Detikkasus.com l Labuhanbatu – Sumut
Jum’at (04/12/2020) Masih ingatkah anda mengenai kabar berita diedisi 27 Nopember yang lalu, tentang adanya penyampaian SADIMIN dan RITONGA, beliau berdua membenarkan bahwa nilai nominal rupiah yang mereka ambil dari pasien yang memerlukan VISUM senilai “Seratus Delapan Puluh (180) Ribu Rupiah.
Tarif itu katanya sudah sesuai dengan yang dianjurkan PT. Sri Pamela Medika Nusantara, terdiri dari: 125.RB untuk Visum, kemudian 20.RB untuk Administrasi, dan 35.RB Rupiah untuk Dokter, “Nilai total Rp 180 Ribu Rupiah”. Apa yang menjadi ketentuan pihak perusahaan itulah yang menjadi tugas maupun tupoksi kami disini. Ujarnya
Ketika awak media menanyakan legalitas ketentuan dasar hukum, untuk penetapan jumlah nominal rupiah terhadap pasien yang membutuhkan visum. SADIMIN dan RITONGA tidak mampu menyebutkan atau menunjukkan legalitas ketentuan dasar hukumnya. “Pada intinya yang kami lakukan sudah sesuai SOP dari PT. Sri Pamela Medika Nusantara”. Ujar Beliau
Ketidak mampuan SADIMIN dan RITONGA mengatakan hingga menunjukkan legalitas hukum, untuk menetapkan jumlah nominal rupiah terhadap pasien yang membutuhkan visum. Menjadi patut atau layak untuk diusut tuntas oleh pihak berwenang, seperti Aparat Penegak Hukum (APH), atau Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), ujar YUNUS LAIA
Jika suatu instansi melakukan pungutan dalam bentuk uang tanpa dilandasi oleh dasar hukum yang akurat, maka perbuatan atau bentuk pungutan/pengutipan tersebut sangatlah bertentangan dengan ketentuan Perpres No.87 Tahun 2016, tentang. Satuan Tugas, Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saberpungli).
Dasar hukum untuk melakukan lidik kepihak manajemen Rumah Sakit Aek Nabara, yang dinaungi oleh PT. Sri Pamela Medika Nusantara, dapat diambil dari ketentuan pasal 136, Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Ujar Yunus Laia
UU No.23 Tahun 2004 pasal (39) tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Kemudian merujuk pada Peraturan Pelaksanaan UU tersebut yaitu PP No.4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan kerjasama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga menyebutkan bahwa.
“Salah satu pelayanan kesehatan yang wajib diberikan oleh tenaga kesehatan pada korban adalah pembuatan visum et repertum. Dalam PP ini dinyatakan secara tegas, bahwa biaya pemulihan kepada korban termaksud di dalamnya pasilitas pembuatan visum di bebankan kepada APBN dan APBD”.
Kemudian pada Permenkes No.71 Tahun 2013 tentang Pelayanan kesehatan pada jaminan kesehatan nasional juga dinyatakan bahwa, “Pelayanan pembuatan visum masuk dalam pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan ditangung oleh jaminan kesehatan nasional”.
Sangat diharapkan Aparat Penegak Hukum (APH) dan atau Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) segera menindak lanjuti informasi ini, jika memang benar ingin melaksanakan harapan Pak Jokowi Presiden Republik Indonesia, dalam bentuk menumpas tuntas segala bentuk kejahatan yang ada. Ujar Yunus Laia ( J. Sianipar )