan ilmu politik menjadi buruk dan memperkuat alasan utama mengapa masyarakat menjadi apatis.Sudah sejak lama korupsi menjadi musuh besar negara. Namun, akhir-akhir ini korupsi semakin menggila. Beraneka ragam upaya, pencegahan, hingga punishment terus diupayakan. Tapi nyatanya, pelaku korupsi masih tidak takut dengan segala regulasi atau aturan yang berlaku. Upaya mencari celah dari berbagai sudut terus dilakukan, oleh mereka yang haus akan kekuasaan. Menurut data KP, yang dirilis pada 16 Agustus 2018 lalu, sepanjang 2004 – Agustus 2018 terdapat 867 pejabat negara/pegawai swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 311 orang di antaranya berprofesi sebagai anggota DPR dan DPRD, gubernur, dan bupati atau walikota yang notabene hampir keseluruhan berlatar belakang dari partai politik.
Berpijak dari data tersebut, korupsi merupakan salah satu dampak nyata bobroknya pelaksanaan sistem partai yang dianut, terlebih dalam hal fungsi-fungsi partai. Fungsi yang hanya dijadikan sebatas formalitas, menjadikan output yang dihasilkan pun hanya sebatas formalitas untuk mencapai elektabilitas. Sehingga, setiap partai politik hanya mementingkan elektabilitas ketimbang kualitas dari partai itu sendiri.Hal tersebut semakin membuktikan bahwa adanya sebuah hubungan kausalitas antara korupsi dengan proses kepartaian. Semakin lemah fungsi pengawasan dan pembinaan partai terhadap kadernya, maka akan semakin tinggi pula kerugian negara yang dihasilkan dari aktor korup yang berasal dari partai. Sederhananya, kerugian negara semakin banyak, kepercayaan masyarakat pun akan semakin berkurang.
Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada tiga persoalan dasar yang mendorong terjadinya korupsi.
Pertama, biaya politik kita masih sangat tinggi. Permasalahan ini berpangkal pada syarat pendirian partai dan pemenuhan syarat formal dalam kepersertaan partai dalam pemilu yang mahaberat. Akibatnya, setiap calon terpilih dalam pilpres dan pilkada akan berlomba mendapatkan sumber penghasilan dari pengusaha ataupun dari birokrasi agar bisa mengembalikan modal secara cepat.
Akumulasi dua hal ini membuat biaya pengelolaan organisasi partai menjadi sangat mahal. Persoalan ini tidak hanya terjadi pada partai-partai lama yang sudah mapan, tetapi juga terjadi pada partai baru yang menurut Edward Aspinall (2015) dikategorikan sebagai partai presidensialis, yakni partai yang didirikan oleh atau untuk para tokoh politik utama dengan latar belakang purnawirawan jenderal atau penguasa ekonomi yang punya ambisi untuk menjadi presiden.
Kedua, rendahnya transparansi dan akuntabilitas pembiayaan parpol. Hal ini mengakibatkan adanya persekongkolan antara pemberi dana dan para politisi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai bentuk balas budi yang sering kali menyebabkan penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara.
Ketiga, lemahnya integritas dan moralitas pejabat partai. Proses pendidikan politik dan ideologisasi kader parpol yang tak selesai atau tak matang mengakibatkan kader yang mudah terjebak pada gemerlap jabatan dan kekuasaan. Selain itu, gaya hidup yang telanjur sangat tinggi, tuntutan tinggi untuk kontribusi bagi parpol, dan budaya patronase dalam birokrasi turut membentuk karakter seorang pejabat publik dapat terjebak dalam penyalahgunaan wewenang.
Untuk sebagian orang, menjadi politisi adalah memperbaiki hidup dan nasib. Sebagian dari mereka percaya bahwa probabilitas tertangkap oleh KPK masih jauh lebih kecil dibandingkan peluang keberhasilan melipatgandakan kekayaan. Sehingga itulah kenapa mereka seolah tak takut dan tak peduli dengan kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK sejauh ini.
Perbaikan pada manajemen lah yang harus dilakukan dalam partai politik,ika dianalogikan, partai politik adalah sebuah mesin, sementara korupsi adalah hasilnya. Ketika mesin itu beroperasi dengan baik dan sesuai prosedur, maka hasilnya akan baik dan sesuai prosedur. Begitu pun sebaliknya. Oleh karena itu, kita perlu mendorong partai politik untuk melakukan perbaikan dan perubahan.
Nama: Ivan Wisnu Andaru
Jurusan: Ilmu Pemerintahan
Nim: 201910050311091
Matkul: Pengantar Ilmu Politik