Provinsi Sumbar – Tanah Datar – Terkuak, pada tahun 2015 lalu Nagari Tanjung Bonai Kecamatan Lintau Buo Utara Kabupaten Tanah Datar mendapatkan program Proyek Operasi Nasional Agraria atau dikenal dengan PRONA. Kegiatan legalisasi asset ini pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan sampai dengan penerbitan sertipikat atau tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal dan sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria.
Namun wujud niat baik pemerintah itu dijadikan Sumber pemasukan bagi KAN setempat dengan memungut Rp 3.000/meter persegi kepada warga yang mengurus sertifikat prona gratis ini.
Ironisnya, pengurusan sertifikat Prona yang menyentuh warga Jorong Pauh Tinggi ini lebih mahal dari mengurus sertifikat non prona, dan oknum anggota KAN sendiri mengakui jika kutipan itu sebagai uang siliah jariah pembebasan lahan ulayat nagari Tanjung Bonai yang sudah dihuni puluhan tahun oleh warga nagari Tanjung Bonai.
“Lahan ini sudah dihuni oleh masyarakat nagari Tanjung Bonai selama puluhan tahun tersebut tetapi ketika mengurus sertifikat Prona di klaim oleh lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai lahan ulayat nagari, sehingga warga yang melakukan pengurusan sertifikat Prona dikenai biaya kepengurusan sebanyak Rp 3.000,- / meter persegi,” ucap Murni (nama samaran) warga jorong Pauh Tinggi yang membayar hingga Rp 2,5 juta untuk persil sertifikat miliknya kepada tim jejak kasus, Minggu 10/09/17 lalu.
Katanya, kutipan yang diminta oleh KAN tersebut diketahuinya tidak sepengetahuan pemerintah nagari setempat, dan juga tidak ada dasar hukum peraturan nagari. “Ini hanya dilakukan oleh KAN untuk mengambil keuntungan, dan sampai saat ini BPRN Nagari Tanjung Bonai juga tidak pernah meminta pertanggung jawaban masalah keuangan ratusan juta tersebut,” ucapnya.
Diduga uang kutipan siliah jariah yang mencapai ratusan juta rupiah tersebut juga dipertanyakan masyarakat karena tidak memiliki dasar hukumnya dan peruntukannya yang dilakukan oleh lembaga KAN Tanjung Bonai, karena pelepasan tanah ulayat nagari tersebut tidak diketahui oleh pihak pemerintahan nagari, karena takut dengan spekulasi KAN dan memutuskan tidak terlibat dalam pembebasan lahan untuk prona itu.
Mantan Sekretaris lembaga KAN Tanjung Bonai periode sebelum 2017-2022, A. Dt. Djindo Sati ketika dikonfirmasikan media ini melalui selularnya beberapa waktu lalu mengakui jika ada kutipan sebesar Rp 3.000/ meter persegi kepada warga yang mengurus Prona tersebut.
Katanya mengakui, jika KAN sudah melakukan persetujuan dengan masyarakat saat akan mengurus sertifikat Prona yang diketahui oleh ninik mamak dalam Nagari Tanjung Bonai.
“Memang betul, uang siliah jariah tersebut kami minta kepada masyarakat sebagai syarat pelepasan hak dari ninik mamak kepada kemenakan. Dan jumlah diperuntukan untuk pembangunan mesjid yang ada di Tanjung Bonai,” ucap A. DT. Djindo Sati.
Sertifikat Prona yang kepengurusan sangat mahal ini mendapat komentar dari berbagai pihak, sebut saja Yuska Noer yang meminta penegak hukum meluruskan atas pungutan yang dilakukan oleh oknum anggota KAN Tanjung Bonai.
“Atas dasar apa KAN menahan sertifikat warga, apa dasar hukumnya, dan jika sepengetahuan ninik mamak Nagari Tanjung Bonai mana buktinya dan untuk apa dipakai uang ratusan juta tersebut. Sudah jelas Prona untuk membantu meringankan masyarakat, kok malah memberatkan? Ini harus diungkap,” ucap tokoh masyarakat ini.
Kasi Hukum Badan Pertahanan Nasional Kabupaten Tanah Datar Husni, kepada media ini Jumat (15/09/17) membantah jika adanya pungutan siliah jariah dalam pengurusan prona di Tanjung Bonai diluar wewenang pihak BPN, karena menurut Husni kewajiban BPN hanya menerima usulan dengan melengkapi administrasi oleh peserta prona.
“Pihak kami tidak berwenang dalam hal itu, jika memang ada pungutan, itu diluar tanggung jawab BPN,” kata Husni. (Tim).