Detikkasus.com – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. Dengan demikian BPK memiliki peran untuk memastikan pengelolaan keuangan negara tersebut dapat terwujud yaitu mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada laporan keuangan pemerintah pusat selama 2019. Dari laporan keuangan tersebut, ada 2.193 rekomendasi BPK yang belum ditindaklanjut ataupun tak dapat ditindaklanjuti dengan potensi kerugian negara mencapai Rp4,15 triliun.
“Sebanyak 2.033 rekomendasi atau 5,70% senilai Rp2,68 triliun belum ditindaklanjuti dan 160 rekomendasi atau 0,45% senilai Rp1,47 triliun tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan yang sah,” ujar Ketua BPK Agung Firman Sampurna di Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Dia melanjutkan tugas BPK tidak akan terhenti setelah menyerahkan laporan keuangan tersebut. Namun akan berlanjut hingga seluruh hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti.
“Komitmen untuk mewujudkan akuntabilitas tidak saja diukur dari opini Laporan Keuangan, tetapi yang juga pentingnya adalah menindaklanjuti hasil pemeriksaan,” katanya.
Untuk menjamin agar rekomendasi ditindaklanjuti, BPK melakukan pemantauan terhadap tindak lanjut hasil pemeriksaan. Apalagi berdasarkan ketentuan Pasal 20 UU Nomor 15 tahun 2004, pejabat pengelola keuangan negara wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK.
Fungsi rekomendatif ialah memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai pengurusan dan pengelolaan keuangan negara. Serta, Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian dalam penyelesaian kerugian negara/daerah.
“Rekomendasi BPK atas pemeriksaan LKPP, LKKL dan LKBUN sejak tahun 2004 sampai Semester II Tahun 2019, terdapat 16.854 temuan dan 35.654 rekomendasi BPK kepada pemerintah,” katanya.
Peningkatan nilai aset pemerintah dan ekuitas yang sangat signifikan tersebut terutama disebabkan oleh koreksi nilai wajar aset tetap sebesar Rp 4.113,21 triliun berdasarkan hasil penilaian kembali atau revaluasi Barang Milik Negara (BMN).
Secara akrual, Laporan Operasional (LO) 2019 menunjukkan nilai pendapatan operasional pemerintah sebesar Rp2.168,93 triliun, beban operasional sebesar Rp2.422,81 triliun, defisit dari kegiatan operasional sebesar Rp253,88 triliun, surplus dari kegiatan non operasional sebesar Rp4,65 triliun, dan defisit LO sebesar Rp249,22 triliun.
“Dibandingkan dengan tahun 2018, pendapatan operasional mengalami peningkatan 0,01 persen dan beban operasional mengalami peningkatan 7,70 persen sehingga defisit LO mengalami kenaikan sebanyak 10,41 persen,” kata Agung.
Adapun LKPP Audited 2019 mencakup tujuh komponen laporan keuangan, yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Realisasi pendapatan negara dan hibah 2019 dilaporkan sebesar Rp1.960,63 triliun atau mencapai 90,56 persen dari anggaran, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.546,14 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp408,99 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp5,49 triliun.
Penerimaan perpajakan sebagai sumber utama pendanaan APBN, hanya mencapai 86,55 persen dari anggaran atau meningkat sebesar 1,80 persen dibandingkan dengan penerimaan perpajakan 2018.
Realisasi belanja negara 2019 sebesar Rp2.309,28 triliun atau mencapai 93,83 persen dari anggaran, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.496,31 triliun, transfer ke daerah sebesar Rp743,15 triliun, dan dana desa sebesar Rp69,81 triliun.
Defisit anggaran tahun 2019 mencapai Rp348,65 triliun. Namun, realisasi pembiayaan 2019 mencapai Rp402,05 triliun atau sebesar 115,31 persen dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp53,39 triliun.
Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari pembiayaan utang sebesar Rp437,54 triliun, yang berarti pengadaan utang tahun 2019 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam penjelasan resminya, Selasa (5/5/2020) menyampaikan dari permasalahan tersebut, sebanyak 971 atau 18 persennya merupakan permasalahan kelemahan sistem pengendalian internal.
Disusul 1.725 atau 31% permasalahan ketidakpatuhan sebesar Rp 6,25 triliun, serta 2.784 atau 51% permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp 1,35 triliun.
Dengan demikian ada kerugian, potensi kerugian, ataupun kekurangan penerimaan sebesar Rp 7,6 triliun akibat permasalahan tersebut.
Agung pun mengatakan dari jumlah tersebut, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp 449,45 miliar.
Secara lebih rinci Agung menjelaskan IHPS II Tahun 2019 tersebut merupakan ikhtisar dari 488 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan badan lainnya.
Pemeriksaan ini meliputi hasil pemeriksaan atas 1 laporan keuangan (1 persen), 267 hasil pemeriksaan kinerja (54 persen), dan 220 hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (DTT) (45%).
IHPS Semester II tahun 2019 juga memuat hasil pemeriksaan kinerja tematik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan badan lainnya.
Pemeriksaan tematik adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh beberapa satuan kerja pemeriksaan secara serentak, terkait dengan tema yang terdapat pada kebijakan dan strategi atas program pemerintah dalam suatu bidang yang diselenggarakan oleh berbagai entitas pemeriksaan.
“Pemeriksaan kinerja tematik yang dilakukan pada semester II tahun 2019 adalah pemeriksaan atas pengelolaan belanja daerah untuk meningkatkan pembangunan manusia, peningkatan kualitas pembelajaran melalui penguatan penjaminan mutu pendidikan dan implementasi Kurikulum 2013, serta pengelolaan dana bidang kesehatan dalam mendukung pelayanan kesehatan dasar,” jelasnya.
Dalam kurun 15 tahun terakhir, BPK telah memberikan 560.521 rekomendasi yang mendorong pemerintah, BUMN/BUMD dan badan lainnya bekerja lebih tertib, hemat, efisien, dan efektif.
Sebanyak 416.680 rekomendasi (74,3%) telah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi. BPK berharap IHPS II Tahun 2019 ini dapat memberikan informasi kepada pemangku kepentingan sehingga dapat dijadikan acuan dalam perbaikan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel untuk mencapai tujuan negara.
(Mutia Fauzia)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan pada semester II tahun 2019 terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp 7,15 triliun.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, terdapat 4.904 temuan yang memuat 5.480 permasalahan dalam pemeriksaan BPK di semeter II tahun 2019.
Agung merinci terdapat 971 (18%) permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern, permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern 1.725 (31% atau sebesar Rp 6,25 triliun. Serta permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebanyak 2.784 (51%) dengan nilai Rp 1,35 triliun.
“Selain itu, terhadap permasalahan ketidakpatuhan yang dapat mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan, pada saat pemeriksaan, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp 449,45 miliar [7%],” kata BPK dalam sidang rapat paripurna, Selasa (5/5/2020).
Artinya, pada Semester II-2019, terdapat kerugian negara yang mencapai Rp 7,15 triliun secara keseluruhan.
Hal itu kemudian dimuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Taun 2019 yang disampaikan BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Adapun IHPS Semester II tahun 2019 merupakan ikhtisar dari 488 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan badan lainnya yang meliputi hasil pemeriksaan atas 1 laporan keuangan (1%), 267 hasil pemeriksaan kinerja (54%), dan 220 hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu/ DTT (45%).
Corporate Communications Officer Asabri Desy Ananta Sembiring menjelaskan bahwa pihaknya belum dapat memberikan tanggapan terkait temuan BPK tersebut karena proses audit sedang berlangsung. Meskipun begitu, dia tidak menjabarkan kapan proses audit mulai berjalan.
“Saat ini laporan keuangan sedang proses audit, jadi kami menghargai proses audit yang sedang berjalan,” ujar Desy kepada Bisnis, Senin (20/7/2020).
Dia menjelaskan bahwa Asabri belum dapat menyampaikan kondisi keuangannya saat ini. Berdasarkan pantuaan Bisnis, perseroan pun tidak mempublikasikan laporan keuangannya pada 2018 dan 2019 di situs resminya. Asabri terakhir kali menyampaikan kinerja keuangannya dalam rapat Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (29/1/2020).
Saat itu, Direktur Utama Asabri Sonny Widjadja menjelaskan bahwa pada 2019 perseroan merugi Rp6,21 triliun dan mencatatkan kinerja investasi yang negatif.
Ini Temuan BPK Risk based capital (RBC) Asabri pada 2019 tercatat -571,17%, jauh di bawah ketentuan minimal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni 120%. Pada tahun ini, RBC perseroan diperkirakan terus menurun hingga -643,49%, itu pun belum memperhitungkan adanya dampak COVID-19.
Desy menjelaskan bahwa pihaknya melakukan komunikasi yang intens dengan regulator, yakni OJK terkait kondisi keuangannya. Selain itu, manajemen Asabri pun terus berkomunikasi dengan pemegang saham, yakni Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Komunikasi Asabri dengan OJK dilakukan melalui pelaporan secara berkala, demikian juga dengab Kementerian BUMN,” ujarnya.
Asabri yang merugi pada 2019 masih belum dapat diyakini kewajarannya. Kesalahan dalam investasi membuat dua sumber dana kelolaan Asabri menurun, yakni pertama terdiri dari program Tabungan Hari Tua (THT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kematian (JKM), serta kedua yakni dana Akumulasi Iuran Pensiun (AIP).
Asabri mencatatkan penurunan harga pasar aset investasi saham dana kelolaan THT, JKK, dan JKM hingga Rp5,28 triliun dan reksadana Rp2,21 triliun. Adapun, penurunan dana kelolaan AIP mencapai Rp7,52 triliun. BPK menegaskan bahwa pengukuran nilai rugi aset investasi akibat penurunan harga pasar aset saham dan reksadana dari tiga program ini, tidak dapat diyakini kewajarannya oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). “KAP menilai pengukuran tersebut tidak tepat dikarenakan tidak terdapat pasar aktif atas saham dan reksadana tersebut. PT Asabri (Persero) tidak melakukan asesmen atas perhitungan wajar saham dan reksadana tersebut dengan kondisi apabila tidak ada pasar aktif,” tulis BPK dalam keterangannya.
Biodata Diri :
Nama : Rischa Rahma Wati
Tempat dan Tanggal Lahir : Jombang,19 Januari 2000
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia